September 23, 2020

Kisah Penyatuan Jepang abad ke-16


Oleh : Fahri Husaini

”Istilah “Nobunaga yang Beli Mie, Hideyoshi yang Masak dan Ieyasu yang Makan” sebenarnya adalah sebuah istilah yang penulis dapatkan dari sebuah postingan meme sejarah di Instagram sekitar 3 hari yang lalu. Istilah tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang usaha unifikasi atau penyatuan Jepang oleh ketiga Daimyo atau Samurai terkenal dari negeri sakura tersebut.


Pada abad ke-16 M, Jepang jatuh pada masa perang yang disebut Sengoku Jidai. Seluruh penguasa feodal yang disebut Daimyo berusaha menjadi penguasa militer absolut kekaisaran yang disebut Shogun. Meskipun secara De Jure jabatan ini lebih rendah dari posisi kaisar Jepang, namun secara De Facto seorang Shogun menguasai kekuatan militer Jepang membawahi seluruh Daimyo dan Samurai seantero Jepang.


Diantara seluruh Daimyo yang berusaha keras menyatukan Jepang pada masa itu, muncul 3 orang yang paling menonjol karena pencapaiannya dalam usaha unifikasi negeri tersebut. Mereka adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu. Kali ini penulis akan menjelaskan usaha unifikasi Jepang oleh tiga tokoh tersebut dengan istilah yang sebelumnya penulis sebutkan.


Nobunaga yang Beli Mie

Mengapa penulis sebut Nobunaga sebagai orang yang membeli mie? Karena penulis sendiri melihat dan membaca bahwa ialah yang memulai usaha penyatuan Jepang, namun usahanya harus pupus di kemudian hari. Ia sendiri tidak bisa menimati hasil jerih payahnya, ya karena itu disebut hanya beli saja. Soalnya, nggak sampai masak. 


Nobunaga atau yang memiliki nama lengkap Oda Nobunaga Oda adalah seorang Daimyo dan Samurai Jepang pada abad ke-16 M. Nobunaga berasal dari keluarga atau klan Oda di Provinsi Owari, Nobunaga lahir pada tahun 1534 M dan merupakan pewaris dari ayahnya yaitu Oda Nobuhide. Ketika menggantikan ayahnya, Nobunaga harus menghadapi pemberontakan dari adiknya sendiri Oda Nobuyuki yang menentang kekuasaanya sebagai pewaris klan, namun Nobunaga berhasil mempertahankan kekuasaannya dan menyingkirkan Nobuyuki.


Setelah menyingkirkan pesaing dari pihak keluarganya pada 1560, Nobunaga mendapatkan tantangan dari Daimyo Provinsi Suruga, Imagawa Yosimoto. Pada pertempuran Okehazama dengan melakukan serangan mendadak ke kemah Yoshimoto, Nobunaga berhasil membabat habis Yoshimoto dan pasukan besarnya. Nobunaga pun berhasil merebut Suruga dan menjadikan klan Tokugawa yang sebelumnya menjadi bawahan Imagawa Yoshimoto menjadi bawahannya di Mikawa. 


Setelah tidak lagi memiliki pesaing, Nobunaga mulai melakukan unifikasi Jepang dengan langkah pertama merebut provinsi Mino dari tangan Saito Tatsuoki di pengepungan benteng Inabayama 1567. Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Nobunaga. Mulai dari Anegawa 1570 melawan Klan Azai, Nagashino 1575 melawan Takeda dan Kizugawaguchi 1578 melawan biksu Kuil Honganji dan Klan Mori.


Kematian dua rivalnya yaitu Uesugi Kenshin dan Takeda Shingen karena umur semakin memuluskan Nobunaga dan membuatnya seakan tak terhentikan. Bahkan, koalisi anti Oda Nobunaga yang dibuat Shogun Yoshiaki di Kyoto tak mampu membendung Nobunaga. Walhasil, Yoshiaki sendiri justru ditendang dari kursi keshogunan oleh Oda di Kyoto.


Kekuasaan Oda semakin luas dan ia sendiri telah meguasai Kyoto, Ibukota Kekaisaran. Saat itu hanya klan Mori di Chukoku yang masih menjadi rival kuat baginya. Ia kemudian mengirim Toyotomi Hideyoshi dan Akechi Mitsuhide pada tahun 1582 untuk menyerang Mori, namun di tengah perjalanan Mitsuhide berbalik arah dan menyerang Nobunaga yang berada di Kuil Honnoji, Kyoto. Saat terkepung Nobunaga terpaksa melakukan bunuh diri dengan menusukkan belati ke perutnya. Impian Nobunaga menyatukan negeri dibawah kekuasaannya harus kandas bersamaan dengan tewasnya dirinya dalam kobaran api di Honnoji, tinggalah Nobunaga yang cuma bisa jadi orang yang beli mie tanpa memakannya. 


Hideyoshi yang Masak

Impian Nobunaga pupus ditangan Mitsuhide pada insiden kuil Honnoji yang menewaskan dirinya. Hideyoshi bangkit dan berbalik menyerang Mitsuhide membalas kematian Nobunaga. Pada pertempuran Yamazaki 1582, Hideyoshi berhasil membunuh Mitsuhide yang kabur ke benteng Sakamoto.


Toyotomi Hideyoshi yang memiliki nama asli Tokichiro Kinoshita atau Hashiba Hideyoshi awalnya hanya seorang anak petani Owari, pada 1554 ia bergabung dengan Oda Nobunaga dan menjadi pelayan kelas rendah. Karir Hideyoshi menanjak menjadi prajurit setelah kontribusinya pada perang melawan Klan Saito, saat itu Nobunaga sangat terkesan dengan hasil kerjanya membangun benteng Sunomata dalam waktu singkat. Sejak itu ia menjadi bawahan yang disukai Nobunaga, bahkan Oda kerap kali memanggilnya dengan panggilan candaan “Monyet” atau “Tikus Botak” mungkin karena Hideyoshi memiliki paras yang kurang tampan.


Setelah kematian Nobunaga dan menghabisi Mitsuhide, Hideyoshi memulai misi penyatuan Jepang. Pertama ia memulai konsolidasi internal mantan bawahan Oda Nobunaga yang masih berselisih pasca wafatnya sang Daimyo. Saat itu Hideyoshi mendapatkan dukungan dari dua bekas bawahan senior Nobunaga yaitu Niwa Nagahide dan Tsuneoki Ikeda untuk maju pada rapat senior di istana Kiyosu, saat itu terdapat perselisihan antara Hideyoshi yang mendukung Oda Hidenobu dengan Shibata Katsuie yang mendukung Oda Nobutaka.


Tahun 1583 Hideyoshi mengalahkan Shibata Katsuie pada perang Shizugatake dan membuat Katsuie melakukan Seppuku. Tewasnya Katsuie membuat Hideyoshi tidak lagi memiliki pesaing internal lagi dalam mewarisi kekuasaan Nobunaga begitu juga dengan kandidat pesaing lain Takigawa Kazumasu pada akhirnya menyerah dan bergabung dengan Hideyoshi. Tahun 1584 Hideyoshi berselisih dengan Tokugawa Ieyasu, keduanya berperang pada pertempuran Komaki Nagakute, namun keduanya berhasil menyepakati perjanjian damai dan Hideyoshi sendiri berhasil menjamin loyalitas Ieyasu dengan saling bertukar anggota keluarga sebagai tawanan.


Kekuasaan Hideyoshi semakin besar setelah ia berhasil menundukkan klan Chosokabe di Shikoku dan Shimazu di Kyushu. Hideyoshi juga berhasil menundukkan klan Hojo dan menjatuhkan istana Odawara yang terkenal sulit ditembus pada 1590. Saat itu Hideyoshi hampir menjadi seorang Shogun, bahkan ia telah mendirikan pusat kekuasaannya yaitu istana Osaka di Setsu. Namun, karena latar belakang keluarganya yang berasal dari kelas rendah ia hanya bisa menyandang gelar Kampaku atau wali kaisar setingkat perdana menteri, namun secara De Facto ia tetap memegang kekuasaan penuh atas seluruh militer dan penguasa tanah feodal. 


Tahun 1598 Hideyoshi wafat ketika menginvasi Korea tanpa berhasil mewujudkan mimpinya jadi Shogun dan memperluas pengaruhnya ke luar Jepang, akhirnya jadilah Hideyoshi cuma jadi orang yang masak mie tanpa bisa menikmatinya. Kasihan. 


Ieyasu yang Makan

Setelah wafatnya Toyotomi Hideyoshi pada 1598, Jepang kembali bergejolak dan terjadi perselisihan di antara para Daimyo di seantero negeri. Saat itu percekcokan antara orang-orang  Daimyo yang sebelumnya ditunjuk Hideyoshi untuk membantu putranya Hideyori mengelola pemerintahan tengah menajam. Ishida Mitsunari disingkirkan dari dewan oleh Ieyasu dan dijadikan tahanan rumah, sementara Maeda Toshiie meninggal karena sakit. Kabar burungnya mengatakan bahwa ia dibunuh atas perintah Ieyasu.


Kekuasaan Ieyasu yang meningkat memunculkan pemberontakan dari klan Uesugi di Aizu yaitu Uesugi Kagekatsu penerus Uesugi Kenshin. Hal ini membuat Ieyasu harus bergerak ke timur untuk memadamkan pemberontakan. Sementara itu Ishida Mitsunari menganggap Ieyasu telah memonopoli kekuasaan untuk dirinya sendiri dan merongrong kekuasaan Hideyori, Mitsunari segera menghimpun dukungan dari para Daimyo khususnya di provinsi barat Jepang.


Mitsunari mendapat dukungan dari klan Mori, Shimazu, Tachibana dan klan-klan yang masih setia pada Hideyori. 1600 M Mitsunari dengan pasukan baratnya meyerang istana Fushimi di Settsu yang dijaga Torii Mototada salah satu bawahan Ieyasu. Ieyasu segera merespon dengan menghimpun dukungan dari kla-klan di timur Jepang seperti Date dan Ii. Pasukan Ieyasu dan Mitsunari bertemu di Mino dataran Sekigahara pada 1600 M.


Pertempuran Sekigahara menjadi titik penentu siapa yang menjadi pemegang takdir dari negeri para Samurai. Pada awal pertempuran pihak Mitsunari berhasil mendesak pasukan Ieyasu, namun disaat perang hampir dimenangkan pasukan klan Kobayakawa yang dipimpin Kobayakawa Hideaki membelot dari pihak Mitsunari ke pihak Ieyasu. Situasi pertempuran berbalik menjadi keuntungan bagi Ieyasu dan langsung membalikkan keadaan mendesak pasukan Mitsunari hingga sebagian besar pasukannya melarikan diri. Kemenangan Ieyasu di Sekigahara menjadikan ia sebagai penguasa tunggal di Jepang. Setelah Mitsunari dieksekusi Ieyasu dinobatkan menjadi Shogun oleh kaisar dan dimulailah era Keshogunan Tokugawa atau zaman Edo yang akan bertahan selama 200 tahun lebih sampai era restorasi Meiji di Jepang. Sungguh enak sekali si Ieyasu ini awalnya cuma jadi klan bawahan tetapi akhirnya jadi pemenang di akhir. Seperti teman kosan yang hanya tidur, lalu saat mie jadi tinggal makan karena sudah dimasak dan dibeliin. 

Oleh : Fahri Husaini ”Istilah “Nobunaga yang Beli Mie, Hideyoshi yang Masak dan Ieyasu yang Makan” sebenarnya adalah sebuah istilah yang pen...

April 23, 2020

Let a New Asia and New Africa be Born

Dok Kompas.com

Oleh: M Isnaini

Konferensi Asia Afrika (KAA) merupakan suatu kebanggan bagi negara kita. Indonesia berhasil dalam menggagas dan turut mengawal dari sebelum hingga selesai terselenggaranya konferensi kolosal yang yang bertempat di Kota Bandung dan dihadiri para pemimpin dari negara-negara Asia dan Afrika ditengah situasi dunia yang sedang memanas.

Disinilah para pemimpin negara dari Asia dan Afrika berusaha menentukan sikap dari kesewenang-wenangan negara-negara blok barat dan blok timur. Disinilah para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika  menyatukan rasa emosional yang menjadi inti daripada KAA, yang oleh George Mc Turan Kahin disebut “Nasionalisme emosional”.

Disinilah para pemimpin negara Asia dan Afrika nemumpahkan perasaan senasib bangsa yang pernah dijajah yang membuat mereka saling merangkul dan berpegangan tangan untuk lepas dari intervensi dan bisa menentukan nasib bangsanya sendiri.

Semangat inilah yang pada akhirnya tidak sedikit membuat negara-negara di Afrika merdeka pasca terselenggaranya KAA. Sehingga KAA menjadi momen simbolik dalam sejarah dekolonisasi dan menjadi pelopor era baru bagi Asia dan Afrika sebagai kekuatan kolektif baru dalam politik internasional.

Dengan diselenggarakannya KAA, Amerika Serikat. sebagai pentolan blok barat dan para sekutunya sempat merasa khawatir. Kekhawatiran ini disampaikan oleh Herbert Gordon dari Internasional New Service yang mewawancarai Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo yang juga merupakan salah satu penggagas KAA.

Kekhawatiran Amerika ini disebabkan hadirnya RRC (China) dalam konferensi tersebut. Amerika khawatir RRC yang berpaham komunis ini akan menggunakan KAA semata-mata sebagai wadah untuk memperkuat peran komunisme di Asia. Namun PM.

Ali Sastroamidjojo menegaskan KAA tidak akan menyimpang dari piagam PBB dan semboyan-semboyan anti kolonialisme dan anti imperialism bukanlah semboyan yang dimonopoli oleh orang-orang berpaham komunis, namun akan tetapi ini merupakan kenyataan-kenyataan yang hidup dihati masyarakat asia dan Afrika.


Dok Kompas.com Oleh: M Isnaini Konferensi Asia Afrika (KAA) merupakan suatu kebanggan bagi negara kita. Indonesia berhasil dalam me...

Sinar Djawa dan Sinar Hindia: Riwayat Surat Kabar Pergerakan Bumiputera

Dok. Pribadi
Oleh : Irvan Hidayat
Budaya cetak (print culture) di Eropa sudah dikenal saat mesin cetak modern pertama diciptakan oleh Johan Gutenberg pada tahun 1450. Dari sanalah industri percetakan terus meluas ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia yang waktu itu masih bernama Hindia-Belanda. 
Mesin cetak pertama kali dibawa ke Hindia-Belanda oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada abad ke-17. Saat itu mesin cetak digunakan untuk keperluan mencetak dokumen-dokumen administrasi.
Pada masa Gubernur Jenderal Van Imhoff tahun 1744 barulah mesin cetak digunakan untuk keperluan menerbitkan surat kabar atau Koran. Surat kabar pertama di Hindia-Belanda adalah Bataviasche Nouvelles yang terbit tahun 1744 - 1746. Kemudian muncul surat kabar Het Vendue Nieuws yang terbit tahun 1766 - 1809. 
Sejak saat itu, bak jamur di musim hujan, bermunculanlah banyak surat kabar berbahasa Belanda, misalnya Java Government Gazeite, Het Bataviasch, Advertentie Blad, Java Bode, De Locomotief, Soerabajaasch Handelsblad, Vorstenlanden, dan Tjeremai. Semua surat kabar tersebut adalah surat kabar yang pro dengan pemerintah atau berfungsi sebagai corong pemberitaan pemerintah.
Lahirnya Pers Bumiputera
Penggunaan mesin cetak untuk menerbitkan surat kabar tidak hanya dimanfaatkan oleh pemerintah saja, rakyat Bumiputera pun melakukan hal yang sama. Surat kabar Bumiputera pertama adalah Soenda Berita yang didirikan oleh R.M Tirtoadisuryo tahun 1903 dengan bantuan Bupati Cianjur R.A.A Prawiredja. 
Namun, Surat kabar ini tak bertahan lama. Pada 1905-1906, Soenda Berita mengalami krisis finansial yang kemudian harus berhenti cetak. Tapi langkah Tirtoadisuryo tidak berhenti di situ, Ia kemudian mendirikan Medan Prijai tahun 1907, di kemudian hari surat kabar ini lebih dikenal karena dianggap lebih radikal dalam mengritik pemerintah.
Dengan terbitnya surat kabar yang diasuh sendiri oleh Bumiputera terlebih dengan semangat kesadaran akan kesetaraan, mampu membentuk kesadaran nasional dengan jalan menjadikan orang sadar akan rekan-rekan mereka sesama pembaca. Surat kabar juga membentuk ruang publik (public sphere) yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah dan priyai saja. 
Keterbukaan ruang publik ini memberikan dampak positif terhadap posisi Bumiputera sebagai kaum terjajah saat itu. Informasi tentang kebijakan pemerintah bisa diakses oleh masyarakat luas yang bisa membaca, kendati pemerintah memberlakukan aturan ketat terhadap semua pers yang terbit di Hindia-Belanda.
Medan Prijai menandai langkah awal Bumiputera dalam pers perjuangan, dari sinilah bermunculan surat kabar yang dimotori oleh rakyat Bumiputera sendiri. Dari sekian banyak surat kabar, dalam tulisan ini hanya akan dibahas dua surat kabar yaitu, Sinar Djawa dan Sinar Hindia, namun sebelum lebih jauh, harus dipahami sebenarnya surat kabar tersebut adalah sama hanya kemudian mengalami pergantian nama.
Sinar Djawa dan Sinar Hindia di Tangan Sarekat Islam Semarang
Perlu dipahami sebelumnya, penerbitan surat kabar Bumiputera saat itu lekat dengan organisasi kemasyarakatan, seperti yang terjadi dengan Sinar Djawa dan Sinar Hindia. Secara resmi akhir tahun 1913 Sarekat Islam (SI) Semarang membeli perusahaan percetakan milik orang Tionghoa, yaitu Hoang Thai and Co, perusahaan inilah yang menerbitkan Sinar Djawa sejak 1899 di bawah pimpinan Sie Hien Liang. 
Setelah dibeli, Sinar Djawa jadi milik SI Semarang, nama tersebut tetap digunakan sampai 1 Mei 1918 saat berganti nama menjadi Sinar Hindia. Di tangan SI Semarang, Sinar Djawa pertama kali terbit 4 Januari 1914. Sinar Djawa terbit setiap hari kecuali, Minggu dan hari raya.
Di tangan SI Semarang tepatnya saat Muhammad Joesoef menjadi redaktur, Sinar Djawa memilih untuk bersikap kooperatif dengan pemerintah. Dampak dari Hal tersebut Sinar Djawa tidak diakui sebagai surat kabar yang kritis dan radikal, hal tersebut disampaikan oleh penasihat urusan Bumiputera, D.A Ringkes. 
Hal lain terjadi setelah Semaoen diangkat menjadi Presiden SI Semarang pada 8 Mei 1917, enam bulan kemudian 19 November 1917 dia masuk jajaran redaksi Sinar Djawa sebagai redaktur politik. Sejak masuknya Semaoen penulisan dalam Sinar Djawa berubah menjadi lebih radikal atau nonkooperatif dengan pemerintah. Hal ini terjadi karena kondisi sosial semakin merugikan Bumiputera ditambah ideologi Marxisme-komunisme yang dianut oleh Semaoen.
Semaoen meneguhkan sikapnya dengan menjadikan Sinar Djawa bersuara lebih lantang dan berani menyuarakan derita rakyat Bumiputera sehingga pada 1 Mei 1918 berganti nama menjadi Sinar Hindia, ini lah kutipan keputusan Semaoen, "Telah dipoetoeskan di Aandeelhouder vergadering  Sinar Djawa kemarin,  boelan jaitoe atas permintaan saudara Semaoen maka nama soerat kabar kita Sinar Djawa  diganti Sinar Hindia," Sinar Djawa 30 April 1918.
Selain lekat dengan organisasi kemasyarakatan, surat kabar juga tidak bisa lepas dari konteks sosial masyarakat di mana Surat kabar itu terbit. Hal itu juga terjadi pada Sinar Djawa dan Sinar Hindia yang terbit di Semarang. Semarang di awal abad ke-20 dikenal sebagai salah satu kota terpadat di Jawa, hal itu lumrah terjadi karena Semarang juga menjadi pusat industri, salah satunya industri gula.
Aktifitas industri dan kepadatan penduduk membuat permasalahan sosial terjadi di mana-mana, seperti kelaparan dan wabah penyakit pes. Kelaparan dan wabah penyakit disebabkan oleh perbudakan yang dilakukan oleh setan uang (meminjam kata dari Sinar Hindia untuk menyebut kapitalis). Kala itu rakyat Bumiputera diberi upah kecil yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Awal abad ke-20 juga menjadi awal perjuangan politik Bumiputera, Takashi Shiraishi menyebutnya zaman bergerak di Semarang.
Wacana Politik dalam Sinar Djawa dan Sinar Hindia
Dari banyak wacana yang muncuk di Sinar Djawa dan Sinar Hindia ada dua yang paling mendominasi yaitu, wacana politik dan ekonomi. Wacana sendiri menurut Thwaites adalah seperangkat susunan teks yang mengorganisasikan dan mengoordinasikan tindakan, posisi, dan identitas orang-orang yang memproduksiya dan menurut Norman Fairclough wacana itu tersusun secara sosial.
Telah disinggung sebelumnya bahwa Sinar Djawa dan Sinar Hindia perkembangannya tidak bisa lepas dari SI Semarang dan konteks sosial masyarakatnya pada saat itu. Dua elemen tersebut mempengaruhi produksi berita sehingga membentuk wacananya masing-masing. Saat masih bernama Sinar Djawa Ringkes menganggapnya tidak radikal alias lembek, namun keadaanya tidak serta-merta begitu. Berita dan tulisan-tulisan yang dimuat relatif keras meski lebih keras Sinar Hindia.
Wacana politik dimulai dari diskriminasi atau disebut juga politik apertheid oleh Ong Hok Ham, surat kabar tersebut pernah mewartakan tindakan diskriminasi oleh pemerintah Belanda, misalnya setiap pegawai rendahan Bumiputera dilarang menggunakan bahasa Melayu saat berkomunikasi dengan atasannya, jika dilakukan mereka akan dikenakan hukuman karena dianggap tidak menghormati atasan. 
Pegawai rendahan hanya boleh menggunakan bahasa Jawa Kromo saat berkomunikasi dengan atasannya. Selain itu ada juga perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh atasan yang notaben adalah orang Eropa atau kulit putih. Rakyat Bumiputera yang bekerja di perusahaan mereka wajib menghormatinya dengan sembah jongkok kepada atasannya. Perlakuan seperti mendapat perlawanan dari penulis di Sinar Djawa, "Wahai, saudara-saudara kita! Djanganlah kamoe takoet akan sesoeatoe manoesia jang hendak mengindjak-indjak kita. Tampakanlah keberanianmoe!," Sinar Djawa 30 Agustus 1917.
Diskriminasi menjadi masalah mendasar yang kemudian mencakup banyak aspek kehidupan rakyat Bumiputera. Selain pembedaan derajat antar indvidu, perbedaan juga terjadi pada hak politik Bumiputera. Pemerintahan sendiri (zelfbestuur) menjadi pembahasan dominan dalam wacana politik ini. 
Hindia-Belanda diusulkan mempunyai pemerintahan sendiri, setelah isu kebijakan desentralisasi dilayangkan oleh Kerajaan Belanda. Sayangnya isu itu tidak mentah-mentah ditelan oleh kelompok pergerakan di Semarang, mereka menduga itu hanya permainan yang merugikan. Namun, anehnya pemimpin redaksi Sinar Djawa saat itu Tjokroamidjojo mengutarakan kesepakatan terhadap kebijakan ini, ia menilai Bumiputera harus menyambut kebijakan ini dengan baik.  
Zelfbestuur mengharuskan Hindia mempunyai dewan rakyat (Volksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif saat itu. Dalam proses itu wacana realisasinya mendapat banyak kritikan pedas dari berbagai penulis. Betapa tidak, komposisi organisasinya di berimbaang. 
Sedikitnya ada 39 anggota dengan pembagian, 19 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal, 5 orang Bumiputera, dan 14 orang Eropa dan Timur Asing. Atau dalam versi yang lain sesuai pasal 68 b.R.R (Locale Raden) alinea 2 anggotanya adalah 10 orang Bumiputera dan 9 orang bangsa Eropa dan Timur Asing. Kendati komposisinya terlihat Bumiputera lebih mendominasi, tetap saja ada campur tangan bangsa lain dalam volksraad ini.
Tidak semua orang bisa memilih perwakilannya untuk duduk di kursi dewan rakyat tersebut, persyaratan yang harus dipenuhi adalah berpenghasilan f 50/bulan dan bisa berbahasa Belanda. Dari sekian banyak Bumiputera hanya ada 1% yang memenuhi syarat tersebut. 
Semaoen menyebut volksraad  sebagai yang dibuat pemeriintah untuk meredam pergerakan kaum Bumiputera. Di samping volksraad  ada hal lain yang menjadi pembahasan penting Sinar Djawa  dan Sinar Hindia yaitu, Indiewerbaar (milisi Bumiputera). Salah satu tokoh SI yang sepakat dengan Indiewerbaar adalah Abdoel Moeis. Dia menilai Indiewerbaar dibentuk untuk menjaga diri dari serangan bangsa lain, saat Hindia bisa mendirikan pemeritahan sendiri.
Meski pendapat Abdoel Moeis terlihat humanis, di mata tokoh sosial demokrat Belanda, Mr. Mandels indiewerbaari tak lain hanyalah politik yang akan menjerat Bumiputera, dengan alasan pekerjaan Bumiputera sudah berat semakin berat jika menjadi Indiewerbaar. Di Bagian lain tokoh seperti Semaoen menganggap Indiewerbaar sebagai pelindung pemerintah dan setan oeang semata.
Ibarat panggang jauh dari api, kondisi tersebut tidak menggambarkan Politk Etis yang digadang-gadang pemerintah sejak 1901 tidak ada balas budi yang setimpal dari penjajah Beland. Meski begitu, Bumiputera menerima dampak positif dari pendidikan modern yang diterapkan oleh Belanda, banyak bermunculan tokoh-tokoh muda yang membentuk banyak pergerakan, Yudi Latief menyebut sebagai golongan intelegensia. 
Mereka merespon tindak-tanduk penjajah Belanda dengan perkumpulan mereka, secara umum dibagi menjadi golongan yaitu, golongan kanan, dan golongan kiri. Golongan kanan adalah kelompok yang lebih koopertif dengan pemerintah sedangkan golongan kiri adalah sebaliknya. Dari golongan kiri menghendaki kekuasaan ada di tangan rakyat, dengan jargon yang dikenalkan oleh Mas Marco, sama rata sama rasa. 
Organsasi itu beberapa di antarnya, Sociaal Democratisch Arbeiders Partij (SDAP), Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), dan lain sebagianya. Pergerakan mereka juga amat dibatasi oleh pemerintah, siapa pun yang mengganggu ketentraman dan ketertiban (rust en orde) akan dijatuhi hukuman yang berat sebelah.
Dalam penegakan hukum pers (presdelict) pemerintah juga menyasar orang-orang yang mengritiknya, seperti saat Henk Sneevliet menulis karangan de indier di koran milik organisasi Insulinde. Artikel yang berisi tentang revolusi sosial di Rusia dan kritik terhadap pemerintah Belanda ini dianggap menganggu rust en orde. Goenawan juga mengalami hal yang sama, dia dituding menghina rapat umum pemerintah, ia dijatuhi hukuman 30 hari penjara dengan denda f 200.
Wacana Ekonomi dalam Sinar Djawa dan Sinar Hindia
Tahun 1918 adalah masa-masa akhir dari Perang Dunia I, meski tidak terlibat langsung, Hindia merasakan kelangkaan pasokan sembako dan peralatan sekolah. Masalah tersebut membuat banyak kaum Bumiputera mengalami kelaparan. Derita semakin menjadi saat kaum buruh bekerja dengan upah sangat kecil, misalnya juru tulis (klerk) di Sumatera hanya digaji f 40/bulan. Bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan, memilih untuk menjadi penegemis seperti yang diterjadi di Tegal.
Sudah digaji kecil banyak dari buruh juga yang hanya dijadikan "perkakas" untuk industri kaum kapitalis, mereka dipekerjakan seperti makhluk yang tidak bernyawa saja. Tidak sampai di sana, beberapa kali Sinar Djawa dan Sinar Hindia juga mencatat praktik peminjaman uang yang dilakukan oleh pemerintah yang bekerjasama degan setan oeang kepada Bumiputera. Saat Si peminjam tidak mampu membayar maka tanahnya akan di sita, hal ini terjadi di Kudus tahun 1917.
Persaingan antara pengusaha kecil Bumiputera dengan industri tekstil berskala besar juga sempat diberitakan, dalam hal lini pemerintah didorong untuk memberikan bantuan modal dan bimbingan usaha. Selain industri tekstil, sektor pertanian Bumiputera juga terancam oleh pembukaan laha tebu besar-besaran pemerintah dan setan oeang. Lahan persawahan yang berkurang mempengaruhi penghasilan rakyat, dan kebutuhan pokoknya.
Kesimpulan
Sinar Djawa dan Sinar Hindia meriwayatkan kondisi sosial di Semarang dan Hindia secara umum dengan perspektif pers, namun pemberitaannya cenderung berat sebelah kepada rakyat. Pada saat itu adalah hal yang sangat lumrah terjadi, setiap media memiliki ideologinya sendiri. Apa yang dilakukan surat kabar tersebut adalah konsekuensi dari konteks sosial yang saat itu terjadi. Tidak mengherankan jika isinya sangat berapi-api dan penuh dengan slogan kesetaraan.
Referensi
Artikel ini adalah ulasan dari skripsi saya sendiri yang berjudul "Konten-konten Artikel dalam Sinar Djawa dan Sinar Hindia Tahun 1917-1918"






Dok. Pribadi Oleh : Irvan Hidayat Budaya cetak (print culture) di Eropa sudah dikenal saat mesin cetak modern pertama diciptakan oleh...

April 02, 2020

Wabah Penyakit Yang Pernah Hantam Peradaban Manusia

(dok. sosok.id)

Oleh: Istiani Ulfa dan Hanif Maurits Rahman

Layaknya selebriti tersohor, miliarder kelas kakap atau buronan aparat, Covid-19 mencuri perhatian banyak mata sampai berhasil menguasai layar kaca Indonesia, bahkan dunia. Tidak ada perbincangan menarik, laporan terbaru yang paling dicari selain topik virus ini. Tidak perlu waktu lama, sejak pertama kali kehadirannya per Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, hanya butuh 3 bulan untuk berada di puncak eksistensinya. Siapa sangka, bahkan dunia perpolitikan, perkorupsian, perperangan ekonomi, kalah eksis olehnya. Dari stasiun berita ternama, sampai ruang publik yang sepi peminat, pembahasannya masih sama. Tulisan ini bukan sedang mengulas kronologi atau laporan pasien terdeteksi, itu sudah terlalu banyak dibicarakan, mari kita bahas sesuatu yang lain. Tentang siapa lagi yang pernah menarik perhatian sebegitu besar selain Covid-19, sebelum hari ini. Dengan kacamata sejarah, mari kita mulai!

Kita mulai dari wabah katak (frog plague) yang cukup terkenal dalam judul cerita Paskah “10 plagued Egypth”. Berawal dari penolakan Firaun atas permintaan Musa agar membiarkan orang Israel yang diperbudak bebas, serangkaian sepuluh tulah atau kutukan terjadi, air berubah menjadi darah, wabah katak, serangga kutu, lalat, bisul, hujan es, belalang, kegelapan, sampai wabah kematian, ini terjadi masa Nabi Musa sekitar abad 13-12 SM. Selanjutnya ada Wabah Athena 430 SM, sebagai pandemik yang paling awal tercatat. Gejalanya meliputi demam, haus, tenggorokan dan lidah berdarah, kulit merah melesu.

Kita pergi ke era Masehi awal, ada yang dikenal Wabah Anthonius tahun 165 M, diawali sejenis penyakit cacar dari orang Hun yang kemudian menyebar ke seluruh kekaisaran Romawi dan menewaskan 5 juta orang. Disebut wabah Antonius setelah seorang kaisar Romawi, Marcus Aurelius Antonius terjangkit dan tewas. Wabah ini berlanjut sampai 266 M, klimaksnya adalah ketika 5000 orang meninggal perharinya di Roma. Setelah Antonius selanjutnya Uskup Kristen Kartago, Cyprian, yang gantian terjangkit. Sebuah wabah baru yang diduga berasal dari Ethiophia, lalu kearah utara. Alih alih melarikan diri, penduduk Kartago kala itu malah menyebarkan wabah Cyprian lebih besar. Wabah ini dimulai tahun 250 M, dan terulang pada 444 M di Inggris.

Lanjut, ada Wabah Justinian di tahun 541 M yang menewaskan sekitar 50 juta orang atau 26 persen populasi dunia, wabah ini diyakini sebagai potret awal penyakit Pes, karna sama sama dibawa oleh tikus dan disebarkan oleh kutu. Di abad ke 7 M, sejarawan muslim klasik tidak ada yang melewatkan sebuah peristiwa dahsyat tentang wabah di Amwas, Palestina. Tepatnya  639 M, namanya Tha’un, mirip dengan kusta atau lepra, menyebabkan borok di kulit, kurang lebih 30.000 orang Syam meninggal akibat ini. Di abad 11, kusta ini menjadi pandemik di Eropa yang menyebabkan rumah sakit khusus kusta dibangun besar besaran. Sampai saat ini kusta masih eksis, menimpa puluhan ribu orang pertahun, ganti panggilan menjadi penyakit Hansen.

Di abad 13 M ada wabah yang paling eksis dari segala wabah, malapetaka besar yang hampir memusnakan Eropa, disebut sebagai Black Death.  Sebuah bakteri Yersinia Pestis di kutu yang menyebar ke barat lewat migrasi tikus Rusia, awalnya hanya menyebabkan kematian massal tikus, lalu menjalar ke tubuh manusia. Virus ini mematikan jaringan seperti, jari tangan, kaki, ujung hidung menjadi warna hitam. Ole Jorgen Benedictown dalam bukunya The Black Death 1346-1353 menyatakan wabah ini masuk lewat Laut Kaspia pada musim semi 1346 M.  Wabah yang lebih familiar dipanggil Pes ini diyakini menyebar ke seluruh penjuru Eropa berkat jalur perdagangan dari kapal kapal Italia. Jumlah korbannya lebih dari 200 juta jiwa. Bangkai berserakan seperti eksekusi manusia, potret tragisnya bisa kita lihat dari lukisan Pieter Brugel bertajuk “The Triumph of Death”. 

Ada satu lagi yang hampir menyaingi eksistensi Pes, Smallpox namanya, atau kita mengenalnya sebagai wabah cacar. Dimulai pada tahun 1520 M, masuk ke ibu kota bangsa Aztek, Tenpchtitlan. Sepertiga penduduk disana mati, tak terkecuali raja Aztek. Penjajah Spanyol membawa virus ini ke benua Amerika dan menewaskan puluhan juta orang disana, sampai kota menjadi kosong dan berubah menjadi hutan dan padang rumput, cacar dianggap sebagai pembunuh terbesar yang dibawa Eropa ke Amerika. Kalau ditotalkan sampai abad 20 M, lebih dari 300 juta jiwa melayang.

Tahun 1642 M di China wabah Pagebluk melanda, bersamaan dengan kekeringan dan serangan serangga, di satu wilayah bisa sampai 40% penduduknya meninggal. Krisis pangan terjadi, saking laparnya orang memakan jenazah korban epidemi. 1690 M di Amerika Serikat, Yellow Fever atau Demam kuning  lahir, dan menjadi semakin eksis setelah menjadi epidemi di tahun 1800-an ketika masa pemberontakan budak Haiti dengan korban sekitar 500.000 orang. Di masa yang sama, Malaria juga sedang naik daun, di Batavia saja dalam kurun 53 tahun 72.816 orang Eropa meninggal, sejak 1714 M. Budidaya Kina di Indonesia berawal disini, tepatnya tahun 1800-an ketika CH. F. Pahud menginstruksikan penanaman massal  obat tradisional yang dipercaya menyebuhkan Malaria itu.

Abad 19 – 20, cukup banyak yang unjuk gigi disini, saling berlomba lomba siapa yang paling mematikan. Dimulai dari Rinderpest di tahun 1888-1897, yang mematikan 90% ternak di Afrika. Influenza atau Spanish Flu 1918 yang disebut virologis Amerika, Jeffery Taubenberger, sebagai The Mother of All Pandemics, betapa tidak sepertiga populasi dunia sebanyak 500 juta orang terinfeksi, dengan kematian lebih dari 50-100 juta. Bersamaan itu, Cholera yang muncul sejak 1817 di India kini menjadi pandemik dan memakan korban 800.000.
Meskipun pada saat itu mendapat julukan Flu Spanyol, bukan berarti virus tersebut berasal dari Spanyol, hanya saja pada saat itu Spanyol merupakan negara pertama yang mengumumkan adanya virus ini. Saat itu Spanyol tidak terlibat dalam Perang Dunia I (PD I), sehingga leluasa untuk memberikan informasi ini ke khalayak luas, dengan kata lain kebebasan pers masih terjamin. Flu Spanyol ini menyerang saluran pernafasan khususnya paru-paru, orang yang terkena virus ini memiliki gejala hampir sama dengan Covid-19 yaitu , sakit kepala dan kelelahan, diikuti batuk kering, hilang nafsu makan, dan keringat berlebih. Selanjutnya mempengaruhi organ pernafasan dan berkembang menjadi peneumonia atau komplikasi pernafasan lainnya yang menjadi penyebab kematian.

Titik kemunculan Flu Spanyol ini belum bisa dipastikan namun sebagian ada yang mengatakan bahwa virus ini mulai mewabah di kompleks militer Fort Rilley Amerika Serikat pada Maret 1918,  di awal kemunculan virus tersebut, 700 orang dinyatakan positive disertai gejalanya, 40 orang dinyatakan meninggal dan sisanya dinyatakan sembuh namun dengan keadaan paru-paru yang sulit untuk dipulihkan.

Titik penyebaran virus ini yaitu saat PD I  ketika tentara Amerika Serikat berperang di Eropa. Sehingga Eropa menjadi titik penyebaran terluas saat itu. Faktor lain penyebaran virus ini yaitu ketika para tentara pulang kerumah masing-masing dan menyebarkan virus tersebut kepada keluarga, desa, kota dan terus menyebar, ditambah dengan alat kesehatan yang saat itu belum lengkap dan memadai untuk penanganan virus, sehingga sulit untuk melakukan penyembuhan dan penemuan anti-virusnya, berbeda dengan Covid-19 yang kebenyakan menyerang usia lansia, justru virus Fllu Spanyol ini menyerang usia remaja usia 20 - 30 tahun.

Selanjutnya ada Pageblug Jrong atau Pes Jawa dan wabah Rabies di tahun 1920. Dengeu 1950, dari Thailand dan Filiphina. Marburgvirus di 1967, dan menjangkit Jerman, 80% penduduk Congo jadi korban. Ebola 1976 dari Congo, Afrika. HIV 1980 dari Haiti, menewaskan lebih dari 36 juta orang. Hantavirus 1993 di Amerika Serikat masa Perang Korea, 300-an korban. SARS 2002, Swin flu di tahun 2009, Rotavirus 2008, MERS 2012 di Arab Saudi dan Korsel,  Monkeypox 2019 di Singapura, dan yang terakhir ini Covid-19 di 2020. 

“Pandemi ataupun endemi, keduanya akan mempengaruhi stabilitas struktur sosial dan ekonomi, dan berimbas kepada gejala politik”, sebut Prof Emeritus, bidang Sejarah Pengobatan di Universitas Yalefrank. Wabah wabah ini sudah dapat dipastikan mempengaruhi arus gerak roda sejarah. Mari kita lihat contohnya. Wabah Athena yang akhirnya berujung pada kematian Sparta, Wabah Cyprian menggangu pertahanan Inggris dari serangan Kerajaan Pict dan Skotlandia, Saxon yang membantu Inggris kemudian menjadi penguasa pulau Inggris. Efek Wabah Justinian memadamkan rencana Kaisar Justinian untuk menyatukan kekaisaran Romawi, ekonomi kesulitan, menciptakan suasana apokaliptik dan penyebaran agama Kristen yang lebih cepat.

Masih dengan roda sejarah, Pes menyebabkan runtuhnya feodal, mendorong Eropa Barat menuju komersialisasi dan menjadi lebih modern dengan mengembangkan sistem ekonomi berdasarkan uang kontan. Smallpox menyebabkan ekspansi Eropa dan menurunkan populasi Amerika, 5-6 juta dalam kurun waktu 100 tahun.  Pagebluk di China menjatuhkan Dinasti Ming dari kursi kekuasaan, sebelum akibat fatal dari serbuan Dinasti Qing, Manchuria. Yellow fever membuat Prancis mundur dari Amerika Serikat, kemerdekaan Haiti yang menang karena imunnya lebih tingga dibanding pasukan Napoleon. Rinderpest yang mempercepat penjajahan Eropa di Afrika.

Cholera yang meyebabkan perang Franco-Prussia, menurut Richar J. Evans juga sebab Revolusi Prancis 1832. HIV yang menyebabkan kemerosotan Haiti. Wabah HIV menyebabkan Revolusi sosial dan melengserkan Duvalier di 1986. Dan banyak lagi  yang belum tersebutkan merinci disini. Kalau-kalau kita mengamini pepatah Prancis L’Histoire se Repete dari Keny Arkana, bahwa sejarah mengulang dirinya sendiri, apa yang akan terulang di masa COVID19 ini? Berani prediksi?


RUJUKAN :
https://time.com/5561441/passover-10-plagues-real-history/

https://www.businessinsider.sg/coronavirus-pandemic-timeline-history-major-events-2020-3?r=US&IR=T

https://www.history.com/topics/middle-ages/pandemics-timeline

https://historia.id/sains/articles/wabah-wabah-penyakit-pembunuh-massal-P7eL5

https://historia.id/sains/articles/kala-black-death-hampir-memusnahkan-eropa-P4neV

https://wahdah.or.id/thaun-black-death-wabah-mematikan-abad-tengah/

https://www.bbc.com/indonesia/majalah-51959113

https://historia.id/article/tag/%20virus/1

https://www.mphonline.org/worst-pandemics-in-history/

https://www.livescience.com/56598-deadliest-viruses-on-earth.html

https://www.history.com/news/pandemics-end-plague-cholera-black-death-smallpox

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3291398/

https://katadata.co.id/berita/2020/03/25/sejarah-pandemi-dan-epidemi-di-dunia-yang-memicu-gejolak-politik

(dok. sosok.id) Oleh: Istiani Ulfa dan Hanif Maurits Rahman Layaknya selebriti tersohor, miliarder kelas kakap atau buronan aparat, ...