Oleh: Ubaidillah (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam)
Penulis
mulai penasaran sejak pertama kali tertarik dengan sejarah. Deretan rumah dan satu
bangunan masjid di tepi sungai Batanghari, ribuan kubur yang tersebar pada beberapa kelompok di seberang sini maupun
seberang sana. Lalu siapa orang yang pertama kali mendirikan rumah dan yang
pertama kali dikubur di sini, dan yang paling ingin penulis ketahui, sudah
berapa lama kampung ini berdiri. Kadang penulis mencoba menyusun beberapa
kemungkinan melalui nasab keluarga dengan bertanya kepada kakek penulis.
Pertanyaan tersebut berupa apakah Buyut (kakeknya kakek penulis) asli orang
kampung ini, apakah kondisi kampung pada masa mudanya sudah seramai saat ini
dan bartanya tentang seorang tokoh yang katanya “Pasirah” pertama di kampung ini yang meninggal
tahun 1929. Jika dihitung, untuk beberapa saat penulis berpendapat bahwa
kampung ini sudah berdiri hampir satu setengah atau dua abad yang lalu. Tapi
seorang teman mengatakan bahwa kuburan Keramat Tahan Kilang yang ada di
seberang sungai depan masjid agung kampung ini adalah seorang Tumenggung, utusan
langsung Orang Kayo Hitam yang merupakan sulthan kedua Jambi. Bayangkan saja,
jika teman ini benar, maka kampung ini sudah ada sejak Kesultanan Jambi pertama
kali berdiri, sekitar pertengahan abad 15,
dan mungkin kampung ini termasuk salah satu daerah
yang berada di kawasan Muaro Sebo, nama salah satu dari sembilan wilayah di Kesulthanan
Jambi.
Teman penulis
juga mengatakan bahwa kampung ini dulu di sebut Muko-Muko, nama ini berarti
bahwa kampung ini merupakan tempat penyelesaian masalah terakhir di Jambi. Ungkapan
serupa juga penulis terima kala bertemu dengan seorang paman yang merupakan
tetua adat di kampung ini.
Namun,
sayangnya penulis belum pernah melihat langsung kuburan tersebut. Jadi
kesimpulan sementara ini tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Lagi pula ucapan teman
dan paman penulis belum diketahui sumbernya dengan jelas oleh penulis. Hal ini juga
dikarenakan penulis memang belum serius untuk menelisik sejarah kampung ini
lebih jauh lagi. Kegiatan-kegiatan yang penulis lakukan selama ini hanya
sebatas mengobati rasa ingin tahu saja, tidak lebih dari itu.
Mungkin
kalian ingin bertanya, kenapa tidak dilakukan penelitian serius saja?
Jawabannya: iya, tapi nanti. Setelah penulis memiliki kemampuan menjadi seorang
peneliti, yang akan penulis
ceritakan kali ini adalah sebuah hipotesa budaya yang kelam. Mungkin hanya
terdapat satu atau dua data saja yang masih tersisa yang oleh penulis sendiri
tidak menemukannya. Bayangkan saja, terdapat ratusan atau bahkan ribuan tahun
yang membatasi pergerakan peneliti. Sedikitnya sumber dan jarak waktu yang membentang membuat penulis
hanya bisa memberikan pandangan spekulatif. Butuh kajian bertahun-tahun jika
memang ingin meneliti kebenaran hipotesa ini. Peneliti mesti melakukan
ekspedisi benda-benda kuno di kawasan komplek kuburan Keramat Tahan Kilang,
harus tahan bercumbu dengan buku-buku dan manuskrip kuno dan pastinya
membutuhkan kesabaran ekstra. Itupun belum optimal jika tidak mempunyai
kemampuan meneliti dan mentor yang baik. Mungkin sedikit berlebihan, tapi
itulah yang penulis bayangkan.
Seperti
yang penulis sebutkan di atas, kampung ini mempunyai sejarah yang cukup
panjang. Meskipun sulit dibenarkan tetapi beberapa budaya ternyata mendukung
keterangan di atas. Salah satunya
adalah tradisi naik Gerudo pada saat acara pernikahan. Gerudo adalah tradisi turun temurun sejak dahulu, biasanya Gerudo dibuat semirip mungkin dengan
burung dan hanya boleh ditunggangi
oleh pasangan pengantin yang menyembelih kerbau
atau sapi. Di pungungnya dibuat tempat duduk dengan kapasitas dua atau empat
orang yang dikhususkan untuk pasangan pengantin
dan keluarganya. Pengantin akan diarak-arak sepanjang perjalanan menuju rumah
mempelai. Tradisi tersebut dinamakan Belarak.
Biasanya pada tradisi Belarak, pengantin
yang diarak di atas Gerudo akan
diiringi Kompangan[1]
Jambi dan dikawal oleh manusia topeng. Selain mengawal, manusia topeng juga
akan berperan pendekar yang akan adu silat dengan pihak mempelai perempuan.
Akan tetapi akhir-akhir ini manusia topeng jarang diadakan karena para
pemainnya kerap mabuk-mabukan dan meresahkan masyarakat.
Jika
melihat tradisi melayu secara umum, tradisi semacam ini sangat sulit dan bahkan
boleh dikatakan hanya ada di kampung ini. Jelas Gerudo bukan pula tradisi Islam. Dari segi kata, maka Gerudo juga
berarti burung garudo atau garuda. Hal ini juga diperkuat dengan bentuk Gerudo yang mirip burung. Pertanyaannya
adalah kebudayaan mana yang identik dengan burung garuda? bagi budayawan dan
sejarawan Indonesia tidak perlu mencari buku-buku di atas jejeran rak di
perpusatakaan nasional untuk mengetahuinya. Dengan mudah mereka akan menjawab
ini adalah budaya Hindu. Burung garuda adalah salah satu hewan mitos dalam agama Hindu.
Burung ini merupakan tunggangan Dewa Wisnu. Dalam sejarah indonesia, beberapa
raja membuat patung dirinya mengendarai burung garuda sebagai tanda dirinya
titisan dewa atau sang dewa itu sendiri, seperti Airlangga, pendiri Kerajaan
Kahuripan.
Berdasarkan
beberapa fakta di atas maka tradisi naik Gerudo pada acara pernikahan dapat
diidentifikasi sebagai
warisan budaya Hindu di Jambi yang masih tersisa. Pernyataan ini juga diperkuat
dengan syarat naik Gerudo hanya bagi mereka yang menyembelih kerbau atau sapi
saja. Sedangkan sapi adalah hewan yang sakral dalam agama Hindu. Kita dapat
melihat kisah Raja Mulawarman yang menyembelih 10.000 sapi untuk para Brahma sebagai
bukti betapa istimewanya hewan sapi bagi agama Hindu. Penulis berpendapat bahwa
tradisi ini dipengaruhi oleh dua kerajaan Hindu yang mengapit kampung kecil
ini. Pertama kerajaan Hindu di Palembang dan kedua, yang paling kerajaan Hindu
Darmasraya di Sumatra Barat.
Mengingat
tidak ditemukan sedikitpun jejak reruntuhan yang bercorak Hindu di kampung ini,
maka terlalu memaksa jika mengatakan tradisi ini asli diciptakan oleh penduduk
kampung ini. Salah satu kemungkinan yang paling dekat adalah seorang Brahma di
antara kedua kerajaan tersebut yang pergi bersemedi ke kampung ini
lalu meyebarkan mitos Garuda yang ditunggang dewa Wisnu. Kemudian oleh
masyarakat di sini dijadikan sebagai tunggangan saat prosesi pernikahan.
Sebagaimana Airlangga, bagi masyarakat kampung ini pengantin adalah raja, yang
biasa disebut “Rajo Sehari”.
Untuk
memperkuat argumen ini penulis mencoba menambahkan teori yang dikemukakan oleh sarjana Eropa terkait budaya
di Indonesia. Menurut mereka, agama di kepulauan Nusantara sejak dahulu
sejatinya tidak diterima secara kaffah
oleh penduduknya. Penduduk kepulauan ini hanya tertarik kepada hal-hal yang
berbau mitos dan seni saja (Syekh Muhammad Naquib Al Athas, Islam dalam Sejarah
dan Kebudayaan Melayu). Adapun pelaksaan yang sebagaimana mestinya hanya dilaksanakan
oleh sebagian keolmpok kecil saja seperti kelompok elit dan religius. Agama
Hindu dan Budha katakanlah, agama ini tidak memberi kesan yang mendalam kepada
pribumi melainkan ha-hal yang berbau mistis dan seni saja. Meskipun candi
Borobudur dibangun megah
dan sangat terlihat Hinduis, akan tetapi bagi masyarakat ketika itu tidak lain
hanya sebagai pengganti dari pemujaan kepada nenek-moyang mereka. Terbukti dari
komplek perkuburan di sekitar candi. Meletakan kuburan di komplek candi ini tidak
ditemukan dalam ajaran Hindu di India. Hal ini menurut sejarawan Eropa sebagai
bukti bahwa agama tidak benar-benar diterima oleh penduduk pribumi ketika itu
(Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara 1989).
Sebagaimana
dengan Hindu-Budha, hal yang sama juga terjadi pada Islam. sebagai agama datang
belakanga Islam di Nusantara tidak bisa keluar dari bayang-bayang kedua agama
dominan sebelumnya. Mereka tidak pula bisa keluar dari hal yang berbau mistis
dan seni. Dalam klasifikasi Islam di Jawa katakanlah, di Jawa Islam terbagi
kepada tiga kaum, priyai, santri dan abangan (Gertz, Islam Jawa) di mana kaum
abangan masih tetap menganut paham Jawa Kuno. Hal serupa juga penulis alami di Sumatra
meskipun oleh Naquib Al Athas dibantah. Menurutnya hal seperti itu hanya
terjadi di Jawa saja, tidak terhadap masyarakat Melayu di Sumatra dan
semenanjung Malaya. Meskipun tidak banyak seperti di Jawa, menurut penulis di Sumatra
juga tetap memiliki budaya-budaya mistis yang sangat tidak Islam dan cenderung
Hindu, salah satunya adalah tradisi naik Gerudo
dan manusia topeng pada saat acara pernikahan di kampung ini. Selain Gerudo, masyarakat kampung ini juga
mempercayai reinkarnasi seperti masyarakat Hindu yang disebut ngundu.
Hipotesa
ini memang tidak di disertakan dengan proses penelitian yang sesuai dengan
standar akademis. Segala tesis yang disampaikan bukanlah sesuatu yang ilmiah.
Oleh karena itu jangan menganggap ini serius. Adapun tujuan dari penulis hanya
sebatas ungkapan rasa cinta kepada
kampung ini. Selain itu penulis juga mencoba membiasakan diri menulis dan
menganalisis tentang apa saja. Kampung ini memang tidak mempunyai catatan
tentang sejarah dan kebudayaannya. Setidaknya dengan tulisan ini ikut menambah
dan menjadi penyemangat untuk dilakukan penelitian yang serius sebagaimana
mestinya.
Oh
iya, kata “kampung ini” maksudnya dua desa tertua di kecamatam Mersam,
Batanghari, Jambi. Dua desa tersebut adalah desa Mersam atau Kampung Abang dan
Kampung Asam dan kedua desa Kembang Tanjung atau Kampung Tanah Genting dan
Kampung Badaro. Kemudian klaim ini merambah ke empat desa berikutnya, Kembang
Paseban, Benteng Rendah, Benteng Tinggi dan Mencora (Pematang Gadung Bagian
ilir). Sebelah hulu/mudik kecamatan Mersam terdapat kecamatan Muaro Sebo Hulu
sedangkan sebelah ilir terdapat kecamatan Muaro Tembesi, desa Rambutan Masam,
termasuk salah satu dusun tertua yang sudah dibuktikan.
[1] Semacam rebana.
Oleh: Ubaidillah (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, dan Divisi Kominfo Lkissah)
[full_width]
No comments:
Post a Comment