(Sumber
Foto: headforthehillsvhs.com)
Kalau
boleh memilih, aku tak ingin dilahirkan seperti ini. Lahir? Mungkin kata yang lebih tepat adalah
dilesatkan, dilesatkan dari perut ibunda sebagai telur dan menunggu sampai
telurku siap ditetaskan. Dengan kepakan sayap kecil, hinggap ke sana-kemari
tanpa pernah ada yang peduli. Jangan berpikir aku kupu-kupu, yang meski berasal
dari ulat bulu tapi tetap menjadi primadona dan sering diabadikan dalam bait-bait
puisi. Siapa peduli dengan masa lalu kupu-kupu? Yang terpenting adalah yang
tampak saat ini, bukan?
Jangan
pula berpikir kalau aku seekor lalat, yang kedatangannya amat dibenci para
ibu-ibu yang tak ingin anak-anaknya sakit perut akibat ulah lalat yang hinggap
di jajanan mereka. Sekalipun aku juga insekta macamnya, aku lebih menjaga
kebersihan dan tak hinggap di sisa makanan atau kotoran manusia.
Aku
seekor nyamuk. Perangaiku adalah citra buruk yang orang-orang sematkan, katanya
aku dan sebangsaku pembawa petaka, tak peduli dari golongan mana keluargaku
berasal. Padahal, ada banyak jenis nyamuk di dunia ini, Anopheles, Culex, Aedes, atau apapun, dan sepengetahuanku
keluargaku bukan berasal dari jenis pembawa penyakit itu. Keluargaku hanya
menyebabkan bentol kecil yang akan hilang sepersekian detik saja, tapi manusia
tak pernah mau mendengarkan. Nyamuk ya
nyamuk, mesti dibasmi hingga jentik-jentiknya.
Kalau begitu ku pikir ada yang keliru, jika manusia bisa mengatakan semua
nyamuk sama saja, mengapa mereka mengkotak-kotakkan diri dalam
golongan-golongan dan merasa paling benar? Apakah penggolongan-penggolongan itu
hanya berlaku untuk manusia?
Betapa
enaknya jadi manusia. Selama ini aku selalu memimpikan menjadi manusia yang
diberkati dengan akal budi, dengan segala kuasa bisa melakukan apa saja yang disuka.
Ah, andai saja, tapi aku tetaplah seekor nyamuk jantan yang hidup nomaden di
sekitar kos-kostan. Pekerjaanku adalah mengawal nyamuk-nyamuk betina berburu
setetes darah segar manusia karena memang hanya nyamuk betinalah yang minum
darah. Aku berpatroli, berjaga-jaga agar jangan sampai nyamuk-nyamuk betina itu
dirundung bahaya, takut-takut kalau sampai ketahuan, bisa-bisa kami digeprak dengan sapu lidi atau disemprot
dengan cairan obat nyamuk. Sebenarnya aku dan kawan-kawanku bisa tahan,
lama-lama kami memang kebal dengan pelbagai obat nyamuk murahan itu, tapi
akhir-akhir ini aku dengar ibu pemilik kost-kostan di sini sudah berencana akan
memanggil petugas fogging bila
nyamuk-nyamuk semakin mewabah.
Aku
bergidik ngeri, aku memang tak tahu fogging
itu apa, tapi yang jelas ayahku pernah bercerita kalau ibuku meninggal
karenanya. Meninggal? Ah, kurasa untuk insekta macam kami tak tepat menggunakan
kata meninggal. Baiklah, kalau begitu ku ralat: ibuku mati karenanya. Begitu
lebih baik bukan? Huft..aku benar-benar takut kalau sampai itu terjadi, sebagai
anak tertua aku sudah memperingatkan adik-adik dan sepupuku untuk lebih
waspada, yakni jangan berterbangan terlalu sering dan mewanti-wanti para nyamuk
betina agar tak bertelur di bak mandi, aku pernah melihat ibu kost memasukkan
bubuk abate ke dalamnya.
Manusia
itu memang aneh, tak habis pikir dengan kelakukan mereka dalam memerangi
sebangsaku. Katanya keluargaku penyebab malaria dan demam berdarah, padahal
siapa pula yang mengundang keluargaku untuk menetap di sini? Lihat saja, kamar
kost yang selalu berantakan itu, tumpukkan baju lembab dan kaus kaki kumal yang
tak ganti seminggu, itu sudah cukup menjadi undangan untuk kami bertandang,
lalu setelahnya mereka seenaknya menghakimi sebangsaku sebagai penebar teror
penyakit.
Bumi
tak lagi nyaman untukku, aku rindu dengan cerita ayah dan kakek tentang masa
lalu nyamuk puluhan tahun silam. Katanya, nyamuk hidup tenteram di dalam hutan
yang tak pernah terjamah manusia. Terbang bebas tanpa khawatir obat nyamuk cair
dan fogging. Nyamuk bebas makan apa saja, serta
bertelur di air yang tergenang tanpa takut teracuni abate. Nyamuk hidup
berdampingan dengan mahkluk hidup lain, dalam siklus rantai makanan yang memang
sudah menjadi hukum alam.
Tiba-tiba
manusia memperkosa hutan kami, merenggut masa depan ekosistem hutan, merampas
semua yang ada atas nama pembangunan. Persetan dengan pembangunan, kalau
ternyata hanya penghalusan kata dari eksploitasi hutan perawan. Terpaksa
keluargaku menggalakkan urbanisasi, tak ada lagi tempat tinggal nyaman dan
kebahagiaan di kampung halaman. Yang tersisa hanya kenangan, itu yang selalu Ayah
dan Kakekku ceritakan.
Begitulah
riwayat nyamuk-nyamuk terdahulu, dan sebagai nyamuk muda aku tak ingin terbunuh
dengan sia-sia. Maka, aku selalu berdoa agar aku bisa menghabiskan sisa umurku ini
untuk sesuatu yang berguna, tapi apalah daya seekor nyamuk pejantan sepertiku? Andai aku jadi manusia...betapa enaknya jadi mereka..
“Jangan
mimpi, bagaimanapun kita tetap nyamuk. Buyut dan nenek moyangmu juga nyamuk!”
ujar ayah saat aku berandai-andai jadi manusia. Sepengetahuanku ayah memang
menyimpan kebencian yang dalam terhadap manusia sepeninggal ibuku yang
keracunan fogging.
“Semua
manusia itu sama saja, jahat!” Ayah murka, wajahnya merah padam.
“Tak
semua manusia jahat, ayah. Aku pernah melihat manusia yang baik, tak mencoba
membunuhku meskipun aku sering berterbangan di kamar kostnya” aku mendebat,
sementara ayah tak menerima jajak pendapat. Ayah merasa paling benar dan menganggap
anaknya yang belum lama menetas ini paling bersalah. Tak ada demokrasi dalam
kamus ayah, selama ini ayah mendidikku menjadi seekor nyamuk pejantan yang
hanya bisa manut pada perintah Ayah.
“Kalau
begitu apa beda Ayah dengan manusia? Ayah menganggap semua mausia sama saja,
seperti manusia yang mengangap semua nyamuk sama saja” Cercauku, Ayah
benar-benar naik pitam, baru kali ini aku lihat Ayah sebegitu marah.
“Cukup
manusia saja yang punya jiwa kebinatangan, tidak dengan kita!” Untuk
selanjutnya Ayah memilih mengepakkan sayapnya entah kemana, meninggalkanku
sendiri dalam kemalangan sepi. Aku beringsut menemui Kakek, kurasa aku lebih
suka berbicara dengan kakek, meskipun pendengarannya sudah mulai tak berfungsi
dengan baik, kakek senang mendengarkan keluh kesahku.
“Nak,
sekalipun kelihatannya jadi manusia itu menyenangkan, ketahuilah bahwa kau akan
lebih berbahagia jadi dirimu sendiri, sebagai seekor nyamuk. Sejarah berulang
nak, induk nyamuk akan menetaskan telur nyamuk, tidak yang lainnya” penekanan
kakek terhadap statusku memberikan tamparan yang luar biasa, tapi itu cukup
menguatkanku agar tetap menjadi diriku sendiri. Aku baru mengerti sekarang,
sejatinya apa yang Kakek sampaikan tak jauh berbeda dengan Ayah, namun kemasan
dalam penyampaian yang berbeda akan melahirkan respon yang berbeda pula. Ayah
dan Kakek benar, seharusnya aku berpikir lebih rasional.
“Tak
perlu berwujud lain untuk jadi lebih berguna, cukup menjadi dirimu, pergunakan
hatimu, dan ikhlas.” Gumam Kakek pelan sambil terbatuk-batuk. Jangan bayangkan
Kakekku terbatuk seperti manusia, batuk Kakek tak akan mungkin terdengar oleh
telinga manusia yang lebih sering mendengarkan gosip di tv ketimbang
mendengarkan suara hati mereka sendiri.
Usia
kakek memang sudah renta, tapi Kakek masih eksis
hidup di dunia. Tak ada yang tahu seberapa panjang usia kecuali sang pencipta,
bisa jadi aku mati besok sementara Kakek akan kembali bugar seperti sediakala.
Mungkin,
mimpi bertransformasi menjadi manusia hanyalah sebatas langit-langit kamar kost
yang kusambangi malam ini. Dalam redup bola lampu lima belas watt, malam merangkul senyap yang
mengantarkanku pada kehampaan. Tanpa sadar aku termenung sampai pagi, di balik sweater tebal yang tergantung lemah di
sangkutan baju. Samar-samar kudengar kamar kost digedor, penghuni kost yang
merupakan pria berpenampilan urakan membuka kunci pintu. Wajah bundar ibu
pemilik kost menyembul, parfum murahan yang dikenakannya menyeruak, mengganggu indera
penciuman pria urakan yang baru bangun dari tidurnya itu.
“Pukul
delapan petugas fogging datang, mohon
keluar sebentar dan tutupi makanan yang ada ya” pinta ibu kost, sementara yang
dipinta mengangguk-angguk setuju. Aku terbelalak, pukul delapan! Itu berarti
sepuluh menit lagi. Aku segera menyelinap dari sela-sela ventilasi untuk
mengabarkan pada sebangsaku. Cukup sulit menemukan mereka, aku melesat cepat
mengitari kamar kost yang jumlahnya belasan.
“Teman-teman,
sebentar lagi akan ada fogging, cepat
mengungsi!” aku berteriak-teriak, sebagian menurut untuk terbang menjauh,
sebagian lagi tak percaya dengan ucapanku. Tak apa, yang penting aku sudah
mengingatkan. Seketika aku teringat kakek, apakah ia bisa terbang cepat dengan
penyakitnya yang kian parah? Kuputuskan untuk tak pergi sebelum membawa kakek,
tapi setelah lelah berputar tak kutemukan kakek dimana-mana, apa mungkin sudah
ada yang mengajaknya pergi? Kuharap begitu.
Dari
kejauhan kulihat asap putih yang makin lama makin tebal, apakah kostan ini
kebakaran? Pikirku. Asap itu berbau
sangit, makin lama makin memabukkanku. Aku hampir pingsan saat menyadari asap
itu berasal dari seorang manusia berpakaian seperti makhluk luar angkasa yang
diam-diam kulihat di tv. Di tangannya tergenggam alat berat yang menghembuskan
asap putih mengepul. Aku ingin melarikan diri, terhuyung-huyung asap ini
membuatku limbung, aku mereguk racun itu dan jatuh ke lantai. Mataku terpejam, semuanya
terasa berputar-putar, dalam pekat kegelapan itu aku menyadari satu hal; aku hanyalah seekor nyamuk jantan, tapi
setidaknya ada yang kulakukan sebelum nyawa ini terenggut masa.*
Chitra
Sari Nilalohita, lahir dan besar di Sawangan, Depok. Kini mengenyam pendidikan
di jurusan PGMI UIN Jakarta sejak tahun 2013. Pencinta hujan, senja, kucing, serta
segala sesuatu berwarna pink. Bisa dikunjungi di Fb: Chitrasari Nilalohita atau
no.hp: 08567549492 ;):)*dimuat
di mahasiswabicara.com
(Sumber Foto: headforthehillsvhs.com) Kalau boleh memilih, aku tak ingin dilahirkan seperti ini. Lahir? Mungkin kata yang lebih tepa...