oleh : Baymer
Al ulama’ warosatul anbiya, “ulama adalah warisan para nabi”. [HR. Abu daud dan at Tirmidzi].
Di atas adalah sepenggal hadis tentang pengenalan sosok ulama di mata Nabi Muhammad. Kalau kita melihat hadis tersebut, jelaslah bahwa ulama itu adalah seorang yang mempunyai martabat tinggi, sehingga Nabi menyebut mereka sebagai pewarisnya. Dalam arti yang sesungguhnya, pewaris adalah penerus perjuangan yang dilakukan nabi selama hidupnya. Untuk mencapai posisi yang tersebut, tentu seseorang butuh disiplin dan kebersihan hati yang tinggi pula, sehingga dia pantas menerima title sebagai ulama. Selain memiliki disiplin dan kebersihan hati yang tinggi, ulama juga harus memberi kesan yang berwibawa terhadap orang yang berada di sekelilingnya. Sangat tidak heran jika seorang ulama selalu menjadi sosok panutan bagi umat, dan secara tidak langsung, ulama juga menjadi panutan bagi pemerintahan yang menjalankan syari’at agama. Bahkan pada momen tertentu, ulama juga menjadi orang yang dimintai pendapatnya oleh pemerintahan sekuler sekalipun. Seperti pada kasus Soeharto dan Nurcholis Madjid dkk pada peristiwa reformasi.
Posisi Yang Strategis
Di atas kita sudah melihat bahwa seorang yang memegang title sebagai ulama adalah orang yang benar-benar memiliki keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa, di mata agama maupun masyarakat luas. Selain keistimewaan yang disebutkan di atas, tentu ulama juga memiliki tanggung jawab yang tinggi pula, tidak jarang keputusan seorang ulama menjadi penentu terhadap terjadinya peristiwa-peristiwa besar di indonesia bahkan dunia. Seperti yang kita lihat pada peristiwa pembantaian syiah di Sampang. Peristiwa ini terjadi setelah sebelumnya MUI (majelis ulama indonesia) mengeluarkan fatwa sesat kepada penganut syiah. Atau berapa banyak nyawa yang terselamatkan karena Umar bin Abdul Aziz lebih memilih jalan diplomatis timbang kekerasan untuk menghadapi kaum Khawarij, dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang mengindikasikan bahwa keputusan ulama itu benar-benar berdampak besar terhadap hal apapun.
Dengan pengaruh yang dimilkinya, sejatinya seorang ulama harus benar-benar teliti ketika menentukan fatwa, apalagi terhadap hal-hal yang menyangkut sosial masyarakat dan negara. Dalam hal ini, umat Islam juga harus pintar memilih dan menentukan mana yang benar-benar ulama, mana pula yang hanya ingin memanfaatkan posisinya sebagai ulama, yang di dalam hadis disebutkan al ulama as su’ (ulama yang jahat). Akan tetapi hal tersebut dipersulit dengan susahnya membedakan antara ulama yang asli atau palsu. Tidak heran nabi muhammad lebih menghawatirkan kesesatan yang ditimbulkan oleh seorang ulama yang jahat timbang kesesatan yang didatangkan oleh dajjal. Karena kesesatan yang berasal dari ulama jahat terselubung di balik pamornya sebagai pewaris nabi. Berbeda dengan dajjal sudah jelas kesesatannya.
Untuk kita yang berada di indonesia, seseorang yang dianggap ulama oleh masyarakat, masih menjadi sosok yang dijadikan panutan untuk menentukan berbagai permasalahan agama. walaupun dari segi keilmuan si ulama belum tentu mempunyai kredibilitas yang cukup untuk menetukan masalah tersebut, tidak jarang si ulama memberi jawaban yang ngasal alias tanpa ada pertanggungjawaban yang bisa dipegang kebenarannya. Akhirnya, yang mendapat imbasnya adalah masyarakat awam yang cenderung mengabsolutkan ucapan para ulama tersebut. Selain membodoh-bodohi masyarakat, ulama juga sering dijadikan alat politik bagi parpol tertentu untuk merebut hati masyarakat. Ironisnya lagi, sebagian dari mereka mengada-adakan fatwa pendukung terhadap parpol yang diusungnya, yang sebenarnya tidak ada dalil syari’ahnya sama sekali. Lagi-lagi rakyat kecilah yang mejadi korban atas kelakuan buruk para ulama-ulama yang tidak bertanggung jawab.
Namun, selain contoh-contoh tingkah laku tidak senonoh para ulama su’ tersebut, tidak sedikit pula ulama yang benar-benar sosok yang dikatakan nabi seribu empat ratus tahun yang lalu. Yaitu mereka yang melanjutkan doktrin-doktrin perjuangan nabi, yang tercantum di dalam al quran dan hadis. Tidak jarang mereka menjadi pelopor utama kebaikan dalam lingkungan masyarakat. Mereka ini biasanya bercampur dengan ulama-ulama yang jahat, sehingga mempersulit masyarakat awam untuk membedakan identitas asli mereka.
Solusi
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa sejatinya setiap orang itu harus pintar memilah-milih fatwa-fatwa yang disampaikan para ulama. Untuk itu, masyarakat harus memiliki pengetahuan-pengetahuan dasar ajaran agama, seperti kebaikan bersama, hidup damai dengan tetangga, dan yang paling pentingnya adalah memilki rasa toleran yang tinggi terhadap perbedaan budaya, paham (madzhab), bahkan agama sekalipun. Dan penting juga bagi masyarakat untuk menyadari bahwa fatwa-fatwa yang disampaikan itu bukanlah sesuatu yang absolut kebenarannya, hal ini sangat efektif untuk menghindari taqlid buta yang sempat membuming pada abad pertengahan. Selain penekanan kesadaran dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat awam, ditekankan juga kepada para pelajar ataupun mahasiswa untuk memutus benang tindakan buruk yang sudah ada sejak zaman adam ini. Mungkin terlalu naif jikalau kita mengatakan untuk menghentikan kebiasaan ini, namun setidaknya kita sebagai pelajar dan mahasiswa mencoba untuk mengurangi statistik ulama-ulama bergolongan su’ yang ada di indonesia, dunia secara universalnya. Karena kalau tidak dengan dimulai dari pelajar-pelajar dan mahasiswa muda, maka ditakuti akan terlebih dahulu terbawa arus deras yang siap mengancam kapan dan di manapun.
Namun, usaha-usaha tersebut tidak akan terealisasikan dengan sempurna jika tidak dibantu dan didukung oleh pemerintahan. Karena bantuan dan dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk kelancaran proses sosialisasi kesadaran tentang posisi ulama yang sebenarnya kepada seluruh masyarakat hingga kepelosok-pelosok jauh. Begitu juga dukungan terhadap pelajar. Dengan bentuk-bentuk usaha di atas saya yakin bisa mengurangi kejumudan masyarakat terhadap tipuan-tipuan yang digencarkan oleh ulama-ulama yang bergolongan su’ tersebut, dan bisa menimbulakan benih-benih ulama baru yang mempunyai kredibilitas dan kapabilitas, sehingga bisa melanjutkan perjuangan Nabi dan mejadi warosatul anbiya yang sebenarnya. Amin. Baymer
[full_width]