Ulama Nusantara
Yang Aktif Berpolitik
Sejak faham sekular populer di Indonesia kegiatan berpolitik
para ulama cenderung dipandang buruk oleh kalangan umum kaum muslimin.
Pandangan buruk tersebut kian meningkat setelah banyak kaum elit politik yang
terjerat kasus korupsi dan perilaku tercela lainnya. Kaum muslimin akhirnya
menjadi pesimis dan cenderung menganggap politik itu kotor. Mungkin pembaca
yang budiman sering mendengar ungkapan ustadz
mah di masjid aja, ga usah ikut yang begituan atau kalo ustadz ikut politik udah ga bener itu dan berbagai ungkapan
yang serupa.
Selain ketidakpercayaan kaum muslimin kepada politik, faktor
lainnya adalah kurangnya pemahaman kaum muslimin tentang tujuan utama dari
politik. Mereka hanya menilai praktinya saja yang memang selalu terlihat buruk.
Selain itu mereka juga kurang melihat sejarah dimana para penguasa selalu menggandeng
dengan ulama sebagai penasihat atau bahkan penggerak. Bahkan ada sebagian ulama
yang menjadi pemimpin suatu daerah atau kerajaan seperti Umar b. Abdul Aziz, Khalifah Bani Umayah.
Mengingat pentingnya contoh bahwa berpolitik bagi para ulama
adalah sebuah kewajaran dan bahkan sangat dianjurkan, maka penulis akan berbagi
dengan pembaca budiman tentang lima ulama nusantara yang aktif di dunia
politik. Silahkan baca.
5. Nur al-Din Ar Raniri di Kesultanan Aceh Darussalam
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad b. Ali b. Hasanji
b. Muhammad Hamid al-Raniri. Lahir di India, tepatnya di daerah Ranir. Ibunya
orang Melayu-Aceh yang menikah dengan orang Arab, Ali. Tidak diketahui dengan
pasti tanggal kelahirannya, yang jelas pada tahun 1637 M. ia tiba di Aceh.
Selama di Aceh al-Raniri aktif berdakwah dan mengajarkan
Islam. Pada masa sedang berkuasa Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) yang sangat
dekat dengannya. Al-Raniri menggunakan kekuatan Sulthan untuk membasmi ajaran wahdat al-wujud yang dianut Sultan
sebelumnya. Faham ini sebelumnya sangat luas dikalangan masyarakat Aceh. Adapun
tokoh yang mengajarkannya adalah Hamzah Fansuri dan Syam al-Din Samatrani. Kitab-kitab
karya kedua ulama tersebut hangus dibakar dan para pengikutnya diburu dan
dibunuh.
Keadaan ini kemudian menjadi aman kembali setelah al-Raniri
kalah berdebat dengan Syaifurrijal terkait masalah faham wahdat al-wujud. Perdebatan ini bisa juga diartikan dalam
memperebutkan kepercayaan Sultanah Taj al-Alam Shafiatiddin Syah (1641-1674).
Selain kedua ulama tersebut, di Aceh juga terdapat ulama lain
yang mempengaruhi perpolitikan Aceh seperti Abdul al-Rauf Singkili dan dua ulama
penyebar ajaran wahdat al-wujud, Hamzah
Fansuri dan Syam al-Din Samatrani.
4. Muhammad Arsyad Banjar dan Kesultanan Banjar
Nama lengkapnya adalah Muhammad Arsyad b. Abdullah al-Banjar.
Lahir di kampung Luk Gabang, Kalimantan Selatan pada 1710 M. Al-Banjari belajar
bersama Abdul al-Samad Falimbani dan ulama lainnya di Mekah. Sekembalinya ke
nusantara ia aktif memberi pembaharuan besar pada Kesultanan Banjar. Seperti
diketahui, sejak Demak mengislamkan Pangeran Samudra yang kemudian berganti
nama menjadi Sultan Surian Syah sebagai sultan pertama kesultanan Banjar,
ajaran Islam tidak berkembang dengan baik. Ajaran Islam baru berkembang pesat
sejak Arsyad Banjar kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah.
Pada masa itu sedang berkuasa Sultan Tahmidullah II. Sulthan
sangat menghormati dan terpengaruh oleh Arsyad Banjar. Dia memhukum mati Abdul
Hamid yang dianggap heteredok atas nasihat Arsyad Banjar. Arsyad Banjar
memvonis Abd Hamid agar faham wahdat
al-wujud-nya tidak tersebar.
Setelahnya Arsyad Banjar membangun lembaga pendidikan di
daerah kekuasaan Kesultanan Banjar sehingga Islam tersebar luas di seluruh
Kalimantan.
3. Muhammad Yusuf Makassar dari Gowa.
Dari kedua ulama di atas, Yusuf Makasar-lah yang paling aktif
di dunia politik. Saking berbahayanya ia mengalami pengasingan dua kali oleh
VOC, yaitu Sri Langka dan Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Nama lengkapnya
adalah Muhammad Yusuf b. Abdullah Abu al-Mahasin dari Makassar, juga dikenal
dengan Tuanta Salamaka ri Gowa (Tuan akmi yang agung dari Gowa). Lahir di Gowa,
Sulawesi pada 1627 M.
Ia belajar dan menjadi ulama besar di Mekah. Kitabnya yang
paling terkenal di Indonesia adalah Safinat al-Najah yang digunakan hampir
seluruh pesantren di Indonesia. Setelah belajar di Mekah dan daerah Timur
Tengah lainnya, ia tidak kembali ke Gowa melainkan ke Banten. Ketika tiba di
Banten yang berkuasa adalah Sulthan Ageng Tirtayasa. Yusuf Makasar menjadi
ulama penting di Banten. Ia mengajar anak Sulthan, Abdul Qahar.
Ketika terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan
anaknya yang bekerja sama dengan Belanda, Yusuf Makasar ikut ke kelompok Sultan
Ageng Tirtayasa. Setelah mengalami kekalahan dari Belanda, Yusuf Makasar terus
melawan Belanda hingga akhirnya tertangkap. Karena dianggap lebih berbahaya dari
Sulthan sendiri, Yusuf Makasar akhirnya diasingkan ke Sri Langka.
Di Sri Langka ia aktif mengajar pribumi yang singgah pergi
atau pulang haji. Kegiatan ini dicurigai Belanda sebagai tindakan provokasi.
Akhirnya ia diasing kembali ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Yusuf Makasar
mengajarkan Islam hingga meninggal dunia di Afrika Selatan.
2. Walisongo
Walisongo adalah sembilan wali yang menyiarkan agama Islam di
pulau Jawa. Mereka terdiri dari Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim), Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria (Raden Umar Said) dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
sembilan ulama ini
tersebar di seluruh tanah Jawa. Peran politik mereka sangat mendominasi hingga
penentuan seorang raja baru seperti Hadiwijaya dan Sutawijaya. Bahkan ada di
antara mereka yang kemudian mendirikan kerajaan baru seperti Syarif
Hidayatullah yang mendirikan kerajaan Banten dan Cirebon. Perang terbesar
sembilan wali ini adalah membantu Raden Fatah mendirikan Kesultanan Demak.
1. Muhammad Aidarus Buton
Diperkirakan Muhammad Aidarus lahir pada perempat akhir abad
18 M. ia adalah Sultan Buton pada tahun 1824 hingga 1851 M. sebelum menjadi
sultan ia belajar agama kepada La Jampi serta Syekh Muhammad b. Syais Sumbul
al-Makki.
Setelah menjadi sultan Buton ia merumuskan undang-undang yang
berdasarkan ajaran wahdat al-wujud
yang telah ditransformasi menjadi ajaran sunni. Aidarus hanya mengambil
istilah-istilah wahdat al-wujud martabat
tujuh dan insan kamil. Undang-undang ini kemudian sangat berguna bagi
Kesulthana Buton apalagi ketika menjalin kesepakatan dengan Belanda (VOC).
Ubaidillah, ketua div. kominfo.
Ulama Nusantara Yang Aktif Berpolitik Ilustrasi Syekh Yusuf Makasar. sumber www.republika.co.id Sejak faham sekular populer di Indon...