Kematian Masal Umat Manusia
Oleh: Irvan Hidayat
Hitam
pekat dan aroma khas kopi di Minggu pagi tetap setia menemani ku. Suara
kendaran bermotor lalu lalang di depan kos-kosan yang aku tinggali, mengiringi
di setiap pagi bak sekelompok pemain musik orkestra professional. Teman-teman
ku memanggil aku Hida, anak lelaki perantauan Bogor yang singgah untuk menuntut
ilmu di kecamatan kecil di pojok kota Tangerang Selatan.
Aku
kerap kali menghabiskan waktu di kampus dengan segudang aktivitas, karena
itulah teman-teman ku mengenal ku dengan Hida “Si Aktivis Kampus”. Gelar itu
aku terima dengan lapang dada, gelar “Si aktivis kampus” bagi ku bukan gelar
yang buruk malah sebaliknya. Sejak awal masuk kampus niat ku hanya satu yaitu,
belajar tidak ada niat lain selain itu. Namun ternyata dunia kampus tak seperti
yang aku bayangkan, dunia kampus teramat menyeramkan lebih seram dari film
horror bahkan lebih seram dari negeri para dedemit yang tempo hari diceritakan
ibu ku di kampung.
Awalnya
ku kira kampus adalah tempat orang-orang berkacamata tebal, menenteng buku
kesana-kemari, tempatnya orang-orang cerdas yang sering muncul di koran dan
televisi. Tapi kenyataannya kampus yang sekarang memberikan aku gelar aktivis
tidak lebih dari pusat berkumpulnya orang-orang buta, yang kalau berjalan
sering tersandung benda di depannya. Pernah sekali aku melihat dengan mata
kepala ku langsung, ada seorang mahasiswa yang tertatih-tatih jalannya, karena
aku kasihan aku membantunya dengan menaruh tangan kirinya di sebelah pundak
kanan ku. Sembari menuntunnya aku bertanya, seperti biasa pertama kali bertemu,
aku membukanya dengan perkenalan, ternyata namanya Eka. Eka ini anak jurusan
Ilmu Politik, diasudah semester lima.
“Eka,
kaki kamu kenapa kalau aku boleh tahu?”
“Dua
hari yang lalu aku tersandung batu di gerbang pintu keluar”
“oh…seperti
itu, ko bisa yah di depan pintu gerbang ada batu”
“Aku
tidak tahu, biasanya sih tidak ada”
Sesampainya
aku menuntun Eka ke depan kelasnya aku tinggalkan dia, aku pun bergegas lari ke
kelas karena aku takut terlambat. Seperti biasanya hari senin pagi itu jadwal
mata kuliah sejarah. Hari ini tak seperti biasanya teman-teman ku semuanya
sudah ada di kelas tidak ada yang terlambat, satu-satunya yang terlambat hanya
Pak Dosen saja, dia telat 10 menit masuk kelas.
“Oke,
anak-anak hari ini ujian!”
“Siap
pak”, teman-teman ku serempak menjawab.
“Mati
aku”, aku lupa kalau hari ini aku ujian. Semalaman penuh aku hanya membaca
novel tidak sempat aku membaca buku sejarah. Teman-teman ku semuanya terlihat
siap, tak ada ketakutan sedikit pun di raut muka mereka. Lembar soal dan
jawaban lantas dibagikan oleh Pak Dosen, “silahkan dikerjakan anak-anak, jangan
ada yang nyontek”, basa-basi yang sudah basi bagi aku, keluar dari bibir
keriput Pak Dosen.
Jam
sudah menunjukan pukul 08.00, berarti sudah 30 menit waktu berlalu dan lembar
jawaban ujian ku masih bersih tak tersentuh tinta bolpoin, resah tiba-tiba
datang tanpa permisi dan kepala ku mendadak ingin meledak karena kebingungan.
Badan ini terasa pegal duduk di bangku kelas yang panas, aku berdiri sejenak
untuk meregangkan otot-otot yang kaku, tak sengaja aku menengok kebelakang dan
teman-teman ku sedang sibuk mengisi lembar jawabannya. Tapi ada yang aneh, ada
cahaya yang memantul di badan bajunya, ternyata setelah aku lihat mereka sedang
asik menggeser-geser layar smart phonenya.
Jam
menunjukan pukul 09.20 waktu mata kuliah sejarah habis, dengan jawaban seadanya
aku serahkan lembar jawaban ke Pak Dosen. Hari itu memang hanya ada satu mata
kuliah, seperti biasanya selesai mata kuliah ku sempatkan ke perpustakaan
barang satu sampai dua jam. Di perpustakaan aku menemukan buku yang sudah lusuh
termakan zaman, kertasnya sudah menguning dan mengeluarkan bau khasnya.
Tulisannya pun masih pakai ejaan lama, judul bukunya “Kematian Masal di Puncak
Ilmu Pengetahuan”, meski terlihat lusuh dan kuno ternyata isinya menarik
sekali, pesan yang disampaikan buku itu pada intinya adalah akan datang satu
masa dimana manusia akan mengalami kematian masal.
Aku
masih tidak mengerti apa yang dimaksud buku itu, tapi sudah satu jam lebih aku
di perpustakaan sudah waktunya aku beranjak ke basement tempat berjumpa dengan kawan-kawan satu organisasi aku. Tidak
seperti hari-hari yang lalu hari ini basement
ramai sekali, orang-orang duduk di teras, tapi aku tercengang tidak ada satu
pun orang yang berbicara mereka asik tertawa sendiri ada juga yang asik
nyanyi-nyanyi sendiri sambil pakai earphone.
Aku
sapa mereka tidak ada yang membalas sapaan ku, aneh sekali semakin hari semakin
tak nyaman aku di kampus. Melihat kondisi yang seperti itu aku lantas
memutuskan untuk pulang saja ke kos-kosan, dengan langkah tertunduk lesu aku
bergegas tapi di tengah jalan aku melihat ada orang kecelakaan tertabrak mobil,
setelah aku cari tahu penyebabnya orang yang tertabrak itu bernama Yuli. Yuli
tertabrak mobil saat asik mengelus-elus layar tabletnya sambil kupingnya
disumpal pakai earphone, begitu menurut
saksi mata. Aku bukan siapa-siapa Yuli, aku tak sempat menolongnya karena sudah
banyak orang yang menolongnya.
Setengah
jarak dari tempat kos-kosanku aku bertemu dengan Eka mahasiswa yang tadi pagi
aku tuntun kekelasnya, tanpa diminta dia menceritakan kejadian kecelekaan yang
menimpanya sehingga membuat kakinya patah. Waktu itu dia sedang mengendarai
sepeda motor sambil memainkan handphone
yang baru dibelinya, dia tidak melihat ada batu besar di hadapannya, tiba-tiba
iya terjatuh dan terkapar dan kaki sebelah tumitnya patah tertimpah badan
motor.
Hari
senin menjadi hari penuh teka-teki bagi ku, mulai dari patahnya kaki Eka,
teman-temanku yang tiba-tiba tidak ada yang telat, sorot cahaya yang memantul
dari layar smartphone ke baju teman-temanku, orang-orang di basement yang cuek,
dan kecelakaan yang menimpa Yuli akibat asik meminkan tabletnya.
Di
kos-kosan ku yang hanya berukuran 2 kali 3 meter ini, aku merenung mengapa bisa
seperti ini, awalnya aku ingin menuntut ilmu di perguruan tinggi, tapi malah
keanehan yang aku jumpai apalagi di hari senin waktu itu. Dimana Professor,
Doktor, dan Sarjana yang cerdas itu berada, apakah semua mereka hilang? Tidak
adakah orang-orang berkacamata tebal membaca buku di setiap sudut-sudut kampus?
Tidak adakah orang yang kepalanya botak di dalam laboratorium. Yang aku lihat
hanya orang-orang cuek, mungkin karena dia tuli, buta atau gagu. Semuanya hanya
sibuk dengan hanphone, tablet dan teknologi yang dinamakan gadget.
Kampus
ku bukan kampus yang aku impikan selama ini, kampus ini hanyalah tempat para
budak teknologi berkumpul tidak ada lagi keramahan, tidak ada lagi kejujuran,
tidak ada lagi kemanusiaan semuanya lebur menjadi satu menjadi penyembah
smartphone, tablet, komputer. Apakah ini yang dinamakan puncak dari ilmu
pengetahuan? atau ini adalah awal dari kematian masal umat manusia seperti yang
dikatakan buku tua dan lusuh di perustakaan itu.
Kematian Masal Umat Manusia Oleh: Irvan Hidayat Hitam pekat dan aroma khas kopi di Minggu pagi tetap setia menemani ku. Suara kenda...