November 24, 2016

PERAN CENDIKIAWAN DALAM TRANSISI DEMOKRASI ERA REFORMASI: GAGASAN OPOSISI NURCHOLISH MADJID

Sumber gambar: http://www.andriewongso.com/uploads/2015/12/Nurcholish-Madjid-Cendekiawan-Indonesia_2014-08-29-13-50-34_640x321-Nurcholis-Madjid.jpg

Oleh: Andhika Ripwan Saputra

Pendahuluan

            Nurcholish Madjid adalah salah satu tokoh cendikiawan muslim yang berperan penting dalam mengawal proses transisi demokrasi dari rezim Orde Baru menuju bergulirnya reformasi 1998.[1] Beliau mempunyai kontribusi signifikan dalam menyampaikan nilai-nilai demokratis ketika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru yang cenderung menjalankan kekuasaan dengan model otoriter, hingga pada masa transisi reformasi bergulirpun ide-ide Nurcholish Madjid turut mewarnai perubahan kehidupan bernegara dan kebijakan-kebijakan politis di era reformasi yang dikenal sebagai era terbukanya keran demokrasi di Indonesia.
            Pada rezim Orde Baru para kritikus dari kalangan cendikiawan dibatasi gerak pemikirannya, posisi mereka diganjal bahkan dipinggirkan. Setiap pendapat yang bernada kritik akan dihadapkan dengan tangan besi Soeharto dan dipaksakan untuk melayani kepentingannya. Soeharto menganggap kritis yang dilontarkan oleh kalangan cendikiawan adalah penghalang yang menghambat proses pembangunan.[2] Meskipun Nurcholish Madjid memiliki kedekatan dengan Soeharto.
            Di tengah kejayaan rezim Orde Baru, Nurcholish Madjid justru melontarkan ide oposisi ke dalam kekuasaan otoriter yang merupakan bagian vital pemerintahan Soeharto. Ide Nurcholish mengenai perlunya keseimbangan berangkat dari pemikirannya mengenai agama, bahwa bumi diciptakan Tuhan dengan prinsip keseimbangan.[3] Selain itu, Golkar didukung dengan 3M (militer, mesin birokrasi, dan money), sehingga dapat dipastikan menang. Untuk mengimbangi Golkar dukungan mahasiswa dan pemuda harus diberikan kepada partai politik lain.
            Berangkat dari masalah tersebut paper ini ingin mencoba menjelaskan bagaimana gagasan oposisi Nurcholish madjid yang di kemukakan dan menjadi landasan kritik terhadap poitik rezim Orde Baru? Pertanyaan ini perlu dijawab guna memberikan informasi mengenai peran dari Nurcholish Madjid sebagai konseptor gagasan oposisi.

Gagasan Oposisi

            Pada saat soeharto berkuasa, sektor politik di tubuh rezim orde baru melawan arus demokrasi, kekuasaan eksekutif justru mengendalikan dua lembaga penting negara yaitu legislatif yang diperankan oleh MPR/DPR dan yudikatif sebagai lembaga penegak hukum. Pengawasan dan pengimbangan yang efektif akan terwujud jika masing-masing dari ketiga unsur tersebut independen satu dari yang lain dan berkebebasan melaksanakan pengawasan dan pengimbangan satu sama lain.[4] Dominasi politik demikian tentu memberikan peluang bagi aktor oposisi untuk melakukan monitoring kinerja pemerintah.
            Aturan main politik rezim Orde Baru menurut Nurcholish Madjid yang harusnya menjadi saingan berat Golkar kehilangan potensi untuk melakukan persaingan secara sehat dan terbuka. Jika peran oposisi partai politik yang sah secara konstitusional saja mengalami penyempitan, maka dapat dipastikan fungsi oposisi non politik yang dalam hal ini adalah organisasi kemasyarakatan, pers, cendikiawan, mengalami kesulitan. Melihat kondisi seperti ini Nurcholish Madjid secara lugas melontarkan ide oposisi sebagai reaksi atas otoritarianisme kekuasaan Orde Baru.
            Nurcholish Madjid melontarkan wacara keberadaan oposisi yang mesti disadari oleh pemerintah Orde Baru. Menurutnya diperlukan peran oposisi yang secara langsung diperankan oleh partai politik yang bersaing dalam pemilu dan melakukan evaluasi monitoring terhadap partai politik yang berkuasa memegang kendali pemerintahan. Dalam tataran aplikasi, pada 1971 Nucholish Madjid memberikan dorongan kepada mahasiswa dan pemuda untuk mendukung partai politik lain, untuk mengimbangi kekuatan Golkar yang mendapat sokongan dari kalangan elit yaitu militer, birokrat dan dana[5].
            Selain itu, Nurcholish berpendapat untuk memantau aplikasi kekuasaan diperlukan bentuk oposisi tidak langsung yang diperankan kaum cendikiawan yang tidak terikat oleh kekuasaan. Fungsi mereka menyuplai ide-ide konstruktif untuk kemajuan demokrasi namun tidak memasuki wilayah politik praktis. Dalam istilah Nurcholish Madjid fungsi cendikiawan semacam itu disebut bebas tapi aktif.[6]
            Menurut Nurcholish, demokrasi yang sehat memerlukan check and balance. Ada kekuatan pemantau dan pengimbang. Ia bersandar pada pandangan filosofis bahwa manusia itu tidak mungkin selalu benar, karena itu harus ada cara untuk saling mengingatkan, apa yang tidak baik dan tidak benar.[7] Ia memberikan contoh orang yang menyatakan hendak mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni, namun dalam pelaksanaanya belum tentu benar. Karena itu, menurutnya, dalam masyarakat harus ada mekanisme untuk tukar pikiran. Atau dalam bentuk yang lebih canggih.[8]
            Nurcholish menyadari bahwa ide-ide seperti oposisi belum bisa diterima bukan saja oleh kalangan penguasa, bahkan juga oleh para politisi partai (oposisi) sendiri. Alasannya oposisi masih dianggap sebagai ancaman, karena dilihat sebagai upaya untuk menjatuhkan pemerintahan.[9] Walaupun demikian gagasan oposisi harus dilaksanan guna membuat keseimbangan antara negara dan masyarakat.


Kesimpulan

            Usaha Nurcholish Madjid mengenai gagasan oposisi berangkat dari kesadaranya akan ajaran agama mengenai prinsip keseimbangan. Upaya tersebut dilakukannya sebagai usaha untuk mengawal kinerja pemerintahan dan kritikan terhadap otoritarianisme rezim orde baru yang melawan arus demokrasi dan mematikan fungsi trias politika.


[1] Diro Aristonang, Runtuhnya Rezim daripada Soeharto (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.233.
[2] Muhammad A.S Hikam, “Depolitisasi, Reformasi dan Gerakan Mahasiswa, dalam Fahruz Zaman Fadhly”, ed., Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa 1998 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 27.
[3] Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 259.
[4] Nurcholish Madjid, “Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara”, Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban II, no.1 (Desember 2009): hal. 26.
[5] Ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa ia menghendaki agar mahasiswa dan pemuda tidak memilih Golkar dengan tujuan persaingan politik dalam pemilu berlangsung secara imbang. Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 6
[6] Ibid, hal. 11.
[7] Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999), hal. 6
[8] Ujar Nurcholish, “adanya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan akademik, kebebasan pers, dan sebagainya”. Lihat Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 260.
[9] Padahal, menurutnya, “Oposisi itu wujud dari pengakuan adanya perbedaan pandangan, itu sah dan tidak usah khawatir bahwa partai oposisi itu akan menggulingkan pemerintah”. Karena itu Nurcholish Madjid tetap berpandangan bahwa ide mengenai oposisi itu harus dilaksanakan. Lihat Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 260.

[full-width]

Sumber gambar:  http://www.andriewongso.com/uploads/2015/12/Nurcholish-Madjid-Cendekiawan-Indonesia_2014-08-29-13-50-34_640x321-Nurcholis...

November 20, 2016

Dialog Anak Manusia

Dialog Anak Manusia eps 03

Karena lelah aku baringkan tubuh ini diatas tikar dalam kamar sempit. Gelap cahaya kamar menambah nuansa tenang, setelah satu minggu belakangan aku sibuk dengan pekerjaan aku sebagai budak  pengetahuan yang mondar-mandir ruangan kelas, ruang perpustakaan dan tempat senda gurau bersama kalian. Nikmat sekali rasanya sampai tulang-tulang ini mengeluarkan bunyi kelelahannya "trak...trak...trak". Indera penglihatan mulai tertutup, alat bernafas menghela oksigen sangat dalam dan tertidur lelaplah aku.

Tidak pernah ada yang tau jikalau saat tertidur kemana aku pergi, karena memang akupun tak tahu aku ada dimana saat aku tertidur. Tapi kerap kali aku merasakan sekujur jasad ini merasakan dan panca inderaku mengindera layaknya kehidupan sehari-hari di dunia aku. Aku pernah masuk ke dalam satu ruangan, di sana aku melihat banyak orang mondar-mandir sambil menenteng buku-buku yang tebal dan sebagian dari mereka duduk di lantai saling bercengkrama. Beberapa diantaranya juga ada yang bergumul mendengarkan satu orang yang berceramah.
" Jadi sudah seharusnya kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan, kita harus taat pada ajarannya, harya menghindarkan diri dari yang dilarang Tuhan"
Kalimat orang yang ceramah itu terdengar sampai ke indera pendengaran aku, tapi aku tidak mengerti apa yang dikatakanya.

Semakin penasaran saja dengan apa yang dikatakan penceramah itu, aku melangkahkan kedua kaki ini ke sisi lain ruangan. Aku melihat orang yang duduk bersila sambil meletakan kedua tangannya di atas lutut dengan matanya yang terpejam. Di depan orang itu aku lihat ada patung besar yang juga duduk bersila, mereka sering menyebutnya dengan Buddha. Ketika aku hendak bertanya pada orang yang sedang duduk itu tiba-tiba ada yang menarik leher bajuku sambil berkata "jangan kau ganggu orang itu, dia sedang khusu".

Yasudah karena aku takut menggangu aku beranjak ketempat sudut yang lain, tak sengaja aku melemparkan batu kecil ke arah orang yang ada di sudut barat, seketika orang itu menoleh ke belakang namun seolah di tidak peduli. Akupun menghampirinya, aku hendak meminta maaf tapi waktu aku sentuh pundaknya dia tetap diam tak menoleh. Setelah aku mengarahkan kedua mataku ke depan ternyata dia sedang khusu mulutnya mengucap kata-kata yang aku tak mengerti. Di hadapan orang itu aku melihat ada kayu berbentuk vertikal dan satunya lagi horizontal. Aku menunggunya sampai orang itu selesai dan aku lantas meminta maaf lalu aku langsung pergi berjalan lagi. "Apa yang sedang dua orang tadi lakukan" begitu bibir aku bergumam.

Aku tak pedulikan orang yang berdua itu, lantas aku teruskan melangkah mengelilingi ruangan yang tak terlihat ujungnya. Dalam langkah kesekian kalinya tiba-tiba mata ini mengarahkan sorotnya ke arah Utara, terlihat segerombolan orang melingkar dan di tengah-tengahnya ada api dalam wadah berbentuk seperti mangkuk tapi diameternya kira-kira satu meter.
Kedua kaki ini atas perintah otak melangkah lebih cepat karena saking penasarannya. Kurang dari tujuh meter dari tempat orang-orang itu berkumpul tiba-tiba aku dihadang oleh dua orang berjubah hitam, mukanya tak terlihat tertutupi oleh jubahnya yang besar. "Mau kemana kamu, berhenti di sini!"

Aku tidak bisa mengelak kedua tanganku dipegangnya erat.
Sekitar 16 menit aku dipegang erat oleh kedua orang berjubah tadi, selesai juga orang yang berkumpul mengelilingi api itu, mereka lantas pergi dan dilepaskan pulalah kedua tanganku. Lalu sejenak aku mengistirahatkan diri, aku duduk sambil termenung heran dan bingung apa yang sedang aku alami ini. Aneh sekali orang-orang tadi terlihat begitu hikmatnya berkegiatan, apa yang sedang mereka lakukan aku tak tahu.
"Bangun...bangun...sudah pagi!!!"

Perempuan yang sangat aku cintai tiba-tiba membangunkan aku dan menyuruhku untuk mandi lalu sarapan untuk pergi ketempat perbudakan lagi.

Dialog Anak Manusia  eps 03 Karena lelah aku baringkan tubuh ini diatas tikar dalam kamar sempit. Gelap cahaya kamar menambah nuansa ...

November 17, 2016

Zionisme dan pengusiran warga Palestina

Zionisme dan pengusiran warga Palestina
Oleh : Muhammad Ikbar shomi ( mahasiswa ski semester 1) 


Istilah ‘’zionisme’’ berasal dari akar kata ‘’zion’’ yang pada mula awal sejarah Yahudi menjadi sinonim dengan penyebutan untuk kota Jerusalem. Kata ini mempunyai arti khusus bagi orang Yahudi terutama sejak terjadinya penghancuran sinagog pertama, untuk mengekpresikan kerinduan sebuah tanah air.

Istilah zionisme juga modern pertama kali muncul pada akhir abad XIX, yang artinya, gerakan dengan tujuan kembalinya bangsa Yahudi ke Erez Israel (Palestina). Hal ini juga pernah dicatat oleh Nathan Birnbaum dalam jurnalnya yang bernama Selbstemanzipation. Birnbaun sendiri telah menjelaskan istilah tersebut yang bermakna didirikannya organisasi politik nasional zionis dalam posisi yang berbeda dengan partai yang berorientasi praktis yang ada selama ini. Meskipun juga bisa didapatkan arti yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan oleh Birnbaum, namun istilah’’zionism’’dan’’hibbat zion’’ (cinta zion) masih sering digunakan secara bergantian. Kemudian, secara bertahap arti zionisme politik dibedakan dari zionis’’praktis’’, yang semua aktivitasnya dilakukan secara sukarela.

Dari sinilah sejarah zionis bisa dibedakan ke dalam dua bagian : hibbat zion sampai pada masa kongres pertama, dan ‘’zionisme’’ atau zionis politik. Meski demikian, adanya perbedaan ini tidak mengakhiri pertarungan yang berkepanjangan antara dua konsep di dalam gerakan kaum zionis yaitu antara kaum zionis’’politik’’ dan yang’’praktis, yang masing-masing menganggap bahwa hanya cara pendekatanyya terhadap realisasi tujuan zionis itulah yang paling tepat dalam mengartikan istiliah’’zionisme’’.

Dalam kasus pengusiran 415 warga palestina dari tanah airnya yang telah diduduki Israel nyaris mendominasi berita timur tengah menjelang tutup tahun 1992. Seolah-olah ini sebuah paket khusus dari pemerintah Israel menyambut berakhirnya tahun 1992. Penderitaan mereka semakin lengkap setelah pemerintah Lebanon melarang mereka masuk ke daerah kedaulatanyya. Mereka akhirnya terkatung-katung,tidak di Israel, tidak pula di Lebanon.

Dalam tindakan Israel inilah telah mengusir warga palestina kali ini sesungguhnya bagian dari rangkaian politik tradisional negeri Yahudi itu. Jauh sebelumnya berdirinya Negara Israel tahun 1948, para aktivis gerakan zionisme telah mengusir warga palestina secara halus lewat cara membeli tanah-tanah mereka dengan harga mahal seapapun.

Pemerintah Israel rupanya tidak cuma secara harfiah mengambil alih politik pengusiran ini, tetapi ia menerapkanyya secara lebih terorganusir dan sistematis. Hal ini sebernarnya tidak lepas dari pola pemikirian tokoh-tokoh gerakan zionisme, yang ternyata dengan setia dianut partai-partai di Israel.

Pada masa generasi inilah, pemikirian semacam ini justru semakin subur. Seorang aktivis zionisme berkebangsaan inggris, mosche mounhen, mengatakan, ‘’wahai umat Yahudi, tancapkanlah di hatimu yang masih ragu bahwa tanah air kita harus disucikan dari kaki orang asing dan harus bersih dari kotoran debu.

Dalam sejarah berada di pihak Israel. Gerakan zionis inilah, selanjutnya, praktis memang tidak pernah mengalami hambatan dalam mewujudkan cita-citanya itu. Pada masa pra Negara Israel 1948, mereka justru mendapat angina dari pemerintah prorektorat inggris di tanah palestina. Menjelang berdirinya Negara Israel, gerakan zionis inilah berhasil mengosongkan 60 desa palestina dari penduduknya yang sebagian besar terletak di bagian utara wilayah palestina.

Aksi pengusiran massal warga palestina terjadi lagi sesuai tiga perang besar timur tengah (1948,1956,1967). Pemerintah Negara baru Israel,setelah perang 1948, berhasil mengusir dalam jumlah besar penduduk palestina ke mesir,suriah,yordania,dan Lebanon.

Pada tahun 1968 tercatat 69  warga palestina yang diusir, pada tahun 1969 ada 223, pada tahun 1970 ada 406, pada tahun 1971 ada 306, pada tahun 1972 ada 91, pada tahun 1973 ada 10, tahun 1974 ada sebelas, tahun 1975 ada 13, tahun 1976 ada dua, tahun 1977 ada dua, dan tahun 1978 ada juga 2 orang.

Dari tahun 1978 sampai 1985 sekitar warga palestina terusir. Dan pemerintah Israel, dalam kasus pengusiran itu tidak pernah mundur dari keputusanya kecuali jika dalam keadaan terpojok betul. Itu pun, kalau mencoba membandingkan, barangkali cuma satu dari kasus 100 pengusiran.



Namun harus diakui pula, dimensi politis,social,budaya,dan ekonomi telah merasuk begitu jauh ke dalam kasus-kasus pengusiran warga palestina. Itulah yang menyebabkan dalam setiap kasus pengusiran warga palestina selalu rumit dan kompleks. Masalahnya menjadi kait-mengait, termasuk pula kasus pengusiran 415 warga palestina. 

Zionisme dan pengusiran warga P alestina Oleh : Muhammad Ikbar shomi ( mahasiswa ski semester 1)  Elshinta.com Istilah ‘’zionism...

Tak Bisa Lupakan



Tak Bisa Lupakan
Oleh : Ubaidillah

Aku teringat

Takkan kepala ini melupakan
Deburan dan gemericik air yang berpacu di sela-sela batu
Desiran angin yang bermain di helaian daun-daun kelapa dan manggis

Takkan diri ini melupakan
Raungan keras knalpot - knalpot angkot yang berlebihan penumpang
Atau teriakan kernet memanggil bagaikan suara azan

Takkan tubuh ini melupakan
Gelutuk hawa dingin merasuk hingga sumsum
Atau terik matahari membakar kulit yang legam

Aku kembali teringat
Kokok ayam di dini hari
Menandakan malam tinggal separuh
Kokok itu bersaing dengan keruyukan perut tanda lapar

Aku mengingat
Malam pertama kita bertemu
Kau menyambut ku dalam senyap dan basah
Ketika kita mulai berteman dengan renyah
Atau pertemanan kita sedang kusut
Sampai pada akhirnya kita bersimpuh tangis
Aku akan mengingat dan takkan ku lupakan

Aula Insan Cita, Ciputat 2016

Tak Bisa Lupakan Oleh : Ubaidillah Aku teringat Takkan kepala ini melupakan Deburan dan gemericik air yang berpacu di sel...

November 15, 2016

Dialog Anak Manusia

Eps 02


Kalian masih saja begitu, sikap angkuh kalian telah berhasil menguasai. Aku pun heran semakin lama kalian kehilangan kendali, dunia kita semakin semerawut. Aku yakin kamu semakin gusar berteriak sampai urat leher terlihat tegang. Jika aku boleh mengadu, aku ingin bertemu dengan Dia, tapi dengan syarat yang berat karena aku harus pergi ke dunia kamu, barulah aku bisa berdialog dengan Dia sebebas-bebasnya.
Keinginanku bertemu dengan Dia maka harus menggugurkan semua rencanaku untuk mengajak kalian. Sedangkan aku juga tidak bisa menolak jika kamu mengajak aku bertemu dengan Dia, karena sesungguhnya pertemuanku dengan dia telah ditentukan sejak zaman azali.
Aku kira, aku harus menahan emosiku ini, aku tidak harus ikut-ikutan gusar kepada kalian selayaknya kamu gusar kepada kalian. Aku harus mengkalian, aku harus tinggal bersama kalian. Aku tidak bisa memaksa kalian sekehendak. Aku berusaha untuk menenggelamkan diri pada kehidupan kalian.
Aku wajib tenggelam bersama kalian, tenggelamnya aku bukan untuk melebur lalu hilang, tapi aku tenggelam untuk nantinya aku bisa mengangkat kalian sama-sama kedunia kamu.

Tiba-tiba tanpa isyarat hati aku bergetar seketika jiwa ini melayang, entah siapa yang berulah atas semua ini. Tapi aku kira ini ada kaitannya dengan kamu, yang selalu mengikuti kemanapun aku berada. Kamu yang selalu mengikuti aku begitu sayangnya sampai-sampai kamu mengajak aku melayang-layang seperti ini. 

Eps 02 Kalian masih saja begitu, sikap angkuh kalian telah berhasil menguasai. Aku pun heran semakin lama kalian kehilangan kendali, ...

November 11, 2016

AKU DUNIA



AKU DUNIA
Oleh : Arief Muhayyan

   
Aku ini, jiwa ini sunyi sepi tapi bergejolak
Aku ini tanpa suara
Aku ini sunyi, tapi ramai
Kamu dan mereka itu sepi, semu tak berbunyi
Akulah yang membuat ramai, 

karena akulah dunia

Aku ini pasti dan dapat tersentuh, 
kalian itu tidak terlihat

Tapi, aneh memang
Biarkan aku mencari aku, 
karena aku, dunia pasti ramai, 
bergejolak, tapi tanpa suara.

Aku ini tanpa warna, gelap, 
tapi tidak menakutkan
Aku tuli, tapi mendengar
Aku buta, tapi melihat

Aneh bukan? 

Aku melihat gelap, aku mendengar sunyi
Kamu, kalian, tidak ada, 
hanya aku yang ada. 

Karena aku dunia.

AKU DUNIA Oleh : Arief Muhayyan Dream.co.      Aku ini, jiwa ini sunyi sepi tapi bergejolak Aku ini tanpa suara Aku ini...

November 10, 2016

PERAN MAHASISWA DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI DAN RELEVANSINYA TERHADAP CITA-CITA REFORMASI




sumber gambar:
http://www.srikandipp.com/wp-content/uploads/ILUSTRASI-GM-640x400.jpg

Oleh: Andhika Ripwan Saputra, Achmad Furqon Karim, Ni’am Habibi

Pendahuluan

            Di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, potensi kekuatan masyarakat telah mengalami pengendalian luar biasa melalui berbagai bentuk represi dan kooptasi. Dalam berbagai sektor kehidupan, partisipasi masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan negara yang menyangkut nasib mereka amat dibatasi. Partisipasi politik yang dilakukan oleh penguasa lebih cenderung – meminjam istilah Hutington dan Nelson – memakai model partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation), dan bukan sebagai partisipasi yang bersifat otonom (outonomous participation).[1]
            Hampir seluruh elemen-elemen potensil yang menjadi basis pertumbuhan masyarakat cenderung diarahkan hanya untuk menjadi sekrup mesin politik, yang hanya patuh terhadap kebijakan negara. Dalam konteks demokrasi pada tingkat formal atau pemilihan umum, masyarakat direkayasa sedemikian mungkin hanya menjadi alat pengabsahan, sedangkan pemenangnya sudah dapat dipastikan.[2]
            Namun tanpa disadari rezim Orde Baru juga termakan tindakannya sendiri, ia mengabaikan gejolak kesadaran politik dalam masyarakat. Sebagai dampak dari moderenisasi pembangunan dalam berbagai sektor khususnya pendidikan, yang dijalankan selama sekian puluh tahun dan telah melahirkan angkatan terdidik dalam jumlah besar.[3]
Hal tersebut yang menurut penulis menjadi langkah awal terciptanya golongan oposisi dalam usaha membebaskan diri dari dominasi negara yang dikuasai rezim Orde Baru yang cenderung menjadi kekuatan hegemoni yang menguasai masyarakat. Dalam konteks ini, istilah masyarakat madani menjadi sangat popular, konsep yang dirancang oleh golongan oposisi ini dianggap dapat memenuhi harapan masyarakat Indonesia di masa depan. Karena bebas dari intervensi pemerintah, memiliki kemandirian, menghargai HAM, bebas dari rasa takut, menghargai pluralisme, egaliter dan demokratis.[4]
Michael van Lengenberg mendefinisikan masyarakat madani sebagai wilayah-wilayah yang terdiri dari kelompok-kelompok dan perkumpulan-perkumpulan pendidikan, tenaga kerja, pebisnis, organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, kelompok lokal, keluarga, dan kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat.[5] Namun, dalam makalah ini penulis ingin menjelaskan peran dari kelompok pendidikan yakni mahasiswa.
Kita tidak bisa mengelak bahwasanya rezim Orde Baru dilengserkan dengan kekuatan Student Power yang mayoritasnya adalah mahasiswa Islam.[6] Solidaritas mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus (BEM) menjadi ujung tombak dari perlawanan masyarakat terhadap rezim saat itu. Gerakannya lebih bersifat praktis yaitu dengan memobilisasi massa dan melakukan serangkaian aksi terutama pada detik-detik penyelenggaran sidang istimewa. Aksi tersebut merupakan reaksi dari banyaknya penyimpangan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Adapun inti tuntutan yang mereka ajukan adalah desakan untuk melakukan reformasi politik, ekonomi, dan hukum.
Makalah ini ingin mencoba menjawab bagaimana peranan mahasiswa dalam membangun kesadaran mewujudkan konsep masyarakat madani? Kemudian juga ingin menjawab berbagai tuntutan sebagai upaya mereformasi sistem pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945? Selain itu juga ingin menjelaskan serangkaian aksi yang dilakukan dalam upaya meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru? Pertanyaan ini perlu dijawab guna memberikan informasi bagi pembaca yang selama ini mempertanyakan peranan mahasiswa dalam meruntuhkan kekuasaan Orde Baru sebagai upaya mewujudkan konsep masyarakat madani.

Membangkitkan Kesadaran

            Agenda utama bangsa ini, bukanlah masalah integrasi atau disintegrasi, karena masalah ini akan terpecahkan dengan sendirinya ketika negara mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan kepada warganya, menjamin terpenuhnya kehormatan diri dan hak-hak warga negaranya, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Menjamin adanya pemerataan rezeki serta tidak lagi menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik, yang mengekang setiap daerah untuk mengoptimalkan potensi yang mereka miliki.
            Akan tetapi agenda bangsa ini adalah bagaimana ke depan bisa tercipta masyarakat yang berdaya, sebuah civil society atau lebih dikenal masyarakat madani. Ini penting menjadi solusi karena bangsa ini sudah terlalu lama dikuasai oleh negara yang begitu kuat namun tanpa kontrol, yang senantiasa melakukan pembodohan untuk mempertahankan kekuasaanya, yang akhirnya membawa penderitaan yang berkepanjangan.
            Terciptanya masyarakat yang berdaya akan membangun sebuah bargaining position atau daya tawar masyarakat yang proporsional, baik secara politis maupun ekonomois, terhadap negara.[7] Oleh sebab itu perlulah ada upaya untuk pembentukan civil society guna membangkitkan iklim kesadaran dan membangun masyarakat yang aktif.
            Ada beberapa hal yang bisa diperjuangkan bersama oleh seluruh kekuatan pro-demokrasi di Indonesia dalam membangun masyarakat madani, terlepas dari adanya beberapa perbedaan di antara mereka.
            Pertama, penurunan peran sosial-politik-militer. Yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa konsep masyarakat sipil tidak berarti masyarakat tanpa militer, tetapi adalah bagaimana mengarahkan militer kepada wilayah yang semestinya.[8]
            Kedua, penegakkan HAM dan hukum yang tegas berlandaskan prinsip keadilan. Dengan demikian, tuntutan untuk mengusut secara tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM dan hokum yang pernah terjadi di Indonesia menjadi mutlak harus dipisahkan. Sebagai jaminan agar pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak pernah terlulang kembali, kemudian perlu pula perubahan aturan hukum guna menegakkan prinsip keadilan.[9]
            Ketiga, pemilu yang jujur dan adil, tidak diskriminatif, dan tidak provokatif. Ini penting Karena jika inti dari demokrasi adalah pemilu, berarti titik kritis dalam proses transisi menuju demokrasi adalah digantikannya pemerintah yang tidak diplih oleh rakyat dalam suatu pemilu dengan pemerintahan yang dipilih melalui pemilu yang luber dan jurdil.[10]
            Memang harus diakui untuk membangkitkan kesadaran masyarakat di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Terlebih peran mahasiswa pada rezim Orde Baru yang mengalami kemerosotan akibat tindakan represifnya, membuat upaya yang dilakukan acapkali berhenti di tengah jalan. Namun, perlu diketahui bahwasanya gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa sangat di dukung oleh elemen masyarakat yang merindukan demokrasi yang sebenarnya.

Tuntutan Reformasi
            Berlainan dengan angkatan sebelumnya[11], gerakan politik-moral mahasiswa angkatan 1998 dilatari oleh dadakan krisis ekonomi-politik, setelah itu keberhasilan pembangunan selama tiga dekade. Krisis itu menimbulkan keprihatinan masyarakat luas, upaya gerakan mahasiswa yang berakar pada terkooptasinya masyarakat oleh penguasa, untuk menjaga tuntutan mereka yang mendasar.[12] Reformasi menyeluruh menjadi kehendak mahasiswa, Karena krisis yang dihadapi sudah berakar dan berakibat pada segenap aspek kehidupan, yakni sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Sejumlah tema yang diangkat oleh gerakan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa dapat dijadikan tolak ukur sehubungan dengan kasus-kasus kebijakan pemerintah yang perlu mendapatkan koreksi. Sebagaimana telah sering dinyatakan, ada enam visi reformasi yang disuarakan mahasiswa yang secara langsung menjadi isu public, yaitu:

  1. Penghapusan dwi fungsi TNI/Polri,
  2.  Pemberantasan KKN,
  3.  Pelaksanaan otonomi daerah,
  4.  Amandemen UUD 1945
  5.  Penegakkan supremasi hukum, 
  6.   Dan pembudayaan demokrasi.[13]

Menurut penulis untuk mendukung program reformasi di atas, diperlukan masyarakat sipil yang partisipatif. Maksudnya segenap golongan dan kelompok masyarakat, baik induvidu maupun yang terorganisir dan terlembaga, mempunyai kebebasan dan kemandirian untuk mengurus dirinya sendiri. Campur tangan penguasa dan pemerintah ke dalam kehidupan mereka hanya berlangsung sementara, sisanya merekalah yang menentukan.
Kuatnya masyarakat sipil, di satu pihak, meringankan beban pemerintah, karena masyarakat memenuhi kebutuhannya sendiri seoptimal mungkin. Di lain pihak, kondisi masyarakat itu menjamin pemerintah terhindar dari kelemahan dan kesalahan, karena secara terus-menerus diarahkan dan diawasi oleh masyarakat.[14]

Fase-Fase Gerakan Mahasiswa 1998

Pada masa reformasi terjadi gerakan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia pada tahun 1998. Sedikitnya ada empat periodisasi gerakan mahasiswa, periodisasi ini dibuat pada saat momentum yang penting, yaitu:
Periode pertama, terjadi sebelum tanggal 1 Maret 1998. Isu yang ditampilkan tidak menyangkut substansi reformasi melainkan melihat kondisi aktual pada saat itu. Rakyat Indonesia benar-benar menderita dengan terjadinya kelaparan di Irian Jaya, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, harga bahan-bahan pokok melambung tinggi. Dalam melakukan aksinya mahasiswa memiliki modus opera yang sama, yaitu mimbar bebas, mereka melakukan atraksi budaya untuk menyindir situasi negara serta melakukan aksi jalan keliling kampus.
Periodisasi kedua berlangsung pada tanggal 12 Maret-12 Mei 1998. Isu-isu yang dimunculkan berkenaan dengan tidak kredibelnya kabinet pembangunan karena dinilai penuh sarat nepotisme. Periode ini juga ditandai dengan kejenuhan mahasiswa dalam melakukan aksi di dalam kampus sehingga mahasiswa berdemonstrasi di luar kampus. Demonstrasi terbesar pada periode ini terjadi di kampus Universitas Sumatera Utara (USU). Isu lain periode ini yaitu adanya penculikan di kalangan aktivis.
Periodisasi ketiga berlangsung pada tanggal 12 Mei 1998 peristiwa Insiden penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti yang berujung kepada kematian. Peristiwa ini membangkitkan kesadaaran dari kalangan mahasiswa dan diyakini sebagai katalisator gerakan mahasiswa. Isu yang diteriakan yaitu tuntutan agar Soeharto turun dari jabatan Presiden. Periode ini juga ditandai oleh gerakan mahasiswa yang menguasai gedung MPR/DPR pada tanggal 18-22 Mei 1998.
Perioisasi empat berlangsung pada tanggal 22 Mei-September 1998. Periode ini ditandai kembalinya mahasiswa ke kampus masing-masing setelah Soeharto turun dari kursi kepemimpinan.[15]




Kesimpulan

Sebagai director of change mahasiswa harus mengedepankan kepentingan rakyat dan visi yang cerdas serta jauh ke depan, sasaran tembak mereka bukan hanya pemerintah, tetapi dalang di balik panggung sosial-politik Indonesia. Kalau tidak dengan cara demikian, mahasiswa hanya menjadi salah satu pemeran di panggung politik nasional. Seandainya mereka teguh di belakang panggung, mereka terus menjaga ke-independensiannya tentu mereka dapat menuntut para aktor panggung semisal pemerintah, ABRI, para tokoh oposisi dan tokoh masyarakat, serta pers yang membuat tampilan negara ini seperti kapal pecah.
Dalam posisi dan agenda besar inilah, mahasiswa diharapkan mampu menampilkan kembali kekuatannya sebagai wujud tanggung jawab moral yang berpihak kepada kebaikan rakyat. Oreintasi inilah yang akan tetap menjaga eksistensi peran mahasiswa dalam panggung nasional. Dengan begitu, mahasiswa akan lebih berperan sebagai seorang negarawan yang mengontrol dan mengarahkan perubahan, bukan sebagai politisi yang hanya mengedepankan agenda politik yang penuh dengan kepentingan.



Daftar Pustaka

Fahruz Z. F dan Zon, Fadli. 1999. Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung: Pustaka Hidayah.
Madjid, Nurcholish. 1999. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Hutington P. Samuel dan Nelson J. M. 1975. No Easy Choice: Political Partisipation in Developing Countries. Harvard.
Soemarjan, Selo. 1999. kisah perjuangan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Culla A Suryadi. 2002. Masyarakat madani: pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
MD Maruto dan WMK Anwari. 2002. Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES.
J.A. Denny. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an. Yogyakarta: LKIS.
Madjid, Nurcholish dan Oetama, Jakob. 1994. Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Latif, Yudhi dan Subandy, Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.
Yudhoyono, S. B. 1999. Peran ABRI Pasca-Pemilu 1999, Bandung: SESKOABRI
Mansur, Ahmad S. 2014. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani.



[1] Samuel P.Hutington dan Joan M.Nelson, No Easy Choice: Political Partisipation in Developing Countries, Harvard, 1975, hal. 4-10.
[2] Adi Suryadi Culla, Masyarakat madani: pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 214.
[3] Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2002, hal 155.
[4] Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999, hal. 158-159.
[5] Lihat Michael van Langenber, “The New Order State: Language, Ideology, Hegemony” dalam Yudi Latif dan Idy Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996, hal. 223-245.
[6] Ahmad Mansur S, Api Sejarah 2, Bandung: Salamadani, 2014, hal 532.
[7] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 137.
[8] Susilo Bambang Yudhoyono, Peran ABRI Pasca-Pemilu 1999, Bandung: SESKOABRI, 1999, hal. 44-51.
[9] Nurcholis Madjid dan Jakob Oetama, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994, hal. 123.
[10] Ibid, hal. 156.
[11] Maksudnya adalah angkatan ’66, isu yang dilemparkan saat itu adalah aksi nasional. Yaitu Tritura: bubarkan PKI, rombak cabinet dan turunkan harga. Lebih jauh lagi, aksi protes ini mengarah kepada struktur kekuasaan pusat yaitu presiden Soekarno. Lihat Denny J.A, Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an, Yogyakarta: LKIS, 2006, hal. 80.
[12] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 77
[13] Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2002, hal 115.
[14] Fahruz Z. F dan Fadli Zon, Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 80
[15] Prof. Dr. Selo Soemarjan, kisah perjuangan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal. 141-149.


[full-width]

sumber gambar: http://www.srikandipp.com/wp-content/uploads/ILUSTRASI-GM-640x400.jpg Oleh: Andhika Ripwan Saputra, Achmad F...