July 26, 2016

Mereka-reka Sejarah dan Kebudayaan Mersam Jambi


Oleh: Ubaidillah (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam)

Penulis mulai penasaran sejak pertama kali tertarik dengan sejarah. Deretan rumah dan satu bangunan masjid di tepi sungai Batanghari, ribuan kubur yang tersebar  pada beberapa kelompok di seberang sini maupun seberang sana. Lalu siapa orang yang pertama kali mendirikan rumah dan yang pertama kali dikubur di sini, dan yang paling ingin penulis ketahui, sudah berapa lama kampung ini berdiri. Kadang penulis mencoba menyusun beberapa kemungkinan melalui nasab keluarga dengan bertanya kepada kakek penulis. Pertanyaan tersebut berupa apakah Buyut (kakeknya kakek penulis) asli orang kampung ini, apakah kondisi kampung pada masa mudanya sudah seramai saat ini dan bartanya tentang seorang tokoh yang katanya Pasirah pertama di kampung ini yang meninggal tahun 1929. Jika dihitung, untuk beberapa saat penulis berpendapat bahwa kampung ini sudah berdiri hampir satu setengah atau dua abad yang lalu. Tapi seorang teman mengatakan bahwa kuburan Keramat Tahan Kilang yang ada di seberang sungai depan masjid agung kampung ini adalah seorang Tumenggung, utusan langsung Orang Kayo Hitam yang merupakan sulthan kedua Jambi. Bayangkan saja, jika teman ini benar, maka kampung ini sudah ada sejak Kesultanan Jambi pertama kali berdiri, sekitar pertengahan abad 15, dan mungkin kampung ini termasuk salah satu daerah yang berada di kawasan Muaro Sebo, nama salah satu dari sembilan wilayah di Kesulthanan Jambi. 

Teman penulis juga mengatakan bahwa kampung ini dulu di sebut Muko-Muko, nama ini berarti bahwa kampung ini merupakan tempat penyelesaian masalah terakhir di Jambi. Ungkapan serupa juga penulis terima kala bertemu dengan seorang paman yang merupakan tetua adat di kampung ini.
Namun, sayangnya penulis belum pernah melihat langsung kuburan tersebut. Jadi kesimpulan sementara ini tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Lagi pula ucapan teman dan paman penulis belum diketahui sumbernya dengan jelas oleh penulis. Hal ini juga dikarenakan penulis memang belum serius untuk menelisik sejarah kampung ini lebih jauh lagi. Kegiatan-kegiatan yang penulis lakukan selama ini hanya sebatas mengobati rasa ingin tahu saja, tidak lebih dari itu.
Mungkin kalian ingin bertanya, kenapa tidak dilakukan penelitian serius saja? Jawabannya: iya, tapi nanti. Setelah penulis memiliki kemampuan menjadi seorang peneliti, yang akan penulis ceritakan kali ini adalah sebuah hipotesa budaya yang kelam. Mungkin hanya terdapat satu atau dua data saja yang masih tersisa yang oleh penulis sendiri tidak menemukannya. Bayangkan saja, terdapat ratusan atau bahkan ribuan tahun yang membatasi pergerakan peneliti. Sedikitnya sumber dan jarak waktu yang membentang membuat penulis hanya bisa memberikan pandangan spekulatif. Butuh kajian bertahun-tahun jika memang ingin meneliti kebenaran hipotesa ini. Peneliti mesti melakukan ekspedisi benda-benda kuno di kawasan komplek kuburan Keramat Tahan Kilang, harus tahan bercumbu dengan buku-buku dan manuskrip kuno dan pastinya membutuhkan kesabaran ekstra. Itupun belum optimal jika tidak mempunyai kemampuan meneliti dan mentor yang baik. Mungkin sedikit berlebihan, tapi itulah yang penulis bayangkan.

Seperti yang penulis sebutkan di atas, kampung ini mempunyai sejarah yang cukup panjang. Meskipun sulit dibenarkan tetapi beberapa budaya ternyata mendukung keterangan di atas. Salah satunya adalah tradisi naik  Gerudo pada saat acara pernikahan. Gerudo adalah tradisi turun temurun sejak dahulu, biasanya Gerudo dibuat semirip mungkin dengan burung dan hanya boleh ditunggangi oleh pasangan pengantin yang menyembelih kerbau atau sapi. Di pungungnya dibuat tempat duduk dengan kapasitas dua atau empat orang yang dikhususkan untuk pasangan pengantin dan keluarganya. Pengantin akan diarak-arak sepanjang perjalanan menuju rumah mempelai. Tradisi tersebut dinamakan Belarak. Biasanya pada tradisi Belarak, pengantin yang diarak di atas Gerudo akan diiringi Kompangan[1] Jambi dan dikawal oleh manusia topeng. Selain mengawal, manusia topeng juga akan berperan pendekar yang akan adu silat dengan pihak mempelai perempuan. Akan tetapi akhir-akhir ini manusia topeng jarang diadakan karena para pemainnya kerap mabuk-mabukan dan meresahkan masyarakat.

Jika melihat tradisi melayu secara umum, tradisi semacam ini sangat sulit dan bahkan boleh dikatakan hanya ada di kampung ini. Jelas Gerudo bukan pula tradisi Islam. Dari segi kata, maka Gerudo juga berarti burung garudo atau garuda. Hal ini juga diperkuat dengan bentuk Gerudo yang mirip burung. Pertanyaannya adalah kebudayaan mana yang identik dengan burung garuda? bagi budayawan dan sejarawan Indonesia tidak perlu mencari buku-buku di atas jejeran rak di perpusatakaan nasional untuk mengetahuinya. Dengan mudah mereka akan menjawab ini adalah budaya Hindu. Burung garuda adalah salah satu hewan mitos dalam agama Hindu. Burung ini merupakan tunggangan Dewa Wisnu. Dalam sejarah indonesia, beberapa raja membuat patung dirinya mengendarai burung garuda sebagai tanda dirinya titisan dewa atau sang dewa itu sendiri, seperti Airlangga, pendiri Kerajaan Kahuripan.

Berdasarkan beberapa fakta di atas maka tradisi naik Gerudo pada acara pernikahan dapat diidentifikasi sebagai warisan budaya Hindu di Jambi yang masih tersisa. Pernyataan ini juga diperkuat dengan syarat naik Gerudo hanya bagi mereka yang menyembelih kerbau atau sapi saja. Sedangkan sapi adalah hewan yang sakral dalam agama Hindu. Kita dapat melihat kisah Raja Mulawarman yang menyembelih 10.000 sapi untuk para Brahma sebagai bukti betapa istimewanya hewan sapi bagi agama Hindu. Penulis berpendapat bahwa tradisi ini dipengaruhi oleh dua kerajaan Hindu yang mengapit kampung kecil ini. Pertama kerajaan Hindu di Palembang dan kedua, yang paling kerajaan Hindu Darmasraya di Sumatra Barat.

Mengingat tidak ditemukan sedikitpun jejak reruntuhan yang bercorak Hindu di kampung ini, maka terlalu memaksa jika mengatakan tradisi ini asli diciptakan oleh penduduk kampung ini. Salah satu kemungkinan yang paling dekat adalah seorang Brahma di antara kedua kerajaan tersebut yang  pergi bersemedi ke kampung ini lalu meyebarkan mitos Garuda yang ditunggang dewa Wisnu. Kemudian oleh masyarakat di sini dijadikan sebagai tunggangan saat prosesi pernikahan. Sebagaimana Airlangga, bagi masyarakat kampung ini pengantin adalah raja, yang biasa disebut “Rajo Sehari”.
Untuk memperkuat argumen ini penulis mencoba menambahkan teori yang  dikemukakan oleh sarjana Eropa terkait budaya di Indonesia. Menurut mereka, agama di kepulauan Nusantara sejak dahulu sejatinya tidak diterima secara kaffah oleh penduduknya. Penduduk kepulauan ini hanya tertarik kepada hal-hal yang berbau mitos dan seni saja (Syekh Muhammad Naquib Al Athas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu). Adapun pelaksaan yang sebagaimana mestinya hanya dilaksanakan oleh sebagian keolmpok kecil saja seperti kelompok elit dan religius. Agama Hindu dan Budha katakanlah, agama ini tidak memberi kesan yang mendalam kepada pribumi melainkan ha-hal yang berbau mistis dan seni saja. Meskipun candi Borobudur dibangun megah dan sangat terlihat Hinduis, akan tetapi bagi masyarakat ketika itu tidak lain hanya sebagai pengganti dari pemujaan kepada nenek-moyang mereka. Terbukti dari komplek perkuburan di sekitar candi. Meletakan kuburan di komplek candi ini tidak ditemukan dalam ajaran Hindu di India. Hal ini menurut sejarawan Eropa sebagai bukti bahwa agama tidak benar-benar diterima oleh penduduk pribumi ketika itu (Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara 1989).

Sebagaimana dengan Hindu-Budha, hal yang sama juga terjadi pada Islam. sebagai agama datang belakanga Islam di Nusantara tidak bisa keluar dari bayang-bayang kedua agama dominan sebelumnya. Mereka tidak pula bisa keluar dari hal yang berbau mistis dan seni. Dalam klasifikasi Islam di Jawa katakanlah, di Jawa Islam terbagi kepada tiga kaum, priyai, santri dan abangan (Gertz, Islam Jawa) di mana kaum abangan masih tetap menganut paham Jawa Kuno. Hal serupa juga penulis alami di Sumatra meskipun oleh Naquib Al Athas dibantah. Menurutnya hal seperti itu hanya terjadi di Jawa saja, tidak terhadap masyarakat Melayu di Sumatra dan semenanjung Malaya. Meskipun tidak banyak seperti di Jawa, menurut penulis di Sumatra juga tetap memiliki budaya-budaya mistis yang sangat tidak Islam dan cenderung Hindu, salah satunya adalah tradisi naik Gerudo dan manusia topeng pada saat acara pernikahan di kampung ini. Selain Gerudo, masyarakat kampung ini juga mempercayai reinkarnasi seperti masyarakat Hindu yang disebut ngundu.
Hipotesa ini memang tidak di disertakan dengan proses penelitian yang sesuai dengan standar akademis. Segala tesis yang disampaikan bukanlah sesuatu yang ilmiah. Oleh karena itu jangan menganggap ini serius. Adapun tujuan dari penulis hanya sebatas ungkapan rasa cinta  kepada kampung ini. Selain itu penulis juga mencoba membiasakan diri menulis dan menganalisis tentang apa saja. Kampung ini memang tidak mempunyai catatan tentang sejarah dan kebudayaannya. Setidaknya dengan tulisan ini ikut menambah dan menjadi penyemangat untuk dilakukan penelitian yang serius sebagaimana mestinya.

Oh iya, kata “kampung ini” maksudnya dua desa tertua di kecamatam Mersam, Batanghari, Jambi. Dua desa tersebut adalah desa Mersam atau Kampung Abang dan Kampung Asam dan kedua desa Kembang Tanjung atau Kampung Tanah Genting dan Kampung Badaro. Kemudian klaim ini merambah ke empat desa berikutnya, Kembang Paseban, Benteng Rendah, Benteng Tinggi dan Mencora (Pematang Gadung Bagian ilir). Sebelah hulu/mudik kecamatan Mersam terdapat kecamatan Muaro Sebo Hulu sedangkan sebelah ilir terdapat kecamatan Muaro Tembesi, desa Rambutan Masam, termasuk salah satu dusun tertua yang sudah dibuktikan.

[1] Semacam rebana.

Oleh: Ubaidillah (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, dan Divisi Kominfo Lkissah)

[full_width]







LKISSAH
LKISSAH

Forum Pecinta Ilmu Sosial dan Sejarah

No comments:

Post a Comment