sumber gambar:
http://www.srikandipp.com/wp-content/uploads/ILUSTRASI-GM-640x400.jpg
Oleh: Andhika Ripwan Saputra, Achmad Furqon Karim,
Ni’am Habibi
Pendahuluan
Di bawah kekuasaan rezim Orde Baru,
potensi kekuatan masyarakat telah mengalami pengendalian luar biasa melalui
berbagai bentuk represi dan kooptasi. Dalam berbagai sektor kehidupan,
partisipasi masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan negara yang menyangkut
nasib mereka amat dibatasi. Partisipasi politik yang dilakukan oleh penguasa
lebih cenderung – meminjam istilah Hutington dan Nelson – memakai model
partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation),
dan bukan sebagai partisipasi yang bersifat otonom (outonomous participation).[1]
Hampir seluruh elemen-elemen
potensil yang menjadi basis pertumbuhan masyarakat cenderung diarahkan hanya untuk
menjadi sekrup mesin politik, yang hanya patuh terhadap kebijakan negara. Dalam
konteks demokrasi pada tingkat formal atau pemilihan umum, masyarakat
direkayasa sedemikian mungkin hanya menjadi alat pengabsahan, sedangkan
pemenangnya sudah dapat dipastikan.[2]
Namun tanpa disadari rezim Orde Baru
juga termakan tindakannya sendiri, ia mengabaikan gejolak kesadaran politik
dalam masyarakat. Sebagai dampak dari moderenisasi pembangunan dalam berbagai
sektor khususnya pendidikan, yang dijalankan selama sekian puluh tahun dan
telah melahirkan angkatan terdidik dalam jumlah besar.[3]
Hal tersebut yang menurut penulis menjadi langkah awal
terciptanya golongan oposisi dalam usaha membebaskan diri dari dominasi negara
yang dikuasai rezim Orde Baru yang cenderung menjadi kekuatan hegemoni yang
menguasai masyarakat. Dalam konteks ini, istilah masyarakat madani menjadi
sangat popular, konsep yang dirancang oleh golongan oposisi ini dianggap dapat
memenuhi harapan masyarakat Indonesia di masa depan. Karena bebas dari
intervensi pemerintah, memiliki kemandirian, menghargai HAM, bebas dari rasa
takut, menghargai pluralisme, egaliter dan demokratis.[4]
Michael van Lengenberg mendefinisikan masyarakat madani
sebagai wilayah-wilayah yang terdiri dari kelompok-kelompok dan
perkumpulan-perkumpulan pendidikan, tenaga kerja, pebisnis, organisasi
keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, kelompok lokal, keluarga, dan
kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat.[5]
Namun, dalam makalah ini penulis ingin menjelaskan peran dari kelompok
pendidikan yakni mahasiswa.
Kita tidak bisa mengelak bahwasanya rezim Orde Baru
dilengserkan dengan kekuatan Student
Power yang mayoritasnya adalah mahasiswa Islam.[6]
Solidaritas mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi ekstra dan intra
kampus (BEM) menjadi ujung tombak dari perlawanan masyarakat terhadap rezim
saat itu. Gerakannya lebih bersifat praktis yaitu dengan memobilisasi massa dan
melakukan serangkaian aksi terutama pada detik-detik penyelenggaran sidang istimewa.
Aksi tersebut merupakan reaksi dari banyaknya penyimpangan dan penyalahgunaan
yang dilakukan oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Adapun inti tuntutan yang
mereka ajukan adalah desakan untuk melakukan reformasi politik, ekonomi, dan hukum.
Makalah ini ingin mencoba menjawab bagaimana peranan
mahasiswa dalam membangun kesadaran mewujudkan konsep masyarakat madani?
Kemudian juga ingin menjawab berbagai tuntutan sebagai upaya mereformasi sistem
pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945? Selain itu juga ingin
menjelaskan serangkaian aksi yang dilakukan dalam upaya meruntuhkan kekuasaan
rezim Orde Baru? Pertanyaan ini perlu dijawab guna memberikan informasi bagi
pembaca yang selama ini mempertanyakan peranan mahasiswa dalam meruntuhkan
kekuasaan Orde Baru sebagai upaya mewujudkan konsep masyarakat madani.
Membangkitkan
Kesadaran
Agenda
utama bangsa ini, bukanlah masalah integrasi atau disintegrasi, karena masalah
ini akan terpecahkan dengan sendirinya ketika negara mampu menjamin keadilan
dan kesejahteraan kepada warganya, menjamin terpenuhnya kehormatan diri dan
hak-hak warga negaranya, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Menjamin
adanya pemerataan rezeki serta tidak lagi menerapkan sistem pemerintahan yang
sentralistik, yang mengekang setiap daerah untuk mengoptimalkan potensi yang
mereka miliki.
Akan tetapi agenda bangsa ini adalah
bagaimana ke depan bisa tercipta masyarakat yang berdaya, sebuah civil society atau lebih dikenal
masyarakat madani. Ini penting menjadi solusi karena bangsa ini sudah terlalu
lama dikuasai oleh negara yang begitu kuat namun tanpa kontrol, yang senantiasa
melakukan pembodohan untuk mempertahankan kekuasaanya, yang akhirnya membawa
penderitaan yang berkepanjangan.
Terciptanya masyarakat yang berdaya
akan membangun sebuah bargaining position
atau daya tawar masyarakat yang proporsional, baik secara politis maupun
ekonomois, terhadap negara.[7]
Oleh sebab itu perlulah ada upaya untuk pembentukan civil society guna membangkitkan iklim kesadaran dan membangun
masyarakat yang aktif.
Ada beberapa hal yang bisa
diperjuangkan bersama oleh seluruh kekuatan pro-demokrasi di Indonesia dalam
membangun masyarakat madani, terlepas dari adanya beberapa perbedaan di antara
mereka.
Pertama,
penurunan peran sosial-politik-militer. Yang perlu diperhatikan disini adalah
bahwa konsep masyarakat sipil tidak berarti masyarakat tanpa militer, tetapi
adalah bagaimana mengarahkan militer kepada wilayah yang semestinya.[8]
Kedua,
penegakkan HAM dan hukum yang tegas berlandaskan prinsip keadilan. Dengan
demikian, tuntutan untuk mengusut secara tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM dan
hokum yang pernah terjadi di Indonesia menjadi mutlak harus dipisahkan. Sebagai
jaminan agar pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak pernah terlulang kembali,
kemudian perlu pula perubahan aturan hukum guna menegakkan prinsip keadilan.[9]
Ketiga,
pemilu yang jujur dan adil, tidak diskriminatif, dan tidak provokatif. Ini
penting Karena jika inti dari demokrasi adalah pemilu, berarti titik kritis
dalam proses transisi menuju demokrasi adalah digantikannya pemerintah yang
tidak diplih oleh rakyat dalam suatu pemilu dengan pemerintahan yang dipilih melalui
pemilu yang luber dan jurdil.[10]
Memang harus diakui untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat di Indonesia bukanlah hal yang mudah.
Terlebih peran mahasiswa pada rezim Orde Baru yang mengalami kemerosotan akibat
tindakan represifnya, membuat upaya yang dilakukan acapkali berhenti di tengah
jalan. Namun, perlu diketahui bahwasanya gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa
sangat di dukung oleh elemen masyarakat yang merindukan demokrasi yang
sebenarnya.
Tuntutan Reformasi
Berlainan
dengan angkatan sebelumnya[11],
gerakan politik-moral mahasiswa angkatan 1998 dilatari oleh dadakan krisis
ekonomi-politik, setelah itu keberhasilan pembangunan selama tiga dekade.
Krisis itu menimbulkan keprihatinan masyarakat luas, upaya gerakan mahasiswa
yang berakar pada terkooptasinya masyarakat oleh penguasa, untuk menjaga
tuntutan mereka yang mendasar.[12]
Reformasi menyeluruh menjadi kehendak mahasiswa, Karena krisis yang dihadapi
sudah berakar dan berakibat pada segenap aspek kehidupan, yakni sosial, budaya,
ekonomi dan politik.
Sejumlah tema yang diangkat oleh gerakan mahasiswa dalam
aksi unjuk rasa dapat dijadikan tolak ukur sehubungan dengan kasus-kasus
kebijakan pemerintah yang perlu mendapatkan koreksi. Sebagaimana telah sering
dinyatakan, ada enam visi reformasi yang disuarakan mahasiswa yang secara
langsung menjadi isu public, yaitu:
- Penghapusan dwi fungsi TNI/Polri,
- Pemberantasan KKN,
- Pelaksanaan otonomi daerah,
- Amandemen UUD 1945
- Penegakkan supremasi hukum,
- Dan pembudayaan demokrasi.[13]
Menurut penulis untuk mendukung program reformasi di atas,
diperlukan masyarakat sipil yang partisipatif. Maksudnya segenap golongan dan
kelompok masyarakat, baik induvidu maupun yang terorganisir dan terlembaga,
mempunyai kebebasan dan kemandirian untuk mengurus dirinya sendiri. Campur
tangan penguasa dan pemerintah ke dalam kehidupan mereka hanya berlangsung
sementara, sisanya merekalah yang menentukan.
Kuatnya masyarakat sipil, di satu pihak, meringankan beban
pemerintah, karena masyarakat memenuhi kebutuhannya sendiri seoptimal mungkin.
Di lain pihak, kondisi masyarakat itu menjamin pemerintah terhindar dari
kelemahan dan kesalahan, karena secara terus-menerus diarahkan dan diawasi oleh
masyarakat.[14]
Fase-Fase
Gerakan Mahasiswa 1998
Pada masa reformasi terjadi gerakan
mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia pada tahun 1998. Sedikitnya
ada empat periodisasi gerakan mahasiswa, periodisasi ini dibuat pada saat
momentum yang penting, yaitu:
Periode pertama, terjadi sebelum tanggal 1 Maret 1998. Isu yang ditampilkan tidak
menyangkut substansi reformasi melainkan melihat kondisi aktual pada saat itu. Rakyat
Indonesia benar-benar menderita dengan terjadinya kelaparan di Irian Jaya,
kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, harga bahan-bahan pokok melambung
tinggi. Dalam melakukan aksinya mahasiswa memiliki modus opera yang sama, yaitu
mimbar bebas, mereka melakukan atraksi budaya untuk menyindir situasi negara
serta melakukan aksi jalan keliling kampus.
Periodisasi kedua berlangsung pada tanggal 12 Maret-12 Mei 1998. Isu-isu yang
dimunculkan berkenaan dengan tidak kredibelnya kabinet pembangunan karena
dinilai penuh sarat nepotisme. Periode ini juga ditandai dengan kejenuhan
mahasiswa dalam melakukan aksi di dalam kampus sehingga mahasiswa
berdemonstrasi di luar kampus. Demonstrasi terbesar pada periode ini terjadi di
kampus Universitas Sumatera Utara (USU). Isu lain periode ini yaitu adanya
penculikan di kalangan aktivis.
Periodisasi ketiga berlangsung pada tanggal 12 Mei 1998 peristiwa Insiden penembakan
terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti yang berujung kepada kematian.
Peristiwa ini membangkitkan kesadaaran dari kalangan mahasiswa dan diyakini
sebagai katalisator gerakan mahasiswa. Isu yang diteriakan yaitu tuntutan agar
Soeharto turun dari jabatan Presiden. Periode ini juga ditandai oleh gerakan
mahasiswa yang menguasai gedung MPR/DPR pada tanggal 18-22 Mei 1998.
Perioisasi empat berlangsung pada tanggal 22 Mei-September 1998. Periode ini
ditandai kembalinya mahasiswa ke kampus masing-masing setelah Soeharto turun
dari kursi kepemimpinan.[15]
Kesimpulan
Sebagai director of
change mahasiswa harus mengedepankan kepentingan rakyat dan visi yang
cerdas serta jauh ke depan, sasaran tembak mereka bukan hanya pemerintah,
tetapi dalang di balik panggung sosial-politik Indonesia. Kalau tidak dengan
cara demikian, mahasiswa hanya menjadi salah satu pemeran di panggung politik
nasional. Seandainya mereka teguh di belakang panggung, mereka terus menjaga
ke-independensiannya tentu mereka dapat menuntut para aktor panggung semisal
pemerintah, ABRI, para tokoh oposisi dan tokoh masyarakat, serta pers yang
membuat tampilan negara ini seperti kapal pecah.
Dalam posisi dan agenda besar inilah, mahasiswa diharapkan
mampu menampilkan kembali kekuatannya sebagai wujud tanggung jawab moral yang
berpihak kepada kebaikan rakyat. Oreintasi inilah yang akan tetap menjaga
eksistensi peran mahasiswa dalam panggung nasional. Dengan begitu, mahasiswa
akan lebih berperan sebagai seorang negarawan yang mengontrol dan mengarahkan
perubahan, bukan sebagai politisi yang hanya mengedepankan agenda politik yang
penuh dengan kepentingan.
Daftar Pustaka
Fahruz Z. F dan Zon, Fadli. 1999. Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan
Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung: Pustaka Hidayah.
Madjid, Nurcholish. 1999. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta:
Yayasan Paramadina.
Hutington P. Samuel dan Nelson J. M.
1975. No Easy Choice: Political
Partisipation in Developing Countries. Harvard.
Soemarjan, Selo. 1999. kisah perjuangan reformasi, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Culla A Suryadi. 2002. Masyarakat madani: pemikiran, teori dan
relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
MD Maruto dan WMK Anwari. 2002. Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat:
Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES.
J.A. Denny. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era
80-an. Yogyakarta: LKIS.
Madjid, Nurcholish dan Oetama, Jakob.
1994. Demokratisasi Politik, Budaya, dan
Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Latif,
Yudhi dan Subandy, Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.
Yudhoyono, S. B. 1999. Peran ABRI
Pasca-Pemilu 1999, Bandung: SESKOABRI
Mansur, Ahmad S. 2014. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani.
[1] Samuel P.Hutington dan Joan M.Nelson, No Easy Choice: Political Partisipation in Developing Countries,
Harvard, 1975, hal. 4-10.
[2] Adi Suryadi Culla, Masyarakat
madani: pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 214.
[3] Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi
Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Jakarta:
LP3ES, 2002, hal 155.
[4] Nurcholish Madjid, Cita-Cita
Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999, hal.
158-159.
[5] Lihat Michael van Langenber, “The New Order State: Language,
Ideology, Hegemony” dalam Yudi Latif dan Idy Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di
Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996, hal. 223-245.
[6] Ahmad Mansur S, Api Sejarah
2, Bandung: Salamadani, 2014, hal 532.
[7] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa
Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999, hal. 137.
[8] Susilo Bambang Yudhoyono, Peran ABRI Pasca-Pemilu 1999,
Bandung: SESKOABRI, 1999, hal. 44-51.
[9] Nurcholis Madjid dan Jakob Oetama, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa
Orde Baru, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994, hal. 123.
[10] Ibid, hal. 156.
[11] Maksudnya adalah angkatan ’66, isu yang dilemparkan saat itu adalah
aksi nasional. Yaitu Tritura: bubarkan PKI, rombak cabinet dan turunkan harga.
Lebih jauh lagi, aksi protes ini mengarah kepada struktur kekuasaan pusat yaitu
presiden Soekarno. Lihat Denny J.A, Gerakan
Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an, Yogyakarta: LKIS, 2006, hal. 80.
[12] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa
Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999, hal. 77
[13] Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi
Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Jakarta:
LP3ES, 2002, hal 115.
[14] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa
Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999, hal. 80
[15] Prof. Dr. Selo Soemarjan, kisah perjuangan reformasi, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal. 141-149.
[full-width]
[full-width]
No comments:
Post a Comment