April 21, 2016

Memandang R.A. Kartini dari Sisi Lain


Memandang R.A. Kartini dari Sisi Lain
   Raden Adjeng Kartini (R.A. Kartini) lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, Ia adalah sosok yang dibilang sebagai viraldari simbol feminisme negri ini dan yang pada akhirnya hari kelahirannya menjadi hari nasional (Hari Kartini). Lalu ia pun mendapat gelar pahlawan nasional dari Presiden Soekarno pada tahun 1964 . Tapi bagaimana sosok ini begitu fenomenal? berawal dari kumpulan surat dan catatan hariannya yang dikumpulkan oleh sahabat Belandanya Mr. Abendanon yang kemudian di bukukan oleh dirinya dan di beri judul Door Duisternis tot licht 1911 dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
            Hari kartini yang di canangkan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu hal  yang terbilang kontroversial, karena Kartini adalah sosok yang dibilang sangat dekat dengan elit-elit kolonial seperti J.H. Abendanon, Snouck Hurgronje, dan H.H Van Koll. Hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa Kartini bukanlah sosok nasionalis. Pada masanya, pemerintah Kolonial Belanda mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi pribumi terhadap kebijakan politik asosiasi, di mana politik ini bertujuan untuk mencampurkan budaya Barat dan Timur dalam tanda kutip budaya Barat lebih mendominasi. Sehubung dengan itu, Belanda melihat kecocokan sosok Kartini sebagai perempuan Indonesia yang ideal terhadap kebijakan mereka. Untuk mempermudah kepentingan mereka, melalui Partai Radikal Demokrat oleh C. Th. van Daventer, mereka mendirikan Komite Kartini Fonds.
Prof. Harsja W Bachtiar menyatakan Bangsa Indonesia menjadikan Kartini sebagai lambang emansipasi wanita Indonesia dari orang-orang Belanda. Ia melihat sosok Kartini sebagai sebuah rekayasa sejarah yang dibuat pemeritah kolonial sebagai perempuan pribumi yang menjadi inspirasi bagi kemajuan perempuan Indonesia dan sebuah sosok yang diciptakan oleh Pemerintah Kolonial untuk menunjukan pemikiran baratlah yang menginspirasi perempuan Indonesia. Apakah Kartini hanya hasil rekayasa? politik etis Pemerintah Kolonial yang ingin menjalankan polotik Asosiasi? Begitulah tulis Taufik Abdulah
Modifikasi terhadap narasi kartini berlanjut pasca kemerdekaan yang dilakukan oleh Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Dua Organisasi yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) ini gigih berkampanye tentang Kartini sebagai perempuan yang bukan hanya memperjuangkan hak perempuan dalam bidang pendidikan, tetapi juga pejuang anti-feodalisme dan anti-kolonialisme, bahkan Kartini disejajarkan dengan Clara Zetki, perempuan komunis Jerman yang menginspirasi hari perempuan Internasional. Padahal hal tersebut berbanding terbalik jika kita melihat kembali ke paragraf atas. Setelah di ketahui Abdul Majid (adik tiri Kartini) adalah sosok yang berhaluan komunis membuat semakin berkoarnya kampanye tersebut. Sebenarnya wacana kampanye ini terbilang terlalu mengada-ada karna terlalu memaksa sosok kartini untuk menjadi seorang yang anti-feodalisme dan anti-kolonialisme. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan ruang gerak politik PKI untuk mengambil hati kaum proletar dan aktifis wanita pada zamannya
Setelah peritiwa G30S yang mebantai habis anggota dan organisasi underbown PKI lainnya, wacana politik tentang Kartini tak berhenti karna wacana politik itu kembali dicanangkan pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto. Di masa ini sosok Kartini tidak lagi menjadi sosok perempuan pejuang tetapi berubah menjadi “IBU” dan menjadikan perempuan seabagai sosok pendamping lelaki (seorang isteri), penagasuh anak, pengayom keluarga. Jika sebelumnya Kartini disandangkan dengan Clara Zetkit maka pada masa orde baru ia disandangkan oleh Ibu Tin (Isteri Soeharto) dan menjadi simbol anti Poligami.
Begitulah sosok Kartini yang tak lebih dari sebuah alat politik untuk mendapat simpati rakyat, sosok yang anti poligami tapi di poligami, sosok pejuang pendidikan tapi tak menamatkan pedidikan. Begitukah sosok perempuan Indonesia yang taklid dan takluk pada kekusaan, dekat dengan kolonial, dan tak berdaya yang hanya bisa memendamnya dalam tulisan. Jika sosok Kartini dibandingkan dengan pejuang wanita lainnya seperti Dewi Sartika yang mendirikan sekolah kaum perempuan, Cut Nyak Dien yang tak mau takluk dengan kolonial, Laksamana Malahayati yang tak takut mengarungi samudra luas, ia bukanlah siapa siapa. Sekali lagi kita bertanya,  pantaskah sosok Kartini menjadi ikon perempuan Indonesia?

Triraharjo   


LKISSAH
LKISSAH

Forum Pecinta Ilmu Sosial dan Sejarah

1 comment:

  1. Permainan Poker Paling Seru Bersama Winning303...
    Menghadirkan IDN poker

    Dengan 1 User ID, Sudah Dapat Bermain 8 Games Kartu Populer :
    1. Texas Poker
    2. Omaha Poker
    3. Domino QQ
    4. Ceme Keliling
    5. Bandar Ceme
    6. Capsa Susun
    7. Bandar Capsa
    8. BIG 2

    Tunggu Apa Lagi, Ayok Segera Daftarkan Diri Anda Bersama Kami Di Winning303

    Informasi Lebih Lanjut, Silakan Hubungi Kami Di :

    - WA : +6287785425244

    ReplyDelete