December 07, 2016

Kematian Masal Umat Manusia

Kematian Masal Umat Manusia
Oleh: Irvan Hidayat

Hitam pekat dan aroma khas kopi di Minggu pagi tetap setia menemani ku. Suara kendaran bermotor lalu lalang di depan kos-kosan yang aku tinggali, mengiringi di setiap pagi bak sekelompok pemain musik orkestra professional. Teman-teman ku memanggil aku Hida, anak lelaki perantauan Bogor yang singgah untuk menuntut ilmu di kecamatan kecil di pojok kota Tangerang Selatan.

Aku kerap kali menghabiskan waktu di kampus dengan segudang aktivitas, karena itulah teman-teman ku mengenal ku dengan Hida “Si Aktivis Kampus”. Gelar itu aku terima dengan lapang dada, gelar “Si aktivis kampus” bagi ku bukan gelar yang buruk malah sebaliknya. Sejak awal masuk kampus niat ku hanya satu yaitu, belajar tidak ada niat lain selain itu. Namun ternyata dunia kampus tak seperti yang aku bayangkan, dunia kampus teramat menyeramkan lebih seram dari film horror bahkan lebih seram dari negeri para dedemit yang tempo hari diceritakan ibu ku di kampung.

Awalnya ku kira kampus adalah tempat orang-orang berkacamata tebal, menenteng buku kesana-kemari, tempatnya orang-orang cerdas yang sering muncul di koran dan televisi. Tapi kenyataannya kampus yang sekarang memberikan aku gelar aktivis tidak lebih dari pusat berkumpulnya orang-orang buta, yang kalau berjalan sering tersandung benda di depannya. Pernah sekali aku melihat dengan mata kepala ku langsung, ada seorang mahasiswa yang tertatih-tatih jalannya, karena aku kasihan aku membantunya dengan menaruh tangan kirinya di sebelah pundak kanan ku. Sembari menuntunnya aku bertanya, seperti biasa pertama kali bertemu, aku membukanya dengan perkenalan, ternyata namanya Eka. Eka ini anak jurusan Ilmu Politik, diasudah semester lima.

“Eka, kaki kamu kenapa kalau aku boleh tahu?”
“Dua hari yang lalu aku tersandung batu di gerbang pintu keluar”
“oh…seperti itu, ko bisa yah di depan pintu gerbang ada batu”
“Aku tidak tahu, biasanya sih tidak ada”

Sesampainya aku menuntun Eka ke depan kelasnya aku tinggalkan dia, aku pun bergegas lari ke kelas karena aku takut terlambat. Seperti biasanya hari senin pagi itu jadwal mata kuliah sejarah. Hari ini tak seperti biasanya teman-teman ku semuanya sudah ada di kelas tidak ada yang terlambat, satu-satunya yang terlambat hanya Pak Dosen saja, dia telat 10 menit masuk kelas.
“Oke, anak-anak hari ini ujian!”
“Siap pak”, teman-teman ku serempak menjawab.
“Mati aku”, aku lupa kalau hari ini aku ujian. Semalaman penuh aku hanya membaca novel tidak sempat aku membaca buku sejarah. Teman-teman ku semuanya terlihat siap, tak ada ketakutan sedikit pun di raut muka mereka. Lembar soal dan jawaban lantas dibagikan oleh Pak Dosen, “silahkan dikerjakan anak-anak, jangan ada yang nyontek”, basa-basi yang sudah basi bagi aku, keluar dari bibir keriput Pak Dosen.

Jam sudah menunjukan pukul 08.00, berarti sudah 30 menit waktu berlalu dan lembar jawaban ujian ku masih bersih tak tersentuh tinta bolpoin, resah tiba-tiba datang tanpa permisi dan kepala ku mendadak ingin meledak karena kebingungan. Badan ini terasa pegal duduk di bangku kelas yang panas, aku berdiri sejenak untuk meregangkan otot-otot yang kaku, tak sengaja aku menengok kebelakang dan teman-teman ku sedang sibuk mengisi lembar jawabannya. Tapi ada yang aneh, ada cahaya yang memantul di badan bajunya, ternyata setelah aku lihat mereka sedang asik menggeser-geser layar smart phonenya.

Jam menunjukan pukul 09.20 waktu mata kuliah sejarah habis, dengan jawaban seadanya aku serahkan lembar jawaban ke Pak Dosen. Hari itu memang hanya ada satu mata kuliah, seperti biasanya selesai mata kuliah ku sempatkan ke perpustakaan barang satu sampai dua jam. Di perpustakaan aku menemukan buku yang sudah lusuh termakan zaman, kertasnya sudah menguning dan mengeluarkan bau khasnya. Tulisannya pun masih pakai ejaan lama, judul bukunya “Kematian Masal di Puncak Ilmu Pengetahuan”, meski terlihat lusuh dan kuno ternyata isinya menarik sekali, pesan yang disampaikan buku itu pada intinya adalah akan datang satu masa dimana manusia akan mengalami kematian masal.

Aku masih tidak mengerti apa yang dimaksud buku itu, tapi sudah satu jam lebih aku di perpustakaan sudah waktunya aku beranjak ke basement tempat berjumpa dengan kawan-kawan satu organisasi aku. Tidak seperti hari-hari yang lalu hari ini basement ramai sekali, orang-orang duduk di teras, tapi aku tercengang tidak ada satu pun orang yang berbicara mereka asik tertawa sendiri ada juga yang asik nyanyi-nyanyi sendiri sambil pakai earphone.

Aku sapa mereka tidak ada yang membalas sapaan ku, aneh sekali semakin hari semakin tak nyaman aku di kampus. Melihat kondisi yang seperti itu aku lantas memutuskan untuk pulang saja ke kos-kosan, dengan langkah tertunduk lesu aku bergegas tapi di tengah jalan aku melihat ada orang kecelakaan tertabrak mobil, setelah aku cari tahu penyebabnya orang yang tertabrak itu bernama Yuli. Yuli tertabrak mobil saat asik mengelus-elus layar tabletnya sambil kupingnya disumpal pakai earphone, begitu menurut saksi mata. Aku bukan siapa-siapa Yuli, aku tak sempat menolongnya karena sudah banyak orang yang menolongnya.

Setengah jarak dari tempat kos-kosanku aku bertemu dengan Eka mahasiswa yang tadi pagi aku tuntun kekelasnya, tanpa diminta dia menceritakan kejadian kecelekaan yang menimpanya sehingga membuat kakinya patah. Waktu itu dia sedang mengendarai sepeda motor sambil memainkan handphone yang baru dibelinya, dia tidak melihat ada batu besar di hadapannya, tiba-tiba iya terjatuh dan terkapar dan kaki sebelah tumitnya patah tertimpah badan motor. 

Hari senin menjadi hari penuh teka-teki bagi ku, mulai dari patahnya kaki Eka, teman-temanku yang tiba-tiba tidak ada yang telat, sorot cahaya yang memantul dari layar smartphone ke baju teman-temanku, orang-orang di basement yang cuek, dan kecelakaan yang menimpa Yuli akibat asik meminkan tabletnya.

Di kos-kosan ku yang hanya berukuran 2 kali 3 meter ini, aku merenung mengapa bisa seperti ini, awalnya aku ingin menuntut ilmu di perguruan tinggi, tapi malah keanehan yang aku jumpai apalagi di hari senin waktu itu. Dimana Professor, Doktor, dan Sarjana yang cerdas itu berada, apakah semua mereka hilang? Tidak adakah orang-orang berkacamata tebal membaca buku di setiap sudut-sudut kampus? Tidak adakah orang yang kepalanya botak di dalam laboratorium. Yang aku lihat hanya orang-orang cuek, mungkin karena dia tuli, buta atau gagu. Semuanya hanya sibuk dengan hanphone, tablet dan teknologi yang dinamakan gadget.

Kampus ku bukan kampus yang aku impikan selama ini, kampus ini hanyalah tempat para budak teknologi berkumpul tidak ada lagi keramahan, tidak ada lagi kejujuran, tidak ada lagi kemanusiaan semuanya lebur menjadi satu menjadi penyembah smartphone, tablet, komputer. Apakah ini yang dinamakan puncak dari ilmu pengetahuan? atau ini adalah awal dari kematian masal umat manusia seperti yang dikatakan buku tua dan lusuh di perustakaan itu.



LKISSAH
LKISSAH

Forum Pecinta Ilmu Sosial dan Sejarah

No comments:

Post a Comment