SEJARAH MARITIM
PERDAGANGAN CINA PESISIR UTARA JAWA TIMUR
SEKITAR ABAD XVIII
BAB I
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara besar
yang terdiri dari banyak etnis yang tersebar di 17.508 pulau. Sejarah telah
mencatat bahwa sudah sejak sebelum masehi Indonesia banyak dikunjungi oleh
bangsa-bangsa lain seperti Arab, India, dan Cina, mereka datang keIndonesia
atau yang dulu disebut dengan Jawa Dwipa untuk berdagang dan mencari bahan
mentah seperti rempah-rempah yang terdapat dipulau-pulau Indonesia untuk diolah
dan kemudian digunakan atau diperdagangkan kembali.
Cina adalah salah satu yang paling
tinggi intensitasnya dalam berinteraksi dengan Indonesia hingga sampai sekarang
jejak-jejak mereka masih ada dan bahkan telah berasimilasi dengan bangsa
Indonesia. Orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari suku-bangsa dari
dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Gelombang migrasi orang Tionghoa
ke-Indonesia yang terbesar terjadi pada abad ke-16 sampai akhir abad ke-19 berasal
dari suku Hoekkien Propinsi Fukien bagian Selatan. Suku-bangsa dari daerah
inilah yang berperan penting dalam pertumbuhan perdagangan Cina ke sebrang
laut. Selain suku Hoekkien ada tiga suku lainnya yang ada di Indonesia yaitu,
Teo-Chiu, Hakka dan Kanton (Kwong Fu).
Aktifitas orang-orang Cina di
Indonesia dalam perdagangan merupakan bagian dari sejarah besar Indonesia yang
berhasil mempengaruhi perekonomian negara sampai sekarang. Data demografi orang
Tionghoa di Indonesia pada tahun 1961 berjumlah kira-kira 2 1/2
juta
orang dan tersebar di Jawa-Madura, Sumatra, Kalimantan, dan daerah lainnya. Pesatnya pertumbuhan Tionghoa di Indonesia inilah yang menyebabkan penulis
tertarik untuk meneliti aktifitas orang Tionghoa. Tapi penulis membatasi daerah
pengamatan penulis hanya di bagian pantai utara Jawa Timur (Tuban, Gresik, Surabaya,
Pasuruan, dan Probolinggo).
Secara garis besar makalah ini akan
mendeskripsikan dinamika perekonomian orang-orang Cina di pantai Utara Jawa
Timur. Untuk lebih spesifiknya dalam makalah ini akan memfokuskan kajian pada
(1) Bagaimana proses terbentuknya komunitas Cina di pantai Utara Jawa Timur dan
(2) bagaimana interaksi sosial dan ekonomi orang Cina dengan pribumi dan
pemerintah.
BAB II
A.
Periode
Awal Hubungan Cina Dengan Nusantara Sampai Abad Ke-XV
Pada
masa awal kontak Cina dengan dunia bagian yang sekarang kita kenal dengan Asia Tenggara
terjadi melalui jalur darat, jalur ini diutamakan sebagai jalur perdagangan.
Sejak abad ke-2 SM, Cina memiliki rute perdagangan dari Yunnan dengan lembah
Irrawaddy dan Salween Perdagangan itu dilakukan dengan cara
berkelompok atau kafilah mealui jalur-jalur darat yang telah ditentukan, namun
dengan cara berdagang seperti itu mengalami ancaman dari suku-suku sekitar,
ancaman yang didapatkan seperti penrampokan sehingga seringkali cara seperti
ini dianggap memiliki resiko tinggi, yang tak sebanding dengan modal yang
dikeluarkan untuk berdagang.
Perkembangan
perdagangan melalui jalur Cina dimasa awal berjalan lamban, minimnya dukungan
dari istana Han adalah faktor penyebab para pedagang Cina enggan membuka jalur
laut. Hanya pedagang dari pelabuhan Cina Selatan yang berani berayar dengan
menumpang kapal-kapal Asing yang didalamnya ada awak kapal yang berasal dari
Asia Tenggara. Masuknya agama Budhha ke Cina pada abad ke-3 M melahirkan kontak
baru perdagangan melalui jalur laut melalui penziarah Cina yang pada abad ke-5
M dan abad ke-6 mengunjungi tempat suci mereka di India. Penziarah yang
terkenal salah satunya yaitu Yijing (I-Tshing) ia pernah sampai Langkasuka di
Semenanjung Malaya pada 692, para penziarah ini mempelajari bahasa Sanskerta di
sebagian kota-kota pelabuhan di Sumatera. Mereka bermukim selama kurang lebih
satu tahun untuk belajar bahasa sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Dalam
catatan sejarah lain para biksu yang ingin mempelajari Buddha di India mereka
terlebih dahulu bermukim dan belajar dahulu disekitar wilayah kerajaan
Sriwijaya.
Perdagangan
lewat jalur laut semakin intensif dilakukan oleh Cina keberbagai wilayah
khususnya Asia Tenggara dan lebih spesifik ke Nusantara setelah para penziarah
mulai membuka perjalanan melalui jalur laut. Hubungan antara Cina dengan
kerajaan-kerajaan di Nusantara tidak hanya dalam bidang perdagangan melainkan
dalam bidang diplomasi juga kerap dilakukan oleh Cina-Nusantara, seperti dalam
sejarah dinasti Ming, dinasti Ming melakukan hubungan dengan kerajaan
San-Bo-Tsai yang terletak di bagian Timur Sumatera yang diidentifikasi sebagai
Palembang. Dalam
catatan Ma Huan, Ying-Yai Sheng-Lan melaporkan bahwa Cina melakukan ekspedisi sejak
pemerintahan Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng-Ho, ekpedisi
Cheng-Ho terjadi pada tahun berikut (1405-1407, 1407-1409, 1409-1411,
1413-1415, 1417-1419, 1421-1422, 1431-1433). Daearah yang pernah disinggahi oleh Laksama
Cheng-Ho dalam ekpedisinya adalah, Palembang, Campa, Kelantan, Pahang, Malaka,
Aru, Samudera, Lambri, ceylon, Kayal, Maladewa, Cochin, Kalikut, Hormuz, Jawa.
Dalam
hubungannya dengan Jawa laporan Ma Huan memberikan informasi bahwa Laksamana
Cheng-Ho pernah melakukan kunjungan ke pesisir utara Jawa Timur seperti, Tuban,
Sedayu, dan Gresik untuk mengunjungi komunitas Cina-Muslim didaerah ini.
Kunjungan Cheng-Ho ke daerah ini mengindikasikan bahwa telah ada kantung
pemukiman orang-orang Cina di daerah pesisir utara Jawa Timur sebelum abad
ke-15. Sebelum abad ke-15 tepatnya pada tahun 1370 sampai akhir abad ke-15
perekonomian Jawa di kuasai oleh Majapahit dan tentunya memiliki hubungan
dengan Cina.
B.
Pesisir
Jawa utara Jawa Timur Abad Ke XVII
Laut
Jawa menurut Kenneth R Hall, masuk
kedalam lima zona maritim Asia yang berpengaruh dalam perdagangan di
negara-negara Asia, empat lainnya adalah Teluk Bengal, Selat Malaka, Laut
China, Laut Sulu. Jaringan perdagangan maritim Laut Jawa meliputi Nusa Tenggara (Selat Sunda),
Maluku, Timor, Pantai Barat Kalimantan, Jawa, dan sebagian Sumatra. Secara geografis
Jawa Timur berada di 60 45 LS dan 80 45 LS anatara 1100
52 BT dan 1140 30 BT. Perdagangan
Cina dengan Indonesia dilakukan dengan cara pembelian dan penjualan kargo
bongkar muat yang bertujuan ke atau berasal dari pasar-paar asing atau penjualan produk-produk
lokal. Barang dagangan yang dibawa Cina ke Indonesia sangat disenangi oleh
orang pribumi untuk kepentingan prestise kalangan menengah dan atas,
barang-barang yang dijual adalah
porselain, piring, mangkuk, cangkir, guci, jambangan dan sebagainya.
Barang-barang lokal yang diekspor adalah, rempah-rempah, cendana, emas,
tekstil, perak, besi, tembaga, hasil pertanian dan binatang.
Sepanjang
pesisir pantai pulau Jawa orang-orang Cina mempunyai kedudukan yang penting di
daerah itu dan telah terjadi perkawinan antara orang Cina dengan Pribumi.
Adapun pusat-pusat kegiatan perdagangan Cina di Jawa Timur terletak di Tuban,
Lamongan, Sedayu, Surabaya, Gresik, Pasuruan, dan Probolinggo. Saat itu para
pedagang dan pengusaha pesisir memang kebanyakan dari kalangan keturunan Cina,
sebab pada saat itu mulai bermunculan kapitalis Cina. Dalam menempati posisi
yang penting dan strategis orang-orang Cina tidak dapat terlepas dari peran
Bupati setempat dilain pihak pada abad XVIII atau pasca perjanjian Giyanti VOC
sudah memiliki kedudukan yang kuat dipesisir utara Jawa. Setelah wilayah pantai
utara Jawa diberikan kepada VOC oleh Pakubuwono II maka terbentuklah jaringan
perdagangan antara bupati pesisir, VOC dan orang-orang Cina. Hubungan
perdagangan yang terjadi tentunya dipengaruhi juga oleh jumlah penduduk yang
ada pada saat itu, jumlah penduduk di Jawa tidak dapet dihitung secara pasti
jumlahnya kira-kira 3.000.000 jiwa, karena faktor jumlah penduduk menentukan
barang yang akan didistribusikan untuk dikonsumsi.
Dari
sekian banyak kota pelabuhan yang ada di pantai utara Jawa Timur dan Madura,
dalam perkembangannya ada tiga yang menjadi bandar besar yaitu, Tuban, Gresik
dan Jaratan, karena letaknya yang tepat di tepi jalur besar perdagangan yang
memanjang dari Malaka ke Maluku, dan letak
geografis ketiga bandar itu merupakan pertemuan jalur laut yang
menyusuri Pesisir Utara dan Selatan pulau Madura serta jalur laut yang
memanjang menyusuri pantai ujung Jawa Timur. Dalam menjalankan fungsinya
sebagai bandar tiga bandar tadi dan pelabuhan-pelabuhan yang ada di pantai
Utara berkaitan erat dengan jalur sungai Bengawan Solo dan sungai Brantas
karena jalur ini menghubungkan daerah-daerah pedalaman ke daerah pantai atau
kota pelabuhan dengan membawa barang dagangan dari daerah pedalaman.
Dalam
bahasan awal makalah ini tidak hanya membahas tiga bandar besar tadi namun akan
membahasa pelabuhan-pelabuhan lain yang ada di pantai Utara Jawa Timur
diantaranya adalah, Tuban, Gresik, Surabaya, Pasuruan dan. Probolinggo Sebagai
berikut akan dijelaskan secara umum kondisi sosial pelabuhan tersebut.
Tuban
Tuban adalah salah satu pelabuhan besar
sejak aba ke-11 banyak dikunjungi kapal-kapal asing namun sejak abad ke-16
kapal-kapal mulai berkurang yang berlabuh dipelabuhan ini. Pada abad ke-16
kapal-kapal lebih sering berlabuh di pelabuhan Gresik dari pada di Tuban.
Sumber sejarah tidak memberitahukan penyebab apa yang melatarbelakangi
kapal-kapal lebih suka berlabuh di Gresik, pada ketika itu Tuban menggunakan
kekerasan agar ada kapal yang mau berlabuh disana, ada conotoh suatu ketika
kapal dari Banjarmasin menuju Gresik dicegat oleh 3 galai milik Tuban yang
mendapat bantuan dari Arosbaya, pelabuhan yang terletak disebelah Timur dan
pada waktu itu juga bersaing dengan Gresik.
Berita Portugis pada abas XVI memberi
informasi tentang mata pencaharian orang Tuban saat itu ialah, bertani,
berternak, dan menangkap ikan dilaut. Olahan dari itu bisa berupa beras,
ternak, dendeng, ikan kering dan ikan asin. Kapal-kapal dagang yang berlabuh
menambah perbekalannya untuk berlayar. Selain melakukan mata pencaharian yang
disebut tadi, profesi yang lainnya juga muncul seperti orang Tuban melakukan
pembajakan dengan menaiki kapal-kapal kecil, kapal yang berharga muatannya,
seperti rempah-rempah. Kapal-kapal yang di bajak adalah kapal yang mengarungi
laut Jawa menuju ke dan dari jota-kota besar seperti Gresik dan Surabaya.
Tome Pires memberitakan bahwa kota Tuban
dikelilingi oleh pagar dari batu bata merah dan dikelilingi oleh parit disisi lain
tembok dikelilingi oleh pepohonan dan semak belukar. Dalam lingkungan tembok
kota diperkirakan hanya ada 100 keluarga yang diperkirakan setiap keluarga
berjumlah 4 atau lima.sedangkan menurut Valentijn pada abad ke-18 Tuban
memiliki penduduk 5000 keluarga.
Gresik
Sudah sejak lama Gresik menjadi jalur
utama perdagangan di Pulau Jawa, para pedagang melakukan pertukaran barang
antar pedagang, barang yang ditukar adalah rempah-rempah yang ditukar dengan
beras atau pakaian untuk di jual di Jawa. Di Gresik juga banyak pedagang dari
daerah lain yang ingin mengisi kapalnyanya dengan rempah-rempah untuk dibawa ke
Malaka dan India. Gresik merupakan tempat pertama kalinya Islam berkembang di
Jawa.
Menurut berita-berita Cina Gresik
didirikan sebagai pelabuhan pada paruh kedua abad XIV, hal ini menunjukan bahwa
sudah ada orang-orang Cina yang berkunjung dan bahkan tinggal disekitar
pelabuhan Gresik. Berita Belanda tertua juga memberikan informasi bahwa Gresik
dipimpin oleh raja-raja Jawa, dan orang-orang bertingkah menyembah seperti
seorang budak pada tuannya kepada raja. Semasa kerajaan Mataram, Gresik dan
Giri dinyatakan sebagai daerah yang dibebaskan membayar upeti (afdeeling) yang termasuk afdeeling Gresik terdiri dari Kabupaten
Gresik, Kabupaten Sedayu, dan Kabupaten Lamongan, afdeeling ini masuk kepada keresidenan Surabaya.
Surabaya
Surabaya terletak di pesisir Utara Pulau
Jawa, menjadi muara dari Sungai Brantas, daerah pedalamannya yang subur maka
secara geografis Surabaya menjadi tempat yang sangat strategis. Terpecahnya hegemoni Demak pada akhir abad ke-16 mengawali kebangkitan
kerajaan-kerajaan lain di Jawa salah satunya adalah mengawali juga kebangkitan
kota pelabuhan di Surabaya pada awal abad ke-17. Dalam tata letak kota Surabaya Retno Winarni mengatakan dalam bukunnya “Cina
Pesisir, Jaringan Bisnis Orang-rang Cina Di Pesisi Utara Pulau Jawa Sekitar
Abad XVII” sebagai berikut,
Dalam Gijels, “Verhaal”, seperti yang
dikutip oleh De Graaf (1986) terdapat uraian mengenai Surabaya yang cukup
panjang lebar. Disebutkan bahwa lingkaran kota adalah 5 mil. Sebagai pertahanan
separuh kota dikelilingi tembok dan separuh lainnya lagi onggokan tanah.
Selain itu masih dikelilingi parit yang
indah, diantara tembok dan parit berdiri tanggul yang kuat. Pada setiap jarak
tembakan meriam terdapat benteng-benteng kecil berbentuk bujur sangkar, dan
kdang-kadang setiap benteng memiliki 10 atau 12 buah meriam, sebagai alat
pertahanan. Tinggi tembok-tembok itu melebihi dua kali panjang tombak. Jadi
kurang lebih seperti yang terdapat di Jepara, yaitu benteng-benteng kecil
berbentuk bujur sangkar, bangunan benteng di negri Cina. Tiap benteng memiliki
10 atau 12 buah meriam sehingga cukup solid untuk dipertahankan.
Pasuruan
Pasuruan mesuk dalam kategori kota tua
yang seringkali disebutkan oleh naskah klasik dan berbagai prasasti, letak
pasuran yang berada di pantai Utara Jawa menjadikan Pasuran menjadi kota yang
strategis dimasa lampau. Karena letaknya di pesisir Utara Jawa, Pasuruan
menjadi bagian dari sistem perdagangan laut kerajaan-kerajaan pedalaman Jawa.
Pasuruan berhasil ditaklukan oleh Sultan Trenggana dari kerajaan Demak pada
abad 16, dan sejak saat itu terjadi Islamisasi di wilayah ini, wilayah ujung
Jawa Timur menjadi kekuatan Islam yang sangat penting di saat daerah lainnya
masih dalam kekuasaan Hindu.
Probolinggo
Probolinggo dalam catatan kolonial
dikenal dengan nama Banger merupakan salah wilayah di Pesisir Utara Jawa Timur,
sebelum yurisdiksi kompeni (1746) Probolinggo masuk dalam vasal Mataram dan
diperintah oleh seorang bupati yang tunduk pada raja Mataram. Kemudian bersama
pasuruan sejak pertengahan abad XIX Probolinggo dibagi menjadi lima kabupaten
yaitu; Malang, Bangil, Probolinggo, Kraksaan dan Lumajang.
Wilayah Probolinggo ini juga terdapat
kantung-kantung pemukiman banyak etnis diantaranya, Jawa, Madura, Cina, Eropa,
Arab dan budak. Menurut catatan Raffles pada tahun 1815 jumlah penduduk
Probolinggo terdiri dari 5.970 orang Jawa, dan 92 orang Cina. Pada tahun 1830
penduduk Probolinggo bertambah menjadi, 60.746 orang Jawa, 225.470 Madura,
1.035 orang Cina dan Arab, 216 orang Eropa, dan 45 orang budak. Pertambahan
jumlah penduduk ini disebabkan karena dibukanya Probolinggo sebagai perkebunan
tebu bersama pasuruan.
C.
Komunitas
Cina di Pesisir Utara Jawa Timur
Catatan
sejarah terkait dengan kedatangan Cina ke Jawa masih menjadi perdebatan para
sejarawan, kepustakaan tentang sejarah Jawa menyatakan bahwa orang-orang Cina
yang pertama kali adalah Buddha Fa Hsien. Fa Hsien dalam lawatannya kembali
dari India dalam ranka mengumpulkan naskah-naskah asli Buddha, kapalnya
kecelakaan dan ia terdampar di suatu negri bernama Yeh-Po-t’i (Yawadwipa) oleh beberapa sejarawan diinterpretasikan
sebagai Jawa. Fa Hsien mengatakan bahwa tempat yang singgahi adalah hidup
dimana ada orang-orang murtad dan Brahmana. Menurut Groneveld tempat itu adalah
Mendang daerah Rembang sekarang tempat pemukiman Hindu pertama sekaligus tempat
kontak pertama antara Hindu dengan Jawa. Sinolog Prancis menyimpulkan bahwa pada awal masehi sudah ada hubungan
antara Nusantara dengan Cina, namun belum untuk kontak antara Jawa dengan Cina
belum bisa dipastikan.
Hingga catatan yang lebih jelas tentang
adanya orang-orang Cina di Jawa adalah pada masa kejayaan Majapahit yaitu pada
abad ke-XIV. Pada saat itu hubungan Majapahit telah terjalin dengan orang-orang
Cina pada zaman Dinasti Yuan yang dikuasai oleh bangsa Mongol. Pada tahun 1368
M Dinasti Yuan berhasi digulingkan dan sejak saat itu Dinasti Ming lahir dan
berkuasa sejak tahun 1368-1644 Masehi, dan Kaisar pertamanya adalah Zhu Yuanzhang. Setelah menggulingkan
Dinasti Yuan dan berhasil menyatukan Cina kembali pada tahun 1369 M, Kaisar Zhu
Yuanzhang mengirimkan diplomat yaitu Wu
Yong dan Yang Zhonglu ke Kerajaan
Majapahit yang mengemban misi untuk memberitahukan berita tentang jatuhnya
Dinasti Yuan dan mengantarkan pulang utusan Majapahit yang ada di Cina sejak
masa Yuan. Utusan Kaisar ini membawa hadiah untuk raja Majapahit yaitu,sutra
halus, kain wol, dan sutra bersulamkan emas, pertanda terimaksih kepada
Kerajaan Majapahit dan sejak saat itu hubungan antara Cina dan Majapahit dalam
hal diplomasi semakin erat.
Hubungan diplomasi antara Dinasti Ming
dengan Majapahit yang semakin erat menyebabkan hubungan yang lain pun ikut
membaik, seperti hubungan perdagangan, sehingga timbul pemukiman Cina di
wilayah Majapahit. Mereka mengawini pribumi hingga terjadilah silang budaya
antara pribumi dengan orang Cina. Ketika silang budaya ini terjadi maka posisi
dalam hal profesi ataupun strata sosial turut diisi oleh orang asli Cina,
peranakan Cina dan Pribumi.
Ketertarikan orang Cina meningkat ketika
VOC melakukan usaha perdagangan di Jawa, Diansti Ming jatuh pada tahun 1644 M,
dan dibukanya kembali perdagangan Cina dan wilayah-wilayah Asia tenggara pada
tahun 1683, sebagai keberhasilan peperangan yang dilancarkan Ching di Formusa
sehingga menciptkan keadan-keadaan menguntungkan bagi para migran dari provinsi-provinsi dekat
pantai yang terletak dibagian selat daratan Cina terutama orang-orang Hoakio
yang berasal dari Provinsi Fukkien dan orang-orang Kwang Fu (Kanton). Pada
tahun 1720 ada sekitar 100.000 orang cina di Jawa dan yang bermukim di Batavia
ada sekitar 80.000 orang. Di Pesisir Utara Jawa Timur pada tahun 1691 orang
Cina ditemukan di Jepara sebanyak 247 laki-laki dewasa dengan keluarganya, di
Semarang ada 154 orang, rembang 122 orang, dan Surabaya 76 orang. Pada tahun
1740 Residen Belanda di Semarang memperkirakan orang Cina laki-laki dewasa di
Pesisir Utara Jawa mencapai 5.000 orang.
Pada awalnya Belanda memberikan sambutan
baik pada kedatangan imigran Cina ke Jawa. Bahkan orang-orang Cina menikmati
banyak kemudahan dari Belanda, mereka dihormati sebagai penduduk yang penuh
kesungguha dan rajin. Karena hal-hal yang tadi disebutkan maka orang-orang Cina
pun menyebar luar di Jawa. Berkat keteltian dan keuletan orang-orang Cina pada
fase selanjutnya berhasil menempati tempat-tempat strategis didaerahnya. Mereka
dekat dengan pribumi dan orang Eropa. Selain menempati posisi strategis dalam
bidang pemerintahan mereka juga berhasil mengembangkan usahanya dalam
pengolahan tebu tidak ada sepanjang pesisir Utara Jawa pabrik tebu yang bukan
milik dari kalangan mereka.
D.
Perekonomian
Orang-orang Cina di Pesisir
Para imigran Cina pada masa VOC memainkan
peran penting dalam perdagangan. Orang-orang Cina pada umumnya menjadi
perantara yang memiliki fungsi sebagai, pembeli, pengolah, importir, pemborong,
dan distributor. Pada zaman VOC orang-orang Cina menjadi penghubung antara
pribumi dengan VOC. Orang-orang Cina yang memegang otoritas moneter membuat dan
menyebarkan mata uang picis, yaitu mata uang yang terbuat dari tinta hitam.
Sedangkan Belanda memainkan perannya dalam mengendalikan bahan baku pembuat uang
dan kurs mata uangnya dengan hal ini maka hal ini memaksa orang-orang Cina
hanya melakukan perdagangan dengan VOC.
Trade
Diaspora, adalah istilah untuk hubungan yang dijalin antar etnis yang sama.
Hal inipun terjadi pada Cina, pada saat terjadi gelombang imigrasi
besar-besaran pada thaun 1680-an. Etnis Cina menjalin hubungan antar etnisnya
sendiri. para pedagagang Cina baik pedagang besar ataupun kecil umumnya
menggunakan modal pribadi atau pinjaman dari keluarganya yang kadang-kadang
berbunga besar. Para pedagang kecilah umumnya yang meminjam modal kepada
golongan etnis yang sama atau keluarganya dengan cara saling mempercayai satu
sama lain. Selain itu pedagang kecil Cina juga meminjam dari luar etnisnya,
seperti meminjam pada pejabat ataupun bupati, dalam hal ini dia berdagang
atsnama sang pemilik modal. Barang-barang yang didagangkan oleh orang Cina
meliputi, beras, kayu jati, candu, gula jawa, tekstil dari India, garam dan
barang-barang dagangan yang lain. Sistem yang dipakai adalah penjualan kargo bongkar
muat yang bertujuan ke atau berasal dari
pasar-paar asing atau penjualan produk-produk lokal, dan cakupan
jangkaun perdagangannya adalah, regional, interregional, atau antar pulau.
E.
Kesimpulan
Hubungan
yang terjadi antara Cina dengan Indonesia atau lebih spesifik dengan Jawa telah
terjadi lama sekali ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Faktor ekonomi,
politik, sosial, dan budaya adalah yang melatarbelakangi hubungan ini semua.
Namun pada makalah ini penulis lebih memfokuskan pada faktor ekonomi dengan
alasan ekonomi orang Cina hingga saat ini masih mendominasi di Indonesia, serta
ekonmiah yang berhasil membangun peradaban. Tentunya Cina tidak sendiri dalam
melakukan motif ekonomi di Jawa ini, banyak dari etnis lain seperti arab dan
Eropa yang tidak bisa terlepas dari sejarah ekonomi Indonesia. Dalam sejarah
ekonomi yang dilakoni oleh Cina tidak bisa lepas dari alat transportasi yang
digunakan untuk membeli dan menjual barang, alat tranportasi yang efektif pada
masanya adalah kapal-kapal laut, sehingga hal ini bersinggungan langsung dengan
kajian sejarah maritim. Sehingga pada akhirnya komplesitas kajian sejarah
maritim bisa di urai sesuai bidang kajiannya dan memudahkan kita untuk
mempelajari sejarah maritim.
Daftar
Pustaka
Vasanty, Puspa. (ed)
Koentjaraningrat, 1970, “Kebudayaan
Orang Tionghoa Di Indonesia” Manusia dan
Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Winarni, Retno. 2009, Cina Pesisir Jaringan Bisnis Orang-orang Cina di Pesisir Utara
Jawa Timur Sekitar Abad XVII, Denpasar: Pustaka Larasan.
M.C. Ricklefs et al., 2013, Sejarah
Asia Tenggara Dari Masa Presejarah sampai Kontemporer, Jakarta: Komunitas
Bambu.
Sulistyono, Singgih Tri. 2004, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, jakarta, Program Hibah Penulisan Buku
Teks 2004, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional.
Azra, Azyumardi. 2013, jaringan
Ulama Tengah dan Kepulaun Nusantara Abad XVII&XVIII, Jakarta: Kencana.
Tjandrasasmita, Uka. 2009, Arkeologi
Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Rahman,Abd. 2013, Sejarah Maritim Indonesia, Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Pieter Creutzberg dan J.T.M Van
Laanen. Sejarah Statistik Ekonomi
Indonesia, Jakarta: Buku Obor.
Prof. H. M. Hembing Wijayakusuma.
2005, Pembantain Massal 1740 Tragedi
Perang Berdarah Angke, Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Lombard,Denys.
2008, Nusa Jawa Silang Budaya : Asia
Tenggara, Jakarta: Gramedia Pustaka utama.
[full_width]
No comments:
Post a Comment