July 31, 2016

Konspirasi, kelengkapan dalam pigura hidup manusia

Konspirasi, istilah ini memang tidak asing di telinga manusia yang tinggal di bumi ini. konspirasi yang dalam KBBI berarti ‘persekongkolan’ adalah situasi yang terjadi secara disengaja untuk mengonsep sebuah peristiwa agar sesuai dengan tujuan tanpa terjun secara langsung.
Konspirasi memang tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan rencana matang penuh strategi. Oleh karenanya, konspirasi dijamuri oleh aktor-aktor berkelas borjuis dan memiliki pengaruh serta kedudukan yang strategis. Namun, para figuran dalam drama konspirasi tidak hanya aktor semacam itu, para proletar dan manusia tak tahu menahu bisa jadi terlibat di dalamnya. Karena konspirasi tidak bermain dengan hati atau perasaan, tapi dengan ‘akal’.
Sebut saja kasus World Trade Center 9/11 2001 yang setelah diselidiki, memunculkan indikasi konspirasi. Dan baru baru ini, Freddy Budiman, terpidana mati kasus penyelundupan narkoba yang telah dieksekusi mati pada Jum’at (29/07/2016) dini hari di lapangan Tembang Limus, Buntu, Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah di era pemerintahan Presiden Joko Widodo juga memunculkan indikasi ‘konspirasi’, atas dasar pengakuanya yang dipublikasi media oleh Haris Azhar dan menjadi ‘heboh’ di dunia maya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah ada apa ini? siapa yang benar? Siapa yang salah?
Menghukum orang yang melakukan kejahatan adalah sebuah tindakan yang harus dilakukan oleh setiap aparat penegak hukum negara demi ketertiban, kenyamanan, dan kemakmuran negaranya. Namun, jika kemudian aparat sebagai penegak hukum gagal menagantongi kepercayaan rakyat, maka itu adalah ketidakbenaran yang harus segera diatasi.
Berbicara tentang konspirasi, sebagian orang ‘gerah’ dengan istilah ini, bahkan bisa meneriaki dengan sumpah serapah ala pahlawan revolusi, dan sebagian lagi ‘biasa biasa’ saja. Dan saya adalah kategori biasa biasa saja, karena konspirasi adalah bagian dari kelengkapan hidup manusia. Diawali dengan sebuah pertanyaan, bagaimana proses Adam turun ke bumi hingga keturunanya tinggal di bumi sampai hari akhir menghampiri? Bagi saya ini adalah sebuah konspirasi.
Dikisahkan bahwa di Surga, semua yang serba ada bisa dimakan tanpa larangan dan tanpa himbauan, kecuali buah khuldi yang tidak boleh dimakan, Setan yang saat itu telah bersumpah untuk menggoda manusia mencoba melakukan tugasnya untuk menggoda Hawa, seorang perempuan yang akan merayu Adam untuk melanggar larangan Allah tersebut, dan Adam tidak bisa menolak permintaan pendamping yang sangat dicintainya, Hawa. Terjadilah peristiwa dimana Adam dan Hawa mendapat hukuman Allah hingga ia harus turun ke bumi dan tinggal bersama keturunanya kelak.
Pernyataan bahwa Allah lebih dekat daripada urat nadi bukanlah pernyataan kekinian yang kemudian diyakini manusia, lebih dari pada itu Allah pasti telah mengetahui semuanya saat Adam akan diturunkan ke Bumi sebagaimana dalam firman Nya bahwa Allah hendak menjadikan Khalifah di bumi pada proses penciptaan Adam yang dikritik oleh Malaikat. Jika Adam tidak melakukan kesalahan di Surga, maka untuk apa Allah menciptakan Adam? Mengapa Allah membiarkan Adam melakukan kesalahan hingga kemudian sisa hidupnya harus tinggal di bumi? Ini adalah sebuah ‘konspirasi’ dan ini terjadi sejak milyaran tahun yang lalu, oleh Allah sendiri. Konspirasi hanya istilah bau kencur yang baru terkenal sejak peristiwa 9/11. Tapi pola dan prosesnya telah terjadi sepanjang hidup manusia, seperti beras di Asia Tenggara, atau Roti di Eropa, konspirasi adalah bahan pokok yang semua bisa melakukan, melihat, mendengar, dan terlibat bahkan menjadi korban.

Oleh :
Safurotun Ziah, penyuka buah pear


Konspirasi, kelengkapan dalam pigura hidup manusia Konspirasi, istilah ini memang tidak asing di telinga manusia yang tinggal di bumi...

July 26, 2016

Mereka-reka Sejarah dan Kebudayaan Mersam Jambi


Oleh: Ubaidillah (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam)

Penulis mulai penasaran sejak pertama kali tertarik dengan sejarah. Deretan rumah dan satu bangunan masjid di tepi sungai Batanghari, ribuan kubur yang tersebar  pada beberapa kelompok di seberang sini maupun seberang sana. Lalu siapa orang yang pertama kali mendirikan rumah dan yang pertama kali dikubur di sini, dan yang paling ingin penulis ketahui, sudah berapa lama kampung ini berdiri. Kadang penulis mencoba menyusun beberapa kemungkinan melalui nasab keluarga dengan bertanya kepada kakek penulis. Pertanyaan tersebut berupa apakah Buyut (kakeknya kakek penulis) asli orang kampung ini, apakah kondisi kampung pada masa mudanya sudah seramai saat ini dan bartanya tentang seorang tokoh yang katanya Pasirah pertama di kampung ini yang meninggal tahun 1929. Jika dihitung, untuk beberapa saat penulis berpendapat bahwa kampung ini sudah berdiri hampir satu setengah atau dua abad yang lalu. Tapi seorang teman mengatakan bahwa kuburan Keramat Tahan Kilang yang ada di seberang sungai depan masjid agung kampung ini adalah seorang Tumenggung, utusan langsung Orang Kayo Hitam yang merupakan sulthan kedua Jambi. Bayangkan saja, jika teman ini benar, maka kampung ini sudah ada sejak Kesultanan Jambi pertama kali berdiri, sekitar pertengahan abad 15, dan mungkin kampung ini termasuk salah satu daerah yang berada di kawasan Muaro Sebo, nama salah satu dari sembilan wilayah di Kesulthanan Jambi. 

Teman penulis juga mengatakan bahwa kampung ini dulu di sebut Muko-Muko, nama ini berarti bahwa kampung ini merupakan tempat penyelesaian masalah terakhir di Jambi. Ungkapan serupa juga penulis terima kala bertemu dengan seorang paman yang merupakan tetua adat di kampung ini.
Namun, sayangnya penulis belum pernah melihat langsung kuburan tersebut. Jadi kesimpulan sementara ini tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Lagi pula ucapan teman dan paman penulis belum diketahui sumbernya dengan jelas oleh penulis. Hal ini juga dikarenakan penulis memang belum serius untuk menelisik sejarah kampung ini lebih jauh lagi. Kegiatan-kegiatan yang penulis lakukan selama ini hanya sebatas mengobati rasa ingin tahu saja, tidak lebih dari itu.
Mungkin kalian ingin bertanya, kenapa tidak dilakukan penelitian serius saja? Jawabannya: iya, tapi nanti. Setelah penulis memiliki kemampuan menjadi seorang peneliti, yang akan penulis ceritakan kali ini adalah sebuah hipotesa budaya yang kelam. Mungkin hanya terdapat satu atau dua data saja yang masih tersisa yang oleh penulis sendiri tidak menemukannya. Bayangkan saja, terdapat ratusan atau bahkan ribuan tahun yang membatasi pergerakan peneliti. Sedikitnya sumber dan jarak waktu yang membentang membuat penulis hanya bisa memberikan pandangan spekulatif. Butuh kajian bertahun-tahun jika memang ingin meneliti kebenaran hipotesa ini. Peneliti mesti melakukan ekspedisi benda-benda kuno di kawasan komplek kuburan Keramat Tahan Kilang, harus tahan bercumbu dengan buku-buku dan manuskrip kuno dan pastinya membutuhkan kesabaran ekstra. Itupun belum optimal jika tidak mempunyai kemampuan meneliti dan mentor yang baik. Mungkin sedikit berlebihan, tapi itulah yang penulis bayangkan.

Seperti yang penulis sebutkan di atas, kampung ini mempunyai sejarah yang cukup panjang. Meskipun sulit dibenarkan tetapi beberapa budaya ternyata mendukung keterangan di atas. Salah satunya adalah tradisi naik  Gerudo pada saat acara pernikahan. Gerudo adalah tradisi turun temurun sejak dahulu, biasanya Gerudo dibuat semirip mungkin dengan burung dan hanya boleh ditunggangi oleh pasangan pengantin yang menyembelih kerbau atau sapi. Di pungungnya dibuat tempat duduk dengan kapasitas dua atau empat orang yang dikhususkan untuk pasangan pengantin dan keluarganya. Pengantin akan diarak-arak sepanjang perjalanan menuju rumah mempelai. Tradisi tersebut dinamakan Belarak. Biasanya pada tradisi Belarak, pengantin yang diarak di atas Gerudo akan diiringi Kompangan[1] Jambi dan dikawal oleh manusia topeng. Selain mengawal, manusia topeng juga akan berperan pendekar yang akan adu silat dengan pihak mempelai perempuan. Akan tetapi akhir-akhir ini manusia topeng jarang diadakan karena para pemainnya kerap mabuk-mabukan dan meresahkan masyarakat.

Jika melihat tradisi melayu secara umum, tradisi semacam ini sangat sulit dan bahkan boleh dikatakan hanya ada di kampung ini. Jelas Gerudo bukan pula tradisi Islam. Dari segi kata, maka Gerudo juga berarti burung garudo atau garuda. Hal ini juga diperkuat dengan bentuk Gerudo yang mirip burung. Pertanyaannya adalah kebudayaan mana yang identik dengan burung garuda? bagi budayawan dan sejarawan Indonesia tidak perlu mencari buku-buku di atas jejeran rak di perpusatakaan nasional untuk mengetahuinya. Dengan mudah mereka akan menjawab ini adalah budaya Hindu. Burung garuda adalah salah satu hewan mitos dalam agama Hindu. Burung ini merupakan tunggangan Dewa Wisnu. Dalam sejarah indonesia, beberapa raja membuat patung dirinya mengendarai burung garuda sebagai tanda dirinya titisan dewa atau sang dewa itu sendiri, seperti Airlangga, pendiri Kerajaan Kahuripan.

Berdasarkan beberapa fakta di atas maka tradisi naik Gerudo pada acara pernikahan dapat diidentifikasi sebagai warisan budaya Hindu di Jambi yang masih tersisa. Pernyataan ini juga diperkuat dengan syarat naik Gerudo hanya bagi mereka yang menyembelih kerbau atau sapi saja. Sedangkan sapi adalah hewan yang sakral dalam agama Hindu. Kita dapat melihat kisah Raja Mulawarman yang menyembelih 10.000 sapi untuk para Brahma sebagai bukti betapa istimewanya hewan sapi bagi agama Hindu. Penulis berpendapat bahwa tradisi ini dipengaruhi oleh dua kerajaan Hindu yang mengapit kampung kecil ini. Pertama kerajaan Hindu di Palembang dan kedua, yang paling kerajaan Hindu Darmasraya di Sumatra Barat.

Mengingat tidak ditemukan sedikitpun jejak reruntuhan yang bercorak Hindu di kampung ini, maka terlalu memaksa jika mengatakan tradisi ini asli diciptakan oleh penduduk kampung ini. Salah satu kemungkinan yang paling dekat adalah seorang Brahma di antara kedua kerajaan tersebut yang  pergi bersemedi ke kampung ini lalu meyebarkan mitos Garuda yang ditunggang dewa Wisnu. Kemudian oleh masyarakat di sini dijadikan sebagai tunggangan saat prosesi pernikahan. Sebagaimana Airlangga, bagi masyarakat kampung ini pengantin adalah raja, yang biasa disebut “Rajo Sehari”.
Untuk memperkuat argumen ini penulis mencoba menambahkan teori yang  dikemukakan oleh sarjana Eropa terkait budaya di Indonesia. Menurut mereka, agama di kepulauan Nusantara sejak dahulu sejatinya tidak diterima secara kaffah oleh penduduknya. Penduduk kepulauan ini hanya tertarik kepada hal-hal yang berbau mitos dan seni saja (Syekh Muhammad Naquib Al Athas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu). Adapun pelaksaan yang sebagaimana mestinya hanya dilaksanakan oleh sebagian keolmpok kecil saja seperti kelompok elit dan religius. Agama Hindu dan Budha katakanlah, agama ini tidak memberi kesan yang mendalam kepada pribumi melainkan ha-hal yang berbau mistis dan seni saja. Meskipun candi Borobudur dibangun megah dan sangat terlihat Hinduis, akan tetapi bagi masyarakat ketika itu tidak lain hanya sebagai pengganti dari pemujaan kepada nenek-moyang mereka. Terbukti dari komplek perkuburan di sekitar candi. Meletakan kuburan di komplek candi ini tidak ditemukan dalam ajaran Hindu di India. Hal ini menurut sejarawan Eropa sebagai bukti bahwa agama tidak benar-benar diterima oleh penduduk pribumi ketika itu (Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara 1989).

Sebagaimana dengan Hindu-Budha, hal yang sama juga terjadi pada Islam. sebagai agama datang belakanga Islam di Nusantara tidak bisa keluar dari bayang-bayang kedua agama dominan sebelumnya. Mereka tidak pula bisa keluar dari hal yang berbau mistis dan seni. Dalam klasifikasi Islam di Jawa katakanlah, di Jawa Islam terbagi kepada tiga kaum, priyai, santri dan abangan (Gertz, Islam Jawa) di mana kaum abangan masih tetap menganut paham Jawa Kuno. Hal serupa juga penulis alami di Sumatra meskipun oleh Naquib Al Athas dibantah. Menurutnya hal seperti itu hanya terjadi di Jawa saja, tidak terhadap masyarakat Melayu di Sumatra dan semenanjung Malaya. Meskipun tidak banyak seperti di Jawa, menurut penulis di Sumatra juga tetap memiliki budaya-budaya mistis yang sangat tidak Islam dan cenderung Hindu, salah satunya adalah tradisi naik Gerudo dan manusia topeng pada saat acara pernikahan di kampung ini. Selain Gerudo, masyarakat kampung ini juga mempercayai reinkarnasi seperti masyarakat Hindu yang disebut ngundu.
Hipotesa ini memang tidak di disertakan dengan proses penelitian yang sesuai dengan standar akademis. Segala tesis yang disampaikan bukanlah sesuatu yang ilmiah. Oleh karena itu jangan menganggap ini serius. Adapun tujuan dari penulis hanya sebatas ungkapan rasa cinta  kepada kampung ini. Selain itu penulis juga mencoba membiasakan diri menulis dan menganalisis tentang apa saja. Kampung ini memang tidak mempunyai catatan tentang sejarah dan kebudayaannya. Setidaknya dengan tulisan ini ikut menambah dan menjadi penyemangat untuk dilakukan penelitian yang serius sebagaimana mestinya.

Oh iya, kata “kampung ini” maksudnya dua desa tertua di kecamatam Mersam, Batanghari, Jambi. Dua desa tersebut adalah desa Mersam atau Kampung Abang dan Kampung Asam dan kedua desa Kembang Tanjung atau Kampung Tanah Genting dan Kampung Badaro. Kemudian klaim ini merambah ke empat desa berikutnya, Kembang Paseban, Benteng Rendah, Benteng Tinggi dan Mencora (Pematang Gadung Bagian ilir). Sebelah hulu/mudik kecamatan Mersam terdapat kecamatan Muaro Sebo Hulu sedangkan sebelah ilir terdapat kecamatan Muaro Tembesi, desa Rambutan Masam, termasuk salah satu dusun tertua yang sudah dibuktikan.

[1] Semacam rebana.

Oleh: Ubaidillah (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, dan Divisi Kominfo Lkissah)

[full_width]







Oleh: Ubaidillah (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam) Penulis mulai penasaran sejak pertama kali tertari...

July 24, 2016

Seekor Nyamuk

(Sumber Foto: headforthehillsvhs.com)

Kalau boleh memilih, aku tak ingin dilahirkan seperti ini.  Lahir? Mungkin kata yang lebih tepat adalah dilesatkan, dilesatkan dari perut ibunda sebagai telur dan menunggu sampai telurku siap ditetaskan. Dengan kepakan sayap kecil, hinggap ke sana-kemari tanpa pernah ada yang peduli. Jangan berpikir aku kupu-kupu, yang meski berasal dari ulat bulu tapi tetap menjadi primadona dan sering diabadikan dalam bait-bait puisi. Siapa peduli dengan masa lalu kupu-kupu? Yang terpenting adalah yang tampak saat ini, bukan?
Jangan pula berpikir kalau aku seekor lalat, yang kedatangannya amat dibenci para ibu-ibu yang tak ingin anak-anaknya sakit perut akibat ulah lalat yang hinggap di jajanan mereka. Sekalipun aku juga insekta macamnya, aku lebih menjaga kebersihan dan tak hinggap di sisa makanan atau kotoran manusia.
Aku seekor nyamuk. Perangaiku adalah citra buruk yang orang-orang sematkan, katanya aku dan sebangsaku pembawa petaka, tak peduli dari golongan mana keluargaku berasal. Padahal, ada banyak jenis nyamuk di dunia ini, Anopheles, Culex, Aedes, atau apapun, dan sepengetahuanku keluargaku bukan berasal dari jenis pembawa penyakit itu. Keluargaku hanya menyebabkan bentol kecil yang akan hilang sepersekian detik saja, tapi manusia tak pernah mau mendengarkan. Nyamuk ya nyamuk, mesti dibasmi hingga jentik-jentiknya. Kalau begitu ku pikir ada yang keliru, jika manusia bisa mengatakan semua nyamuk sama saja, mengapa mereka mengkotak-kotakkan diri dalam golongan-golongan dan merasa paling benar? Apakah penggolongan-penggolongan itu hanya berlaku untuk manusia?
Betapa enaknya jadi manusia. Selama ini aku selalu memimpikan menjadi manusia yang diberkati dengan akal budi, dengan segala kuasa bisa melakukan apa saja yang disuka. Ah, andai saja, tapi aku tetaplah seekor nyamuk jantan yang hidup nomaden di sekitar kos-kostan. Pekerjaanku adalah mengawal nyamuk-nyamuk betina berburu setetes darah segar manusia karena memang hanya nyamuk betinalah yang minum darah. Aku berpatroli, berjaga-jaga agar jangan sampai nyamuk-nyamuk betina itu dirundung bahaya, takut-takut kalau sampai ketahuan, bisa-bisa kami digeprak dengan sapu lidi atau disemprot dengan cairan obat nyamuk. Sebenarnya aku dan kawan-kawanku bisa tahan, lama-lama kami memang kebal dengan pelbagai obat nyamuk murahan itu, tapi akhir-akhir ini aku dengar ibu pemilik kost-kostan di sini sudah berencana akan memanggil petugas fogging bila nyamuk-nyamuk semakin mewabah.
Aku bergidik ngeri, aku memang tak tahu fogging itu apa, tapi yang jelas ayahku pernah bercerita kalau ibuku meninggal karenanya. Meninggal? Ah, kurasa untuk insekta macam kami tak tepat menggunakan kata meninggal. Baiklah, kalau begitu ku ralat: ibuku mati karenanya. Begitu lebih baik bukan? Huft..aku benar-benar takut kalau sampai itu terjadi, sebagai anak tertua aku sudah memperingatkan adik-adik dan sepupuku untuk lebih waspada, yakni jangan berterbangan terlalu sering dan mewanti-wanti para nyamuk betina agar tak bertelur di bak mandi, aku pernah melihat ibu kost memasukkan bubuk abate ke dalamnya.
Manusia itu memang aneh, tak habis pikir dengan kelakukan mereka dalam memerangi sebangsaku. Katanya keluargaku penyebab malaria dan demam berdarah, padahal siapa pula yang mengundang keluargaku untuk menetap di sini? Lihat saja, kamar kost yang selalu berantakan itu, tumpukkan baju lembab dan kaus kaki kumal yang tak ganti seminggu, itu sudah cukup menjadi undangan untuk kami bertandang, lalu setelahnya mereka seenaknya menghakimi sebangsaku sebagai penebar teror penyakit.
Bumi tak lagi nyaman untukku, aku rindu dengan cerita ayah dan kakek tentang masa lalu nyamuk puluhan tahun silam. Katanya, nyamuk hidup tenteram di dalam hutan yang tak pernah terjamah manusia. Terbang bebas tanpa khawatir obat nyamuk cair dan fogging.  Nyamuk bebas makan apa saja, serta bertelur di air yang tergenang tanpa takut teracuni abate. Nyamuk hidup berdampingan dengan mahkluk hidup lain, dalam siklus rantai makanan yang memang sudah menjadi hukum alam.
Tiba-tiba manusia memperkosa hutan kami, merenggut masa depan ekosistem hutan, merampas semua yang ada atas nama pembangunan. Persetan dengan pembangunan, kalau ternyata hanya penghalusan kata dari eksploitasi hutan perawan. Terpaksa keluargaku menggalakkan urbanisasi, tak ada lagi tempat tinggal nyaman dan kebahagiaan di kampung halaman. Yang tersisa hanya kenangan, itu yang selalu Ayah dan Kakekku ceritakan.
Begitulah riwayat nyamuk-nyamuk terdahulu, dan sebagai nyamuk muda aku tak ingin terbunuh dengan sia-sia. Maka, aku selalu berdoa agar aku bisa menghabiskan sisa umurku ini untuk sesuatu yang berguna, tapi apalah daya seekor nyamuk pejantan sepertiku? Andai aku  jadi manusia...betapa enaknya jadi mereka..
“Jangan mimpi, bagaimanapun kita tetap nyamuk. Buyut dan nenek moyangmu juga nyamuk!” ujar ayah saat aku berandai-andai jadi manusia. Sepengetahuanku ayah memang menyimpan kebencian yang dalam terhadap manusia sepeninggal ibuku yang keracunan fogging.
“Semua manusia itu sama saja, jahat!” Ayah murka, wajahnya merah padam.
“Tak semua manusia jahat, ayah. Aku pernah melihat manusia yang baik, tak mencoba membunuhku meskipun aku sering berterbangan di kamar kostnya” aku mendebat, sementara ayah tak menerima jajak pendapat. Ayah merasa paling benar dan menganggap anaknya yang belum lama menetas ini paling bersalah. Tak ada demokrasi dalam kamus ayah, selama ini ayah mendidikku menjadi seekor nyamuk pejantan yang hanya bisa manut pada perintah Ayah.
“Kalau begitu apa beda Ayah dengan manusia? Ayah menganggap semua mausia sama saja, seperti manusia yang mengangap semua nyamuk sama saja” Cercauku, Ayah benar-benar naik pitam, baru kali ini aku lihat Ayah sebegitu marah.
“Cukup manusia saja yang punya jiwa kebinatangan, tidak dengan kita!” Untuk selanjutnya Ayah memilih mengepakkan sayapnya entah kemana, meninggalkanku sendiri dalam kemalangan sepi. Aku beringsut menemui Kakek, kurasa aku lebih suka berbicara dengan kakek, meskipun pendengarannya sudah mulai tak berfungsi dengan baik, kakek senang mendengarkan keluh kesahku.
“Nak, sekalipun kelihatannya jadi manusia itu menyenangkan, ketahuilah bahwa kau akan lebih berbahagia jadi dirimu sendiri, sebagai seekor nyamuk. Sejarah berulang nak, induk nyamuk akan menetaskan telur nyamuk, tidak yang lainnya” penekanan kakek terhadap statusku memberikan tamparan yang luar biasa, tapi itu cukup menguatkanku agar tetap menjadi diriku sendiri. Aku baru mengerti sekarang, sejatinya apa yang Kakek sampaikan tak jauh berbeda dengan Ayah, namun kemasan dalam penyampaian yang berbeda akan melahirkan respon yang berbeda pula. Ayah dan Kakek benar, seharusnya aku berpikir lebih rasional.
“Tak perlu berwujud lain untuk jadi lebih berguna, cukup menjadi dirimu, pergunakan hatimu, dan ikhlas.” Gumam Kakek pelan sambil terbatuk-batuk. Jangan bayangkan Kakekku terbatuk seperti manusia, batuk Kakek tak akan mungkin terdengar oleh telinga manusia yang lebih sering mendengarkan gosip di tv ketimbang mendengarkan suara hati mereka sendiri.
Usia kakek memang sudah renta, tapi Kakek masih eksis hidup di dunia. Tak ada yang tahu seberapa panjang usia kecuali sang pencipta, bisa jadi aku mati besok sementara Kakek akan kembali bugar seperti sediakala.
Mungkin, mimpi bertransformasi menjadi manusia hanyalah sebatas langit-langit kamar kost yang kusambangi malam ini. Dalam redup bola lampu lima belas watt, malam merangkul senyap yang mengantarkanku pada kehampaan. Tanpa sadar aku termenung sampai pagi, di balik sweater tebal yang tergantung lemah di sangkutan baju. Samar-samar kudengar kamar kost digedor, penghuni kost yang merupakan pria berpenampilan urakan membuka kunci pintu. Wajah bundar ibu pemilik kost menyembul, parfum murahan yang dikenakannya menyeruak, mengganggu indera penciuman pria urakan yang baru bangun dari tidurnya itu.
“Pukul delapan petugas fogging datang, mohon keluar sebentar dan tutupi makanan yang ada ya” pinta ibu kost, sementara yang dipinta mengangguk-angguk setuju. Aku terbelalak, pukul delapan! Itu berarti sepuluh menit lagi. Aku segera menyelinap dari sela-sela ventilasi untuk mengabarkan pada sebangsaku. Cukup sulit menemukan mereka, aku melesat cepat mengitari kamar kost yang jumlahnya belasan.
“Teman-teman, sebentar lagi akan ada fogging, cepat mengungsi!” aku berteriak-teriak, sebagian menurut untuk terbang menjauh, sebagian lagi tak percaya dengan ucapanku. Tak apa, yang penting aku sudah mengingatkan. Seketika aku teringat kakek, apakah ia bisa terbang cepat dengan penyakitnya yang kian parah? Kuputuskan untuk tak pergi sebelum membawa kakek, tapi setelah lelah berputar tak kutemukan kakek dimana-mana, apa mungkin sudah ada yang mengajaknya pergi? Kuharap begitu.

Dari kejauhan kulihat asap putih yang makin lama makin tebal, apakah kostan ini kebakaran? Pikirku.  Asap itu berbau sangit, makin lama makin memabukkanku. Aku hampir pingsan saat menyadari asap itu berasal dari seorang manusia berpakaian seperti makhluk luar angkasa yang diam-diam kulihat di tv. Di tangannya tergenggam alat berat yang menghembuskan asap putih mengepul. Aku ingin melarikan diri, terhuyung-huyung asap ini membuatku limbung, aku mereguk racun itu dan jatuh ke lantai. Mataku terpejam, semuanya terasa berputar-putar, dalam pekat kegelapan itu aku menyadari satu hal;  aku hanyalah seekor nyamuk jantan, tapi setidaknya ada yang kulakukan sebelum nyawa ini terenggut masa.*


Chitra Sari Nilalohita, lahir dan besar di Sawangan, Depok. Kini mengenyam pendidikan di jurusan PGMI UIN Jakarta sejak tahun 2013. Pencinta hujan, senja, kucing, serta segala sesuatu berwarna pink. Bisa dikunjungi di Fb: Chitrasari Nilalohita atau no.hp: 08567549492 ;):)*dimuat di mahasiswabicara.com

(Sumber Foto: headforthehillsvhs.com) Kalau boleh memilih, aku tak ingin dilahirkan seperti ini.  Lahir? Mungkin kata yang lebih tepa...

Perspektif Hantu


Bulan bundar bersandar pada langit yang pekat, bentuknya masih sama, selalu membuat Mei berdecak kagum acapkali memandangnya. Purnama menjadi salah satu kesukaannya, sejak saat ia terlahir sebagai hantu yang gemar duduk menyilang kaki di dahan pohon jambu. Itu tempat favoritnya, sebab hanya di pohon itu ia bisa menyaksikan bulan yang utuh dan suara jangkrik menyanyi dengan merdu. Sebagai hantu, Mei merupakan hantu yang berkeadaban, seperti manusia, ia punya keluarga dan cinta. Mei juga hidup dalam aturan-aturan layaknya manusia, tak boleh keluar dari fajar hingga petang, menghormati yang lebih tua, dan tidak boleh mengganggu manusia.
“Lihatlah, betapa indahnya jika hantu dan manusia dapat hidup berdampingan, tak ada yang saling mengganggu satu sama lain” Ayah Mei mengambil tempat di dekat anak gadisnya yang kini beranjak remaja, ia menatap wajah Mei yang bersinar diterpa terang bulan. Kemudian pandangannya beralih pada kelompok-kelompok mahasiswa yang masih sibuk berkegiatan sampai larut malam. Student Center memang tak pernah absen dipenuhi oleh kerumunan mahasiswa yang aktif dalam kegiatan yang mereka suka.
“Iya Ayah” Mei menundukan kepala, ia tahu betul kalau ayahnya tengah menyindir dirinya. Beberapa hari lalu Mei sempat melanggar peraturan, ia mengambang di sekitar Student Center pada malam minggu yang berhiaskan gerimis, suasana tampak sepi, tapi Mei tak tahu bahwa sepi bukan berarti tidak ada orang. Dengan berdalih bahwa ia hanya ingin melihat-lihat, Mei bergentayangan ke seantero Student Center  yang disisipi oleh berbagai ruang sekretariat dari pelbagai Unit Kegiatan Mahasiswa. Sambil menyanyi Mei menoleh ke kanan dan kiri, ia larut dalam kesadaran utopis di kampus UIN Jakarta.
Saat itulah Mei tidak menyadari bahwa ada sosok selain dirinya yang secara tiba-tiba keluar dari sebuah toilet kampus. Sambil meletakan kacamata minusnya, laki-laki berambut klimis itu tak sengaja bertemu muka dengan Mei.
“Ha..Haa...Haaantuuuuu!” Seketika wajahnya diliputi ketakutan, otot-otot matanya menegang, sejurus kemudian ia telah berlari secepat kilat. Pontang-panting ia berlari dan menepi ke salah satu ruang sekretariat, tubuhnya menggigil, kawan-kawannya bertanya akan sikapnya yang tak wajar. Mei dengan lugu mengintip dari balik pintu, laki-laki itu tergagap-gagap menjelaskan.
“Gu...gue ketemu hantu guys, gila seram banget, mukanya pucat, jalannya nggak nepak tanah”
“Hah serius?” kawan-kawannya yang sedang asyik membuat proposal kegiatan seketika mengalihkan pandangan ke arah kawannya.
“Iya, seram banget!” Bulu kuduknya meremang, wajahnya pucat pasi.
Dan Mei tak ingin mendengarkan kelanjutan percakapan itu. Hatinya teriris, baru kali ini ia mendapatkan hujatan yang demikian pedas.
Apa benar wajahnya meyeramkan? Seseram apa? Ayah ibunya tidak pernah bilang begitu, saudara-saudara dan teman-temannya malah mengatakan bahwa ia cantik. Apakah standar kecantikan hantu dan manusia memang berbeda? Entahlah, berbagai pertanyaan pun timbul tenggelam di benaknya, Mei menangis, tapi tangisannya malah menambah nuansa seram bagi para mahasiswa itu. Sontak mereka berteriak ketakutan, Ayah Mei yang baru menyadari itu pun menghampiri anak gadisnya dan lekas membawanya pulang.
Mei diadili di pengadilan hantu atas tuduhan melanggar etika, mengganggu dan sampai menampakkan rupa pada manusia merupakan hal yang amat tercela, maka Mei dianggap pantas menerima sanksi atas perbuatannya itu. Sidang pun dilakukan secara terbuka yang disaksikan oleh para hantu, di atas gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan yang tingginya mencapai tujuh lantai.
“Apa kau tahu mengganggu manusia tanpa sebab itu merupakan pelanggaran terhadap etika hantu?” Mei menunduk, diusapnya air mata yang keluar dari sudut matanya. Pertanyaan sang Hakim hanya dijawabnya dengan anggukan. Hakim terus mengajukan pertanyaan, dan Mei menjawab sekenanya, sampai akhirnya sebuah keputusan diambil, Mei divonis bebas dari hukuman karena perbuatannya yang terbukti tak disengaja dan dilakukan oleh hantu yang masih dibawah umur. Hanya saja, Mei harus terus diawasi oleh kedua orang tuanya dan tidak boleh pergi terlalu jauh, ia hanya boleh berada di satu tempat, dan Mei memilih Pohon Jambu yang tumbuh di dekat Student Center.
Kembali ke dahan pohon jambu.
Bulan masih bundar dan cahayanya berpendar indah di langit malam.
“Ayah, sebenarnya apa yang dipikirkan manusia terhadap kita?” tiba-tiba pertanyaan itu muncul dari bibir Mei. Ayahnya mendegut ludah.
“Mengapa kau bertanya begitu anakku?”
“Manusia itu aneh, mereka takut pada kita, tapi sangat gemar menonton film-film yang mengikutsertakan kita di dalamnya.” Kilah Mei, ia ingat pernah diam-diam mengintip beberapa mahasiswa yang asyik berkerumun memandang layar komputer jinjing. Film horror diputar, menyuguhkan sosok hantu yang gemar mengganggu dan menakuti manusia.
“Kita tak bisa menilai seperti itu karena kita bukan mereka, kita tak pernah tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita, begitu pula sebaliknya”
“Tapi Ayah, mereka selalu menggambarkan sosok kita dengan citra meyeramkan. Apakah kita memang benar-benar menyeramkan?” Tanya Mei, kedua alisnya bertaut.
“Anakku, manusia hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, terlepas dari pertanyaan apakah kita memang menyeramkan atau tidak” Kalimat Ayahnya menggantung, Mei mengerutkan kening.
“Jadi, secara tidak langsung Ayah mengatakan bahwa kita cuma proyeksi yang dibuat manusia? sebenarnya kita benar-benar ada atau cuma ilusi? Jangan-jangan kita hanya hidup di kepala manusia” Mata Mei terbelalak, Ayahnya menyunggingkan senyum.
“Atau jangan-jangan mereka yang hanya ilusi dan hidup di kepala kita” Ujar Ayahnya sambil terbahak, anak gadisnya menatap ayahnya dengan sebal.
“Ayah menertawaiku?” Mei melipat wajahnya.
“Tidak nak, Ayah hanya mengikuti pola pikirmu” Ia mengacak anak rambut Mei, dibiarkannya anak gadisnya itu menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri.
“Semua orang berhak untuk melakukan penilaian, hantu seperti kita juga begitu kan?” kata ayahnya lagi, Mei mengangguk.
 “Mari kita pulang, sudah hampir pagi.” Ajak Ayahnya, Mei menurut meskipun kepalanya masih dipenuhi tanda tanya.
“Yang terpenting kau harus ingat pesan ayah, patuhi semua aturan, jangan ganggu manusia. Jadilah hantu yang baik, tak peduli bagaimana cara pandang mereka terhadap kita” katanya. Mei mengangguk, keduanya tertawa.
Tapi pada purnama selanjutnya, Mei tak lagi bisa tertawa. Sesaat setelah mengetahui pohon jambu kesayangannya ditebang bersama pohon-pohon yang tumbuh di sana, hatinya bagai tercabik-cabik. Di atas tanah itu kemudian dibangun gedung parkir baru setinggi empat lantai, tak ada lagi rutinitas duduk menyilang kaki di dahan pohon jambu yang kokoh, tak ada lagi nyanyian jangkrik, juga tak ada lagi sudut pandang paling menarik dalam mengamati bulan bundar di langit malam.
Mei berubah menjadi gadis yang pemurung, ia tak pernah beranjak dari puncak gedung parkir dan menangis di malam-malam yang panjang. Dipandanginya orang-orang yang berlalu-lalang dari atas sana. Mei ketakutan, seketika ia merasa betapa orang-orang itu terlihat amat menyeramkan.
***


Profil:
Chitra Sari Nilalohita, lahir dan besar di Sawangan, Depok. Kini mengenyam pendidikan di jurusan PGMI UIN Jakarta sejak tahun 2013. Pencinta hujan, senja, kucing, serta segala sesuatu berwarna pink. Bisa dikunjungi di Fb: Chitrasari Nilalohita atau no.hp: 08567549492 ;):)
.



Bulan bundar bersandar pada langit yang pekat, bentuknya masih sama, selalu membuat Mei berdecak kagum acapkali memandangnya. Purnama m...

Perdebatan Antara Doktrin Islam dan Tuntutan Perkembangan Zaman



Perdebatan tentang pemikiran keagamaan sulit sekali dihindarkan dalam dinamika sejarah dunia. Ketegangan-ketegangan dan konflik selalu mengiringi perjalannya, hal itu sudah menjadi keharusan yang tak bisa terhindarkan karena dilandaskan pada kepercayaan mempertahankan segi doktrinal agama yang dianggap suci dalam situasi dunia yang terus berubah. Ketegangan antara doktrin dan perkembangan dunia merupakan persoalan yang tidak pernah kunjung diselesaikan.
            Ketegangan dan konflik yang terjadi antara doktrin agama dengan perkembangan dunia disisi lain memunculkan proses sosiologis. Kemunculan suatu agama berserta pemikirannya kerap kali memberikan landasan dasar bagi lembaga-lembaga sosial, politik, ekonomi dan budaya dimasyarakat. Lembaga-lembaga yang bersangkutan itu kemudian akan merujuk pada pemikiran agama yang berlaku dimasyarakatnya. Dijadikannya agama sebagai sumber rujukan lembaga-lembaga sosial di masyarakat merupakan hal yang lumrah karena menurut Sosiolog Prancis, Emile Durkheim  agama merupakan sumber kebudayaan yang sangat tinggi. Dari proses inilah muncul elite agama yang sekaligus menjadi elite lembaga-lembaga sosial dimasyarakat. Ketegangan dan konflik akan muncul ketika dalam proses sosiologis ini ada orang atau sekelompok orang yang melakukan “pembaharuan pemikiran:”, yang artinya mereka adalah kelompok yang ingin menggantikan pemikiran lama yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Kekuatan lama selalu ingin mempertahankan posisinya dari ancaman kekuatan baru.
            Demikianlah yang bisa terinterperetasikan melalui kacamata sejarah dan sosiologi, walaupun tidak semuanya konflik pemikiran agama terjadi seperti itu. Namun agama-agama besar dunia seperti Kristen dan Islam telah dan sedang mengalami proses itu. Sejarah dunia telah mencatat bahwa pada akhir abad pertengahan di Eropa terjadi pertentangan antara institusi agama yaitu, gereja dengan para filusuf sehingga era ini dikenal dengan era-pencerahan. Pada saat itu gereja dianggap sebagai institusi atau lembaga yang telah memonopoli kebenaran dengan membelenggu rasionalitas karena didasari oleh doktrin agama yang dianggapnya suci. Setelah melalui tahap pencerahan kemudian Eropa melewati era Renaissance yaitu suatu era dimana terjadi inovasi-inovasi imu pengetahuan dan kesenian, kemudian setelahnya Eropa mengalami tahap Reformasi atau proses modernisasi. Tiga tahapan yang dilalui oleh Eropa sejak masa pertengahan dikenal dunia sebagai Zaman Kebangkitan.
            Zaman kebangkitan Eropa ini kemudian dijadikan suatu titik permulaan keberhasilan kemajuannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di zaman sekarang. Keberhasilan Eropa ini kemudian dijadikan barometer oleh negara-negara yang penduduknyanya mayoritas muslim. Negara yang mayoritas muslim seperti Mesir, Iran, Indonesia, Malaysia pada umumnya telah mengalami masa kolonialisasi oleh bangsa Eropa sejak abad ke-15 sampai abad ke-20. Proses kolonialisasi inilah yang berperan penting dalam mempengaruhi alam pikiran umat Islam karena, terjadi interaksi antara kaum penjajah dengan kaum terjajah, ada semacam interaksi yang mentransmisikan ilmu-ilmu pengetahuan kepada para kaum penjajah disamping aktifitasnya mengeksplotasi kekakayaan sumber daya alam. Aktifitas transmisi ilmu pengetahuan ini bisa kita ketahui dari didirikannya lembaga-lembaga pendidikan, seperti d’Egypte yang didirikan oleh Napoleon Bonaparte di Mesir dan sekolah-sekolah yang mengadopsi sistem pendidikan Barat lainnya.
            Masa penjajahan yang dialami oleh negara-negara mayoritas muslim ini membangkitkan kesadaran mereka untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat. Kesadaran inilah yang ditunjukan oleh banyak tokoh intelektual muslim seperti, Muhammad Ali, Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Tokoh-tokoh intelektual muslim itu mengadopsi gagasan-gagasan modern dari Barat, dari berbagai  aspek diantaranya, aspek pendidikan, politik, sosial dan ekonomi. Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh melakukan pembaharuan pemikiran Islam di latarbelakangi oleh ketertinggalan karena pada saat itu umat Islam mengalami masa stagnan karena tertutupnya pintu ijtihad. Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh membawa sebuah gagasan baru untuk meenggantikan tradisi pemikiran yang lama yang sudah tidak relavan lagi. Aktifitas pembaharuan yang dilakukan oleh keduanya menyebar keseluruh dunia.
Meskipun begitu sebelum Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh telah ada dua tokoh intelektual Islam yang lebih dahulu  menyebarkan gagasannya yaitu, Muhammad bin Abdul Wahab dan Sanusi. Muhammad bin Abdul Wahab dan Sanusi memiliki karakter yang berbeda dengan Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Perbedaan karakternya adalah jika Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh melakukan pembaharuan dengan mengadopsi gagasan-gagasan Barat atau lebih memandang kedapan, sedangkan Muhammad bin Abdul Wahab dan Sanusi melakukan pembaharuannya dengan meniru pandangan zaman Salafiyah (generasi awal Islam) atau bisa dikatakan dengan melihat kebelekang.
Pembaharuan yang dilakukan oleh al-Afghani dan Abduh menyebar keseluruh dunia tidak terkecuali Indonesia, begitupun dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. Pembaharuan yang terjadi di Indonesia didasari oleh beberapa faktor penting diantarnya, Islam di Indonesia dianggap sinkretis karena tercampur tradisi masyarakat pribumi sehingga ajarannya tidak murni lagi, banyak orang-orang Indonesia yang belajar ke Haramyn yang kemudian disebut dengan ulama Jawi pada abad ke-17 samapi abad ke-18 maka sepulangnya mereka dari Haramyn ajaran yang didapat disana diseberluaskan di Indonesia, dan faktor pendidikan modern yang dipekenalkan oleh para penjajah.
Ide-ide pembaharuan ini kemudian menggantikan ide lama yang telah mapan dan melembaga dimasyarakat. Pembaharuan pemikiran di Indonesia terjadi sejak gerakan yang dilakukan oleh kaum Paderi pada 1845-an di Sumatra Barat, gerakan ini lebih bertendensi kepada peniadaan bid’ah dan khurafat. Kemudian pada awal abad ke-20 tepatnya pada tahun 1905 didirikanlah Sarekat Dagang Islam (SDI) sebuah organisasi yang mewadahi pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda karena memberikan keleluasaan untuk para pedagang asing teutama pedagang Tionghoa yang waktu itu tengah menguasai perdagangan batik. Berdirinya SDI adalah suatu manifestasi dari pembaharuan pemikiran Islam dalam aspek ekonomi sebagaimana dikatakan oleh Deliar Noer. SDI ini kemudian pada tahun 1912 tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi saja melainkan memperluas jangkauannya kepada bidang politik dan agama, pada masa ini SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) dibawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto.
Abad ke-20 menjadi titik tolak kebangkitan umat Islam Indonesia dari penjajahan dengan melakukan sebuah pembaharuan pemikiran dalam berbagai aspek, karena pada masa ini berdiri juga organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah yang berdiri pada 18 Nopember 1912, organisasi ini didirikan oleh Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan panggilan Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Pada tahun 12 September 1923 didirikan juga Persatuan Islam (Persis) oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, selain itu ada juga Al-Irsyad yang didirikan pada 6 September 1914 oleh Syekh Ahmad Surkati seorang ulama yang berasal dari Sudan, dan Nahdlatul Ulama yang berdiri pada 31 Januari 1926 didirikan oleh Kiyai Haji Hasyim Asy’ari. Organisasi-organisasi ke-islaman ini pada umumnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin membangkitkan umat Islam dari keterpurukan melalui pendidikan seperti pesantren dan sekolah-sekolah yang juga mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Selain itu pembentukan organisasi itu juga bertujuan untuk menegakan hukum Islam yang pada waktu itu tercampur oleh tradisi pribumi, maka dapat dikatakan bahwa organisasi-organisasi tersebut menggunakan Islam sebagai semangat kemajuan (the spirit of progress).
Gerakan pembaharuan Islam yang diwujudkan dalam bentuk organisasi itu kemudian mampu membuat banyak perubahan di berbagai bidang seperti pendidikan, politik, sosial dan ekonomi yang terus berlanjut hingga sekarang. Kemudian pada pertengahan sampai akhir abad ke-20 muncul para tokoh yang disebut oleh Fachry Ali dan Bachtiar Effendy sebagai “kelompok pemikir baru”. Kemunculan “kelompok pemikir baru” ini dimulai sejak tahun 1970, tokoh-tokohnya adalah Nurcholish Madjid, Djohan effendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, dan Abdurrahman Wahid. Tokoh-tokoh tersebut mengusung tema pokok diantaranya, sekularisasi, kebebasan berfikir, pluralisme, inklusivisme dan liberalisme. Tokoh-tokoh “kelompok pemikir baru” ini mampu memperbaharui pemkiran sebelumnya meskipun banyak pro dan kontra dalam perjalannya kelompok ini adalah kelanjutan dari jalan panjang menuju kebangkitan Islam terutama di Indonesia. 


Perdebatan tentang pemikiran keagamaan sulit sekali dihindarkan dalam dinamika sejarah dunia. Ketegangan-ketegangan dan konflik selal...

July 15, 2016

Sedikit Artikulasi Tentang Manusia


Hidup adalah anugerah Tuhan yang tiada duanya, semuanya ada karena kehendak-Nya. Literatur kitab suci al-qur'an menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk-Nya yang paling sempurna. Tuhan menciptakan manusia dengan banyak kelebihan, Dia-memilih manusia menjadi pemimpin di Bumi agar seraya mereka bisa mengatur serta mengelola apa yang di hidangkan Tuhan dihadapannya. Ada dua hal yang selalu di banggakan oleh manusia dihadapan sesamanya, makhluk selain manusia, bahkan dihadapan yang menciptakannya.

Hal itu adalah akal dan nurani, karena keduanyalah manusia hidup berbeda dengan makhluk lainnya, ia menciptakan banyak simbol dan alat untuk menyambung hidupnya, dan semua itu kemudian disebut dengan peradaban. Manusia yang mempunyai tabiat terus bergerak menghindari kesengsaraan selalu menemui banyak hal yang dianggap tidak tepat atau tidak sesuai dengan yang diinginkannya, semua itu disebut dengan masalah. Semakin banyak permasalahan yang ditemuinya maka ia selalu berusaha mencari jalan untuk keluar. Sejak zaman Adam sampai abad 21 ini manusia bisa bertahan di muka bumi, sejak zaman itu pula manusia menimbulkan masalah dan kemudian ia menyelesaikannya, dan begitu seterusnya. Sepanjang perjalanan kehidupan manusia, literatur yang ditulis dari zaman ke zaman serta diwariskan dengan sengaja atau tidak, mencatat bahwa manusia hidup karena masalah, manusia bisa hidup karena kesulitan, dan manusia menyelesaikan kesulitan itu dengan cara yang dibuatnya.

Maksud dari manusia hidup dari kesulitan ialah setiap gerak-gerik manusia, setiap perpindahan posisi yang dilakukannya sebab karena posisi sebelumnya dianggap sudah tidak bagus lagi. Dalam ilmu budaya ada teori yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang terlempar ke alam sehingga perlu baginya untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi diluar perkiraannya. Manusia sebagai makhluk sering Kali memberikan definisi atau batasan arti tentang dirinya sendiri, seperti Zoon Politician, dan Homo Sapiens, manusia mencatat sejarahnya sendiri untuk kebutuhannya juga, dan pada intinya manusia selalu membuat suatu hal untuk kehidupannya sendiri. Penjabaran hal terkecil  tentang manusia tersebut timbul pula karena sebuah kebutuhan dimana pada dasarnya manusia secara keseluruhan haruslah bisa memenuhi kebutuhannya, maka nanti akan kita ketahui sebuah sistematika hidup yang terlihat sederhana namun rumit yang dinamakan dengan hak dan kewajiban. Tiga susunan kata ini bisa dipahami dengan mudah, sesuai dengan rumusan kamus besar bahasa Indonesia konteks hak disini berarti, milik atau kepunyaan, secara terminologi adalah sesuatu yang pantas didapatkan.

Sedangkan kewajiban adalah keharusan atau kemestian. Dua kata inti inilah yang sudah menjadi paradigma yang kuat dalam kehidupan manusia yang berkelompok. Karena keparadigmatisannya inilah semestinya semua manusia memahami makna yang terkandung didalamnya. Mengapa semua manusia mesti paham dengan makna hak dan kewajiban? Karena dengan memahami maknanya akan terjadi suatu hubungan simbiosis mutualisme antar sesama manusia, hubungan saling menguntungkan dalam taraf tertentu. Ketidak tahuan dan ketidak pahaman akan makna dua kata tadi maka akan terjadi sebuah hubungan yang tak sesuai menurut masing-masing manusia itu sendiri. Bagaimanakah cara untuk memahami kedua kata tersebut?  untuk memahami kedua kata tersebut pada taraf yang wajar menurut konteks masyarakat secara umum adalah dengan membagi dua golongan perbuatan berdasarkan sistem yang benar dan dipakai pada setiap kelompok hidup tertentu.

Namun pertanyaan lebih lanjut timbul, setelah kita memahami kedua kata tersebut, dan menjalankannya timbul sebuah masalah yaitu, ketidak mampuan menjalankan kewajiban dan tidak mendapat hak yang di idamkan. Maka jawaban yang dapat mendekati hal itu adalah, ada kesalahan dalam sistem pengoperasiannya. Maka dari itu sesungguhnya manusia terus mencari cara menyelasaikan masalah dari hidupnya, dan sebuah kemerdekaan diri perlu ada dalam diri setiap manusia. Selayaknya untuk mencapai kesejahteraan kita harus terus berinovasi, dan kreasi dengan baik dan benar menurut pedoman berkehidupan yang dipakai pada setiap kelompok hidup, dan tidak serta merta membenturkan perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan chaos

Hidup adalah anugerah Tuhan yang tiada duanya, semuanya ada karena kehendak-Nya. Literatur kitab suci al-qur'an menyebutkan bahwa m...

Kisah seorang pelacur



Oleh: Nasrullah Alif
Langkah demi langkah kutapaki jalan ini, menyusuri lorong sepi di pinggiran kota yang kumuh lagi tercemari. Malam masih panjang di kota ku, karena di kota ini, manusia menempa raga dalam waktu, demi sebutir beras untuk menahan lapar dalam sendu. Menitikkan keringat demi selembar kebahagiaan (palsu).

Semua yang kau jumpa di kota ini hanyalah fana, yang tak pernah punya wujud nyata, kecuali dalam artian sebenarnya. Manusia bermuka dua. Itulah yang selalu ku temui dan ku jumpa dalam setiap waktuku yang hampa. Mengitari ku dengan senyuman penuh dusta.

Cinta adalah hal yang tabu di kota ini, karena kebusukan kota ini yang sudah menghapus nya perlahan dari muka bumi. Terhempas dan dilupakan oleh hati. Cinta bagai kisah dongeng masa lalu yang dianggap sebagai pemanis mimpi.

Aku pun adalah korban dari cinta palsu itu, yang kini sudah amat hina dan ternodai dalam parau. tersiksa setengah mampus di sukma ku. Tangisan air mata sekalipun tak mampu redamkan pahit dalam kalbu. Aku hanya bisa pasrah seperti serpihan debu.

Ingin ku salahkan takdir hidupku ini, yang membawa ku menjadi makhluk yang amat hina dan tak pantas mendapatkan hak manusiawi. Membuat ku terhempas dan terombang-ambing dalam samudra luas tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti.

Perahu mana lagi yang bisa ku tumpangi? Sedangkan, aku ini adalah penumpang yang berpenyakit kusta yang bahkan kalian pun jijik untuk menyentuh ku. Jangankan menyentuh ku, memandang pun kalian tak sudi. Sepertinya hanya ajal yang sudi merangkul diriku dalam sendiri.

Kemana lagi aku harus bersandar? Jika aku sendiri tidak pernah berkenan di hati kalian, yang mana selalu membuat ku mengelus dada dengan sabar. Kalian makhluk suci yang berhati besar. Setidaknya, pernahkah kalian mengecap barang sedikit apa yang selalu ku rasa dalam hidupku yang hambar.

Bersandar kepada sang Maha pencipta saja sudah tak diperbolehkan! Jangankan bersandar, mengucap namanya saja sudah dikutuk aku oleh bermacam-macam hujatan yang bahkan kotoran anjing pun masih lebih baik. Hina dina. Namun, setidaknya Dia masih bisa mendengar suara hati ini. Semoga.

Orang sepertiku tak akan pernah lekang oleh waktu, karena orang macam diriku inilah yang akan menjadi pelampiasan kalian, dan akan selalu saja begitu tanpa pernah habis di makan zaman.

Setidaknya satu hari saja dalam seumur hidupku, aku merasakan apa yang kalian rasakan dalam sepanjang umurku yang semu, yang harapan pun telah pupus menjadi debu.

Aku ingin kebahagiaan yang dulu pernah menaungi ku dengan teduh, membuat ku nyaman saat diriku rapuh. Tenang. Membuat ku bahagia walau hanya terasa dalam bayangan semu.

***

“Jika kau mati, apa permintaan terakhirmu?” setitik cahaya itu tiba-tiba bertanya seperti itu, yang entah darimana asalnya, antah berantahnya. Aku hanya sedikit terperangah, mungkin karena pandanganku yang mulai kabur dan tak mulai jelas, tapi sekilas kulihat sepasang sayap nan elok terpasang di bahunya.

Apa ini yang mereka katakan “Malaikat?” Entahlah, aku pun tak pernah tau. Angin mulai berhembus kencang dam menyelimuti malam. Mataku bertambah kabur dalam pandangan, kecuali makhluk bersayap itu, yang tetap saja jelas dalam pandanganku yang terbatas.

“Jika kau mati, apa permintaan terakhirmu?” ia mulai bertanya lagi.

“Aku hanya ingin Dia menerimaku, tanpa memandang apapun status ku” ucapku begitu saja keluar dari bibir ini, yang secara tak sadar semuanya keluar begitu saja.

“Jika kau mati, apa permintaan terakhirmu?” ia ulang lagi untuk ke tiga kalinya.

“Cukup, itu saja yang kupinta” aku ucapkan dengan amat tertatih. Perlahan demi perlahan, “Makhluk” bercahaya itu mulai menghilang dalam kegelapan, dan pandanganku mulai mengadah kebawah dan melihat sesosok anjing. Iya, itu benar anjing.

Anjing itu nampak kehausan, terlihat dari raut muka dan lidahnya yang menjulur meneteskan liur perlahan. Aku pun tak tega melihat anjing itu nampak tersiksa. Walau hanya anjing, dia juga makhluk hidup yang bisa merasakan rasa seperti kita.

Aku pun juga sangat kehausan, tapi saat ku tengok tas ku, hanya tersisa botol air untuk beberapa tegukan.

“Anjing, minumlah walau seteguk” aku ulurkan kepada si anjing botol ku, “kau lebih membutuhkan” kutegukkan semua air hingga tak tersisa dan hampa. Lahap sekali anjing itu meneguknya, seperti musafir yang telah lama tertahan di gurun penyiksaan.

Aku pandangi lamat-lamat, air habis dalam satu teguk yang khidmat. Makin kering nya isi botol ku, begitu pula dengan pandanganku yang mulai sendu. Kabur dengan pemandangan.

Cahaya itu muncul kembali, tetapi kini lebih terang dari yang tadi, dan sekarang dia julurkan tangannya kepadaku. Meraih ku pelan. Membawa ku pergi ke atas dengan genggaman penuh kesejukan.

Semoga memang harap ku.

***

Esoknya, seorang wanita muda ditemukan terbaring kaku di tengah jalan. Ia mati. Mati dengan seekor anjing yang tidur dalam pelukanya. Mirisnya, warga sekitar mengenalinya sebagai seorang pelacur. Pelacur kelas kakap. Namun, hanya satu yang mereka tak ketahui.

Setidaknya, ada kisah yang menyatakan bahwa wanita itu bahagia saat ajalnya, dan dirangkul oleh “sebuah” cahaya.


Apakah ia masuk surga? Entahlah, aku bukan Tuhan kawan. Hahaha.

[full_width]

Oleh: Nasrullah Alif Langkah demi langkah kutapaki jalan ini, menyusuri lorong sepi di pinggiran kota yang kumuh lagi tercemari. Ma...

Drama Cinta: Soekarno, Siti Utari dan Inggit Ganarsih


Soekarno adalah pahlawan yang sangat masyhur di Indonesia. Namanya banyak ditulis dalam buku-buku dengan kisah perjalanan hidupnya yang sangat heroik dan patriotik. Namun dibalik semua kisah heroiknya, ada kisah romantis dan dramatis yang membalut perjalanan hidupnya. Pernah suatu saat ketika Soekarno jatuh cinta pada seorang perempuan Belanda, namanya Mien Hassels, saat itu Soekarno baru berumur 19 tahun. Diusia yang masih muda belia Soekarno memang sudah banyak disukai orang, karena parasnya yang tampan dan berkarisma. Cinta Soekarno kepada Mien Hassels waktu itu begitu besar, karena itulah dia memberanikan diri menjumpai ayah Mien untuk berterus terang mengatakan kalau dia menyukai anaknya.
Dengan percaya diri dan gagah berani Soekarno menyampaikan perasaannya di depan ayah Mien. "Tuan kalau tidak berkeberatan, aku bermaksud meminta putri Tuan untuk kuajak hidup dalam suatu ikatan perkawinan", Soekarno memohon dengan nada gemetaran. Seketika ayah Mien menimpali, "kamu? Inlander  seperti kamu? berani-beraninya kamu mendekati anakku. Keluar kamu binatang kotor, keluar!". Pertama kalinya Soekarno menerima perkataan seperti itu, dengan muka muram dia meninggalkan rumah Mien. Peristiwa ini adalah kejadian pahit yang sulit dilupakan oleh Soekarno, cinta pertamanya berjalan tidak semulus yang dibayangkan. Kisah tragis cinta Soekarno ini tidak mematahkan semangatnya untuk belajar dan meneruskan jenjang pendidikannya.
Soekarno kemudian melanjutkan pendidikanya ke Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya pada tahun 1916. Ketika di Surabaya Soekarno tinggal di rumah H.O.S Tjokroaminoto, teman dari ayahnya. Ayah Soekarno sengaja menitipkan anaknya kepada Tjokroaminoto karena, Tjokroaminoto adalah orang yang dianggap hebat oleh ayahnya dengan posisinya sebagai pemimpin politik di Jawa dan sebagai ketua Sarekat Islam. Di rumah pak Tjokro, Soekarno tinggal bersama orang-orang yang kelak menjadi tokoh Nasional seperti, Kartosuwiryo, Semaun, Alimin, dan Sigit Bachrum Salam.
Di rumah Tjokroaminoto ini Soekarno bertemu dengan Siti Utari, anak pak Tjokro. Utari adalah anak pertama dari pasangan Tjokroaminoto dan Suharsikin dan satu-satunya anak perempuan karena tiga orang adiknya adalah laki-laki. Utari adalah sosok perempuan muda yang dikagumi oleh beberapa pemuda yang tinggal indekos di rumah pak Tjokro, tapi hanya ada dua orang yang bersaing berat yaitu, Soekarno dan Sigit Bachrum Salam. Persaingan keduanya berakhir saat pak Tjokro menyetujui hubungan Utari dengan Soekarno. Akhirnya pada tahun 1920 Soekarno menikahi Siti Utari diusianya yang ke 16 tahun. Pernikahan ini memulai kisah baru percintaan Soekarno karena ini tandanya Soekarno untuk pertama kalinya menikah dan Utari jadi istri pertamanya.
Hubungan pernikahan Soekarno dan Utari berjalan tidak lancar, hal ini terjadi karena Utari saat itu belum dewasa dia masih suka bermain di halaman rumah layaknya anak kecil. Memang setelah ibunya wafat Utari kurang mendapat perhatian, karena Trokroaminoto sendiri sibuk dengan kegiatannya di Sarekat Islam. Sikap Utari yang masih kekanak-kanakan tidak cocok dengan Soekarno yang waktu itu sudah sibuk dengan beragam masalah yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Dalam buku "Bung Karno Biografi Putra Sang Fajar" karangan Jonar T.H. Situmorang mengatakan, bahwa Soekarno belum pernah sama sekali menyentuhnya (melakukan hubungan suami istri). Soekarno mengatakan "bisa saja saya tidur dengan Utari jika menghendakinya, tapi belum saatnya melakukan itu, boleh jadi aku adalah seorang pecinta akan tetapi aku bukan pembunuh gadis remaja". Keadaan ini terjadi berangsur-angsur setiap hari, namun hal ini tidak menghalangi Soekarno untuk terus belajar.
Selang setahun pernikahannya dan Soekarno telah lulus dari HBS, dia melanjutkan pendidikannya di Bandung, yaitu di Technische Hoogeschool te Bandoeng atau sekarang lebih dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada awalnya Soekarno hanya pergi sendiri ke Bandung dan menetap di rumah sahabat Tjokroaminoto yaitu, Haji Sanusi. Sebelumnya Haji Sanusi telah menerima surat dari Tjokroaminoto yang menceritakan bahwa menantunya akan bersekolah di Bandung dan minta dicarikan tempat tinggal. Di rumah Haji Sanusi hanya berdua dengan istrinya Inggit Ganarsih sehingga masih ada kamar kosong untuk dipakai Soekarno. Tak lama kemudian Soekarno pulang ke Surabaya untuk menjemput Utari agar tinggal bersama nya di rumah Haji Sanusi.
Pada awalnya Utari dan Soekarno tinggal sekamar tapi dengan berbeda tempat tidur. Sifat kekanak-kanakan yang masih saja belum hilang dari Utari selanjutnya menyebabkan mereka harus pisah kamar. Utari masih suka tidur dimana saja layaknya anak-anak lain yang sebaya, selain itu Soekarno mulai sering kedatangannya teman-temannya sehingga mengharuskan Utari pindah kamar. Sifat Utari yang seperti itu membuat Soekarno tidak mendapatkan sentuhan perempuan yang dia dambakan, Soekarno mendambakan perempuan yang dia bilang bisa menjadi, Ibu, Istri dan teman. Perempuan dambaan Soekarno adalah seseorang yang bisa memberikan kasih sayangnya ditengah kesibukan dia sebagai tokoh pemuda yang aktif dalam memerdekakan Indonesia.
Sosok perempuan yang bisa menjadi, ibu, istri dan teman kemudian dia temukan pada Inggit Ganarsih istri Haji Sanusi. Inggit adalah sosok yang didambakan Soekarno, setiap harinya Inggit ikut merawat Utari dan Soekarno.  Hubungan Soekarno dengan Inggit kian hari kian dekat, Soekarno merasakan kenyamanan dari sentuhan kasih sayang dari Inggit. Jalinan hubungan Soekarno dengan Inggit memang keliatan janggal, karena hubungan ini terjadi antara Soekarno sebagai orang yang indekos di rumahnya dan sudah beristri, dengan Inggit sebagai ibu indekos yang sudah bersuamikan Haji Sanusi. Tapi sejarah berbicara seperti itu, kemesraan justru terjadi antara Soekarno dengan Inggit bukan dengan Utari. Sebelumnya memang hubungan Haji Sanusi dengan Inggit sedang retak karena Haji Sanusi sering keluar malam mencari perempuan lain dan bermain biliar.  Kemesraan yang terjalin lama kelamaan memuncak hingga akhirnya Soekarno memberanikan diri untuk bilang ke Haji Sanusi bahwa dia mencintai Istrinya. Kemudian karena hubungan Haji Sanusi dengan Inggit terus dirundung masalah maka Haji Sanusi mengambil sikap untuk menceraikan Inggit, tindakan yang sama pula dilakukan oleh Soekarno yang menceraikan Utari.
Kemudian setelah Soekarno menceraikan Utari dan Inggit diceraikan oleh Haji Sanusi mereka berdua menikah. Pernikahan mereka terjadi pada 24 Maret 1923, pernikahan dilangsungkan di rumah orang tua Inggit di Bandung. Utari kemudian dibayarkan pulang oleh Soekarno ke Surabaya, dan Soekarno menyampaikan permintaan maaf di depan Tjokroaminoto. Catatan sejarah hidup antara Soekarno dengan Inggit terlihat begitu romantis, Inggit bisa menjadi ibu, istri dan teman yang selalu menemani langkah perjuangan Soekarno. Kisah perjuangan Soekarno di Bandung dimulai saat dia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, disini PNI sebagai partai politik berjuang untuk merebut kemerdekaan dari Belanda. Karena pergerakannya itu maka PNI dianggap merugikan Belanda, maka para tokoh PNI yang salah satunya Soekarno ditangkap dan di penjarakan, di penjara yang bernama Banceuy  di kota Bandung.

Di saat-saat ini hubungan romantis antara Soekarno dan Inggit tetap terjalin. Inggit sering mengunjungi Soekarno untuk membiasakan makanan, buku dan potongan-potongan berita yang berkembang di luar. Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh hakim, setelah dari Banceuy Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Setelah bebas dari penjara Sukamiskin, dua tahun kemudian Soekarno ditangkap lagi karena dituduh subversif kepada pemerintah dan dibuang ke Pulau Ende, Flores. Selama masa tahanannya ini Inggit senantiasa menemani Soekarno dengan sabar sebelum nantinya Soekarno menikahi Famawati gadis asal Bengkulu dan Inggit Ganarsihpun diceraikan. 

[full-width]

Soekarno adalah pahlawan yang sangat masyhur di Indonesia. Namanya banyak ditulis dalam buku-buku dengan kisah perjalanan hidupnya yang...