November 10, 2016

PERAN MAHASISWA DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI DAN RELEVANSINYA TERHADAP CITA-CITA REFORMASI




sumber gambar:
http://www.srikandipp.com/wp-content/uploads/ILUSTRASI-GM-640x400.jpg

Oleh: Andhika Ripwan Saputra, Achmad Furqon Karim, Ni’am Habibi

Pendahuluan

            Di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, potensi kekuatan masyarakat telah mengalami pengendalian luar biasa melalui berbagai bentuk represi dan kooptasi. Dalam berbagai sektor kehidupan, partisipasi masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan negara yang menyangkut nasib mereka amat dibatasi. Partisipasi politik yang dilakukan oleh penguasa lebih cenderung – meminjam istilah Hutington dan Nelson – memakai model partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation), dan bukan sebagai partisipasi yang bersifat otonom (outonomous participation).[1]
            Hampir seluruh elemen-elemen potensil yang menjadi basis pertumbuhan masyarakat cenderung diarahkan hanya untuk menjadi sekrup mesin politik, yang hanya patuh terhadap kebijakan negara. Dalam konteks demokrasi pada tingkat formal atau pemilihan umum, masyarakat direkayasa sedemikian mungkin hanya menjadi alat pengabsahan, sedangkan pemenangnya sudah dapat dipastikan.[2]
            Namun tanpa disadari rezim Orde Baru juga termakan tindakannya sendiri, ia mengabaikan gejolak kesadaran politik dalam masyarakat. Sebagai dampak dari moderenisasi pembangunan dalam berbagai sektor khususnya pendidikan, yang dijalankan selama sekian puluh tahun dan telah melahirkan angkatan terdidik dalam jumlah besar.[3]
Hal tersebut yang menurut penulis menjadi langkah awal terciptanya golongan oposisi dalam usaha membebaskan diri dari dominasi negara yang dikuasai rezim Orde Baru yang cenderung menjadi kekuatan hegemoni yang menguasai masyarakat. Dalam konteks ini, istilah masyarakat madani menjadi sangat popular, konsep yang dirancang oleh golongan oposisi ini dianggap dapat memenuhi harapan masyarakat Indonesia di masa depan. Karena bebas dari intervensi pemerintah, memiliki kemandirian, menghargai HAM, bebas dari rasa takut, menghargai pluralisme, egaliter dan demokratis.[4]
Michael van Lengenberg mendefinisikan masyarakat madani sebagai wilayah-wilayah yang terdiri dari kelompok-kelompok dan perkumpulan-perkumpulan pendidikan, tenaga kerja, pebisnis, organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, kelompok lokal, keluarga, dan kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat.[5] Namun, dalam makalah ini penulis ingin menjelaskan peran dari kelompok pendidikan yakni mahasiswa.
Kita tidak bisa mengelak bahwasanya rezim Orde Baru dilengserkan dengan kekuatan Student Power yang mayoritasnya adalah mahasiswa Islam.[6] Solidaritas mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus (BEM) menjadi ujung tombak dari perlawanan masyarakat terhadap rezim saat itu. Gerakannya lebih bersifat praktis yaitu dengan memobilisasi massa dan melakukan serangkaian aksi terutama pada detik-detik penyelenggaran sidang istimewa. Aksi tersebut merupakan reaksi dari banyaknya penyimpangan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Adapun inti tuntutan yang mereka ajukan adalah desakan untuk melakukan reformasi politik, ekonomi, dan hukum.
Makalah ini ingin mencoba menjawab bagaimana peranan mahasiswa dalam membangun kesadaran mewujudkan konsep masyarakat madani? Kemudian juga ingin menjawab berbagai tuntutan sebagai upaya mereformasi sistem pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945? Selain itu juga ingin menjelaskan serangkaian aksi yang dilakukan dalam upaya meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru? Pertanyaan ini perlu dijawab guna memberikan informasi bagi pembaca yang selama ini mempertanyakan peranan mahasiswa dalam meruntuhkan kekuasaan Orde Baru sebagai upaya mewujudkan konsep masyarakat madani.

Membangkitkan Kesadaran

            Agenda utama bangsa ini, bukanlah masalah integrasi atau disintegrasi, karena masalah ini akan terpecahkan dengan sendirinya ketika negara mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan kepada warganya, menjamin terpenuhnya kehormatan diri dan hak-hak warga negaranya, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Menjamin adanya pemerataan rezeki serta tidak lagi menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik, yang mengekang setiap daerah untuk mengoptimalkan potensi yang mereka miliki.
            Akan tetapi agenda bangsa ini adalah bagaimana ke depan bisa tercipta masyarakat yang berdaya, sebuah civil society atau lebih dikenal masyarakat madani. Ini penting menjadi solusi karena bangsa ini sudah terlalu lama dikuasai oleh negara yang begitu kuat namun tanpa kontrol, yang senantiasa melakukan pembodohan untuk mempertahankan kekuasaanya, yang akhirnya membawa penderitaan yang berkepanjangan.
            Terciptanya masyarakat yang berdaya akan membangun sebuah bargaining position atau daya tawar masyarakat yang proporsional, baik secara politis maupun ekonomois, terhadap negara.[7] Oleh sebab itu perlulah ada upaya untuk pembentukan civil society guna membangkitkan iklim kesadaran dan membangun masyarakat yang aktif.
            Ada beberapa hal yang bisa diperjuangkan bersama oleh seluruh kekuatan pro-demokrasi di Indonesia dalam membangun masyarakat madani, terlepas dari adanya beberapa perbedaan di antara mereka.
            Pertama, penurunan peran sosial-politik-militer. Yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa konsep masyarakat sipil tidak berarti masyarakat tanpa militer, tetapi adalah bagaimana mengarahkan militer kepada wilayah yang semestinya.[8]
            Kedua, penegakkan HAM dan hukum yang tegas berlandaskan prinsip keadilan. Dengan demikian, tuntutan untuk mengusut secara tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM dan hokum yang pernah terjadi di Indonesia menjadi mutlak harus dipisahkan. Sebagai jaminan agar pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak pernah terlulang kembali, kemudian perlu pula perubahan aturan hukum guna menegakkan prinsip keadilan.[9]
            Ketiga, pemilu yang jujur dan adil, tidak diskriminatif, dan tidak provokatif. Ini penting Karena jika inti dari demokrasi adalah pemilu, berarti titik kritis dalam proses transisi menuju demokrasi adalah digantikannya pemerintah yang tidak diplih oleh rakyat dalam suatu pemilu dengan pemerintahan yang dipilih melalui pemilu yang luber dan jurdil.[10]
            Memang harus diakui untuk membangkitkan kesadaran masyarakat di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Terlebih peran mahasiswa pada rezim Orde Baru yang mengalami kemerosotan akibat tindakan represifnya, membuat upaya yang dilakukan acapkali berhenti di tengah jalan. Namun, perlu diketahui bahwasanya gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa sangat di dukung oleh elemen masyarakat yang merindukan demokrasi yang sebenarnya.

Tuntutan Reformasi
            Berlainan dengan angkatan sebelumnya[11], gerakan politik-moral mahasiswa angkatan 1998 dilatari oleh dadakan krisis ekonomi-politik, setelah itu keberhasilan pembangunan selama tiga dekade. Krisis itu menimbulkan keprihatinan masyarakat luas, upaya gerakan mahasiswa yang berakar pada terkooptasinya masyarakat oleh penguasa, untuk menjaga tuntutan mereka yang mendasar.[12] Reformasi menyeluruh menjadi kehendak mahasiswa, Karena krisis yang dihadapi sudah berakar dan berakibat pada segenap aspek kehidupan, yakni sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Sejumlah tema yang diangkat oleh gerakan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa dapat dijadikan tolak ukur sehubungan dengan kasus-kasus kebijakan pemerintah yang perlu mendapatkan koreksi. Sebagaimana telah sering dinyatakan, ada enam visi reformasi yang disuarakan mahasiswa yang secara langsung menjadi isu public, yaitu:

  1. Penghapusan dwi fungsi TNI/Polri,
  2.  Pemberantasan KKN,
  3.  Pelaksanaan otonomi daerah,
  4.  Amandemen UUD 1945
  5.  Penegakkan supremasi hukum, 
  6.   Dan pembudayaan demokrasi.[13]

Menurut penulis untuk mendukung program reformasi di atas, diperlukan masyarakat sipil yang partisipatif. Maksudnya segenap golongan dan kelompok masyarakat, baik induvidu maupun yang terorganisir dan terlembaga, mempunyai kebebasan dan kemandirian untuk mengurus dirinya sendiri. Campur tangan penguasa dan pemerintah ke dalam kehidupan mereka hanya berlangsung sementara, sisanya merekalah yang menentukan.
Kuatnya masyarakat sipil, di satu pihak, meringankan beban pemerintah, karena masyarakat memenuhi kebutuhannya sendiri seoptimal mungkin. Di lain pihak, kondisi masyarakat itu menjamin pemerintah terhindar dari kelemahan dan kesalahan, karena secara terus-menerus diarahkan dan diawasi oleh masyarakat.[14]

Fase-Fase Gerakan Mahasiswa 1998

Pada masa reformasi terjadi gerakan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia pada tahun 1998. Sedikitnya ada empat periodisasi gerakan mahasiswa, periodisasi ini dibuat pada saat momentum yang penting, yaitu:
Periode pertama, terjadi sebelum tanggal 1 Maret 1998. Isu yang ditampilkan tidak menyangkut substansi reformasi melainkan melihat kondisi aktual pada saat itu. Rakyat Indonesia benar-benar menderita dengan terjadinya kelaparan di Irian Jaya, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, harga bahan-bahan pokok melambung tinggi. Dalam melakukan aksinya mahasiswa memiliki modus opera yang sama, yaitu mimbar bebas, mereka melakukan atraksi budaya untuk menyindir situasi negara serta melakukan aksi jalan keliling kampus.
Periodisasi kedua berlangsung pada tanggal 12 Maret-12 Mei 1998. Isu-isu yang dimunculkan berkenaan dengan tidak kredibelnya kabinet pembangunan karena dinilai penuh sarat nepotisme. Periode ini juga ditandai dengan kejenuhan mahasiswa dalam melakukan aksi di dalam kampus sehingga mahasiswa berdemonstrasi di luar kampus. Demonstrasi terbesar pada periode ini terjadi di kampus Universitas Sumatera Utara (USU). Isu lain periode ini yaitu adanya penculikan di kalangan aktivis.
Periodisasi ketiga berlangsung pada tanggal 12 Mei 1998 peristiwa Insiden penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti yang berujung kepada kematian. Peristiwa ini membangkitkan kesadaaran dari kalangan mahasiswa dan diyakini sebagai katalisator gerakan mahasiswa. Isu yang diteriakan yaitu tuntutan agar Soeharto turun dari jabatan Presiden. Periode ini juga ditandai oleh gerakan mahasiswa yang menguasai gedung MPR/DPR pada tanggal 18-22 Mei 1998.
Perioisasi empat berlangsung pada tanggal 22 Mei-September 1998. Periode ini ditandai kembalinya mahasiswa ke kampus masing-masing setelah Soeharto turun dari kursi kepemimpinan.[15]




Kesimpulan

Sebagai director of change mahasiswa harus mengedepankan kepentingan rakyat dan visi yang cerdas serta jauh ke depan, sasaran tembak mereka bukan hanya pemerintah, tetapi dalang di balik panggung sosial-politik Indonesia. Kalau tidak dengan cara demikian, mahasiswa hanya menjadi salah satu pemeran di panggung politik nasional. Seandainya mereka teguh di belakang panggung, mereka terus menjaga ke-independensiannya tentu mereka dapat menuntut para aktor panggung semisal pemerintah, ABRI, para tokoh oposisi dan tokoh masyarakat, serta pers yang membuat tampilan negara ini seperti kapal pecah.
Dalam posisi dan agenda besar inilah, mahasiswa diharapkan mampu menampilkan kembali kekuatannya sebagai wujud tanggung jawab moral yang berpihak kepada kebaikan rakyat. Oreintasi inilah yang akan tetap menjaga eksistensi peran mahasiswa dalam panggung nasional. Dengan begitu, mahasiswa akan lebih berperan sebagai seorang negarawan yang mengontrol dan mengarahkan perubahan, bukan sebagai politisi yang hanya mengedepankan agenda politik yang penuh dengan kepentingan.



Daftar Pustaka

Fahruz Z. F dan Zon, Fadli. 1999. Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung: Pustaka Hidayah.
Madjid, Nurcholish. 1999. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Hutington P. Samuel dan Nelson J. M. 1975. No Easy Choice: Political Partisipation in Developing Countries. Harvard.
Soemarjan, Selo. 1999. kisah perjuangan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Culla A Suryadi. 2002. Masyarakat madani: pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
MD Maruto dan WMK Anwari. 2002. Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES.
J.A. Denny. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an. Yogyakarta: LKIS.
Madjid, Nurcholish dan Oetama, Jakob. 1994. Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Latif, Yudhi dan Subandy, Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.
Yudhoyono, S. B. 1999. Peran ABRI Pasca-Pemilu 1999, Bandung: SESKOABRI
Mansur, Ahmad S. 2014. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani.



[1] Samuel P.Hutington dan Joan M.Nelson, No Easy Choice: Political Partisipation in Developing Countries, Harvard, 1975, hal. 4-10.
[2] Adi Suryadi Culla, Masyarakat madani: pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 214.
[3] Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2002, hal 155.
[4] Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999, hal. 158-159.
[5] Lihat Michael van Langenber, “The New Order State: Language, Ideology, Hegemony” dalam Yudi Latif dan Idy Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996, hal. 223-245.
[6] Ahmad Mansur S, Api Sejarah 2, Bandung: Salamadani, 2014, hal 532.
[7] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 137.
[8] Susilo Bambang Yudhoyono, Peran ABRI Pasca-Pemilu 1999, Bandung: SESKOABRI, 1999, hal. 44-51.
[9] Nurcholis Madjid dan Jakob Oetama, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994, hal. 123.
[10] Ibid, hal. 156.
[11] Maksudnya adalah angkatan ’66, isu yang dilemparkan saat itu adalah aksi nasional. Yaitu Tritura: bubarkan PKI, rombak cabinet dan turunkan harga. Lebih jauh lagi, aksi protes ini mengarah kepada struktur kekuasaan pusat yaitu presiden Soekarno. Lihat Denny J.A, Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an, Yogyakarta: LKIS, 2006, hal. 80.
[12] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 77
[13] Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2002, hal 115.
[14] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 80
[15] Prof. Dr. Selo Soemarjan, kisah perjuangan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal. 141-149.


[full-width]
LKISSAH
LKISSAH

Forum Pecinta Ilmu Sosial dan Sejarah

No comments:

Post a Comment