November 14, 2017

Resume Buku Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje

Resume Buku Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje
Oleh: Ubaidillah 

  
1.     PERANG ACEH PERTAMA 1873
Petualangan-Petualangan di Nusantara
Sumatera adalah daerah yang selalu terjadi kerusuhan, tidak seorang pun yang menyangsikan bahwa Sumatera adalah pulau dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang tanpa diketahui. Maka tidak salah seorang Raffles yang mempunyai daya fantasi yang tinggi dan juga seorang Inggris yang begitu bernafsu masuk ke dalam rimba ini. Nafsunya timbul karena ingin balas dendam.  Pada tahun 1817, untuk menghibur hati karena kehilangan kekuasaannya terhadap Jawa, yang telah dikembalikan  Inggris bersama dengan sisa wilayah kompeni lama kepada Belanda, dia diangkat menjadi gubernur Bengkulu. Bagian Sumatera yang tidak berarti ini memang sudah sejak dulu diakui sebagai milik Inggris. Tapi benteng Marlborough tidaklah sampai begitu ambruk , karena dapat digunakan Raffles markas besar. Dan dari sini mulai nyatalah tuntutan Inggris yang tidak berdasar atas bagian-bagian Sumatera yang lain dan atas pulau-pulau di sekitarnya. Selat Malaka dan Selat Sunda, satu-satunya jalan laut antara Asia Selatan dan Asia Timur, harus aman berada dalam tangan Inggris.
Perdagangan berkembang pesat di Indonesia/Hindia, hingga terciptalah pusat perbelanjaan bebas dalam suatu wilayah yang penuh dengan monopoli dan cukai-cukai istimewa. Raffles membujuk para pengusaha Inggris dari Madras dan Bombay untuk bermukim di Singapura. Orang-orang Cina banyak berdatangan dengan sendirinya.
Ketika pada tahun 1824, Belanda dan Inggris dalam traktat London menyelesaikan semua persengketaan akibat serah terima jajahan tahun 1816, Bengkulu pun ditukar dengan pangkalan Kompeni Belanda, yaitu Malaka yang sudah hancur. Inggris melepaskan semua tuntutannya kepada Sumatera, Raffles kehilangan jabatan pemerintahannya yang terakhir dan kembali ke Inggris. Pemerintah di Den Haag telah berjanji bahwa dalam usaha perluasaan kekuasaan selanjutnya di Sumatera tidak akan mengusik kemerdekaan Aceh.
Sesudah tahun 1831 keadaannya lain. Ketika itu Prancis membutuhkan serdadu demikian banyak untuk perang kolonialnya di Afrika Utara, sehingga Kantor Pengerahan Kolonial di Harderwijk sulit mendapat pemuda Prancis untuk masuk dinas militer. Marseille mempunyai kantor pengerahannya sendiri untuk suatu legion asing dan mereka ini terdiri dari anak-anak petani yang berasal dari lembah-lembah gunung di Swis yang miskin, yang masuk menjadi anggota Tentara Hindia Belanda bersama dengan orang Jerman, Waal, dan Vlaam melalui ‘Selokan Eropa’ yaitu Harderwijk.
Sesudah tahun 1820 anehnya terus menerus selama 25 tahun membuat ribuan orang bertindak nekad karena putus asa bukanlah uang persen dan pelacuran saja yang menyebabkan orang berangkat ke Hindia lewat Harderwijk.
Artinya untuk kolonisasi yang dilakukan Belanda di luar hubungan militer pun tiada terkendali besarnya. Disamping kenyataan-kenyataan objektif akan kemiskinan yang terdapat di Eropa, kelebihan jumlah serdadu dan perwira sesudah masa Napoleon dan gejala-gejala yang demikian, dapatlah dikemukakan “rayuan Timur” nan romantis, yang berkumandang di seluruh Eropa.
Masuk dinas tentara Hindia Belanda merupakan cara paling mudah, dan merupakan satu-satunya cara bagi banyak orang untuk mencari petualangan itu diHindia, tetapi masih ada jalan-jalan yang lain.
Hindia merupakan petualangan bagi setiap orang Eropa yang muncul di sini. Pulau- pulau raksasa Sumatera dan Kalimantan, tanpa menyebut ribuan pulau kecil, masih seluruhnya terhampar dalam suasananya sendiri. Tuntutan-tuntutan Belanda masih masih samara-samar dan akan tetap akan samar-samar sepanjang abad. Sebagai besar “Hindia Belanda”, yang lebih merupakan kupulan daripada pengertian ketatanegaraan, dianggap sebagai semacam lingkungan pengaruh yang terhadapnya Belanda tidak memiliki kedaulatan. Pemerintahan yang silih berganti di Hindia Belanda dan di Negara Belanda tidak ada keinginana lagi untuk menambah pekerjaan yang cukup banyak. Menteri jajahan James Loudon pada tanggal 8 Juni 1861 menulis kepada Gubernur Jenderal C.F. Pahud ketika timbul lagi kesulitan-kesulitan di Sumatera.
Terlalu banyak yang hendak digarap Negeri Belanda di luar batas kemampuannya. Hasil-hasil pedapatan yang banyak diperoleh dari Tanam Paksa gi Jawa senantiasa terancam oleh ekspedisis-ekspedisi militer di Tanah Seberang yang banyak sekali memakan biaya. Sesudah tahun 1816, dan sesudah Tanam Paksa diberlakukan dengan penyerahan-penyerahan hasil wajibnya pada tahun 1830, hamper tidak ada tahun berlalu tanpa harus mengirimkan beberapa batalyon dari Jawa. Prinsip tidak campur tangan ternyata tidak dapat dipertahankan terus, tetapi dalam hal ini para penyokongnya benar-benar tidak meleset: begitu tidak campur tangan ditinggalkan menjadi campur tangan dan melakukan pendudukan, segeralah pula berakhir saldo laba.
Dengan Singapura Raffles telah membuktikan dapat memangfaatkan situasi ketatanegaraan yang suram di sebagian besar kepulauan Hindia. Dengan bertindak menggeretak para atasan dan pemerintahannya, Inggris jadi menyokongnya. Dia tidak menginginkan kerajaan sendiri dalam Rimba.
Raffles pada tahun-tahun pemerintah peralihan Inggris yang menguasai Jawa terdapat pejabat Kolonial Alexander Hare. Raffles telah mengangkatnya sebagai residen Banjarmasin di Kalimantan. Di sini dia berhasil memperoleh kenegerian Molukosebagai pinjaman feudal dari Sultan. Dengan bantuan Raffles, Hare menyuruh mengangkut kesini lima ribu orang buruh Jawa dalam keadaan yang mirip perbudakan. Sesudah tahun 1816 Hare harus melepas kerajaan pribadinya; tetapi ia telah merasakan enaknya cara hidup demikian, dan diketahuinyabahwa disebelah selatan Jawa terdapat suatu kelompok pulau yang mungkin saja oleh Belanda. Sesudah mengadakan persiapan yanga sempurna, bermukimlah ia di Kepulauan Kelapa pada tahun 1827. Negeri Belanda membiarkan saja tanpa gangguan dan bukanlah salahnya kalau akhirnya bukanlah dia sendiri tetapi salah seorang pembantunya, Kapten Ross, yang menguasai Kepulauan ini sebagai Raja Kulit putih.
Hare dan Ross merupakan orang pertama. Masih banyak lagi orang Inggris, Amerika, Skandinavia, Italia, dan Belanda yang lebih giat yang tahun-tahun ini mengembara di seluruh Kepulauan Hindia, mencari petualangan. Pada tahun 70-an yaitu seorang perwira KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) bernama Van Hagen yang dipecat karena melanggar disiplin. Ia menjadi Komandan sebuah Legiun asing kecil yang telah dikerahkan untuk Sultan Selangor di Malaka. Pada Tahun 1872 disergap di sekitar Kuala Lumpur pada salah satu peperangan kecil yang dilakukan Sultan. Bersama dengan 40 orang lainnya ia dipancung dalam suatu upacara.
Dari semua peristiwa ini para raja Indonesia suka menggunakan petualangan-petualangan Eropa (kadang-kadanga orang Amerika, seperti di Jambi sekitar tahun 1850 ) karena dalam perjuangan kekuasaan dengan tetangga mereka suatu keunggulan yang kecil dapat menentukan.
Dalam menghadapi Negara-negara Kolonial para Sultan dan saingan mereka mengikuti taktik yang sama seperti nenek moyang mereka dan dengan akibat-akibat bencana yang sama menimpa mereka. Mereka berusaha mengadu Inggris dengan Belanda agar saling memerangi, dan kalau mungkin beberapa Negara lain lagi di Asia yang berminat: Turki, pelindung kekhalifahan dunia Islam, Amerika, Spanyol, Italia.
Di Sumatera dan Malaka adat penggantian raja begitu rumit. Kalau Sultan sendiri tidak mencari bantuan pada sebuah Negara Eropa, maka saingan-saingannya lah yang mencari bantuan pada sebuah Negara Eropa, maka saingan-saingannya lah yang mencari bantuan. Para pejabat pemerintah dan para konsul di Pinang, Singapura, Muntok, dan Batavia sering kali mempunyai urusan dengan keturunan raja Melayu atau Sumatera yang datang menawarkan kerajaan mereka. Biasanya syarat-syaratnya adalah uang dan bantuan militer serta janji-janji akan memberikan keuntungan dagang dan hak-hak pertambangan, sebab di kebanyakan Negara itu terdapat timah putih, emas, atau batu bara.
Orang Inggris yang bernama James Brooke, mempunyai pribadi yang rumit dengan minat budaya dan ilmunya, ambisi-ambisi politik dan semangat patriotilnya, Brooke banyak mengingatkan Raffles. Brooke berasal dari suatu keluarga pejabat Inggris-India. Dia menjadi perwira, tetapi sesudah ayahnya meninggal pada tahun 1835, dalam usia 32 tahun, ia telah dapat mewujudkan cita-cita petualangan abad ke 19, yaitu melengkapi sebuah kapal sendiri dan dengan ini pergi bertualanga. Dia adalah seorang manusia yang mengalami “tarikan Timur” dalam segala keharuman romantikannya. Tujuan-tujuan keilmuan dan penginjilannya malahan dihargai tinggi oleh gubernur Jenderal Hindia Belanda J.D. de Eerens, yang memberikan kepadanya pas bebas dan surat-surat rekomendasi pada tahun 1836 untuk jabatan-jabatan pemerintahan Belanda. Setelah gagal di Sulawesi, orang Inggris ini mendapat setumpu di Kalimantan Utara pada 1839 dan 1840 dengan memberikan jasa-jasa militer kapada Sultan Brunei.
Pada tahun 1841 Brooke mencapai titik puncak apa yang dapat dihasilkan Eropa dalam daya imajinasi romantika impian yang kemudian sungguh-sungguh menguasai hati dan pikiran romantikus Belanda Douwes. Ia pun menjadi sultan kulit putih suatu kerajaan Timur, White Radja dari Serawak. Seluruh Hindia Belanda bangkit memprotes. Namun, seluruh Hindia-Belanda tidak mampu mengemukakan dasar hokum, yang dapat menyatakan bahwa tindakan Brooke, atau tindakan Sultan Brunei, adalah tindakan yang tidak sah. Memang ramai orang melakukan protes, tetapi posisi Brooke sangat di perkuat ketika sebagai imbalan jasa-jasanya yang baru kepada Sultan Brunei, ia dapat memperoleh pulau Labuan sebagai pangkalan batu bara untuk Inggris. Dia diangkat menjadi gubernur Labuan dan Konsul jenderal Inggris di dalam Kerajaan sendiri, Serawak, dan kedudukannya tampaknya tidak dapat diganggu gugat.
Tindakannya terhadap bajak laut, yang mengganggu keamanan di perairan Nusantara, dan caranya memperlakukan orang-orang bawahannya menyebabkan timbul kecaman-kecaman tajam. Dan dibentuklah sebuah komisi, yang berkedudukan di Singapura, sehingga masyarakat Eropa di sini jadi terpecah dua: Brookeans (Pendukung Brook) dan Anti Brookeans (anti Brook).
Tidak diketahuinya apa yang memang dipahami orang-orang sejati tempo doeloe, bahwa suatu ekspedisi yang kalah bukanlah berarti kalah perang., tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap usaha perang di Nusantara.
Seperti juga penghapusan Tanam paksa, mukjizat Deli, atau pembukaan Terusan Suez, perbedaan antara Perang Aceh yang pertama dan yang kedua menandai peralihan zaman lama baru di Hindia Belanda.
2.     PERANG ACEH KEDUA (1874-1880)
Bagaimana Orang Membuat Perang
Adanya keterangan Teuku Muhammad Arifin kepada Read tentang penghianatan Singapura menyebabkan pecahnya perang. Read merupakan seorang penuntun Raja Siam Tsyulalongkorn. Dia juga seorang pebisnis yang berhubungan antara Siam-Singapura dan seorang konsul Kerajaan Belanda di Singapura. Arifin yang masih berhubungan dengan Sultan Trengganu, seorang raja taklukkan Siam di Semenanjung Malaka bertemu dengan Read di Singapura. Setelah pertemuan itu baik Arifin maupun William Read, mereka berdua saling bertukar pikiran dan informasi berbagai hal termasuk mengenai Aceh.
Arifin pun mulai mencari hal-hal baru termasuk dalam hal relasi. Setelah mendengar kabar bahwa Amerika berminat membuat pangkalan armada di Kalimantan Utara, dia pun menawarkan jasa-jasanya kepada konsul Amerika yakni Studer. Dengan kecerdikannya, Studerpun akhirnya menjadi salah satu koleganya. Dalam suatu pembicaraan, Studer mengatakan bahwa telah terjadi insiden internasional yang merupakan suatu rahasia penting. Hal ini menjadikan Studer menjadi kambing hitam karena telah membocorkan rahasia Negara baik pemerintah Belanda maupun Washington.
Dalam keadaan selanjutnya, Arifin dibayar oleh Read untuk mengatakan berbagai informasi tentang Aceh. Hal inikemudian menjadi suatu sandungan bagi Arifin sehingga dia dibuang oleh pemerintah Belanda dan kemudian menjadikan Read sebgai pahlawan. Read dapat mengkamuflase fakta bahwa Arifin melakukan suatu penghianatan. Namun, tetap saja tujuan Read adalah demi meraih kepentingan pribadi. Hal ini dibuktikan dengan setelah pengangkatannya dipemerintahan Hindia-Belanda, Read melakukan penyimpangan yang berujung menjadi kesalahan pemerintah Hindia-Belanda hingga meletusnya Perang Aceh.
Belanda Bejat dan Aceh Bejat
Perang Aceh sangat memberatkan tanggungan Hindia. Karena menelan banyak korban manusia dan sarana, sesudah tahun1873 setiap kemajuan tertahan lama. Titik berat urusan Hindia berpindah ke Het Plein (lapangan), kementerian jajahan, yang berkat sarana perhubungan yang lebih baik lebih dapat mengendalikan kebijaksanaan atas seberang lautan. Barulah pada akhir abad ini parlemen mulai memainkan peranan lagi, hampir bersamaan waktu dan penasihatnya yang cemerlang , Snouck Hurgronje, yang menghendaki kebebasan yang lebih besar dalam kebijaksanaan mereka.
Dalam bacaan perang masa itu orang Aceh cukup banyak diberi sifat-sifat yang buruk. Penghianatan dan kemunafikan sudah pastilah karena Singapura. Lalu ditambah lagi kelicikan, fanatisme, ketagihan madat dan kemerosotan akhlak dalam arti seksual. Sifat-sifat buruk itu tecurah dalam bentuk penyimpangan bahkan hal tersebut jelas terlihat dari perdagangannya. Barang-barang dagang Aceh cukup banyak untuk diekspor keluar negeri. Masalahnya, ada barang haram didalamnya dan menjadi salah satu penghasil terbesar yaitu Candu. Ironisnya, Candu juga banyak dikonsumsi oleh orang Aceh. Tabiat buruk lainnya adalah mengudung mayat musuh dan melakukan hubungan seksual liar.
Untuk masa waktu yang lama demikianlah gambaran umum yang sangat tersebar luas dalam karangan-karangan Belanda mengenai “manusia” Aceh. Baru setelah terbitnya telaah yang mendalam pertama tentang negeri dan bangsa, karya Snouck Hurgronje yang cemerlang pada tahun 1893, yakni de Atjehers, mulailah perubahan. Dalam tahap akhir sementara pertempuran, yang saya sebut Perang Aceh keempat, musuh dianggap sebagai lawan terhormat. Tetapi ketika itu dia pun sudah hampir terkalahkan dan masih lama lagi baru kita sampai sejauh itu.
Kebijaksanaan Kolonel-Kolonel Musim
Sebelum pasukan-pasukan ekspedisi yang gagal ke Aceh mendarat dikota-kota garnisun mereka, Batavia, Semarang dan Surabaya, kalangan orang Belanda di Jawa menentang Loudon. Pemimpin redaksi Samarangche Courant, Pengacara Mr. C.P.K Winckel, membuat sebuah artikel yang berisikan agar Loudon dberhentikan dari tugasnya. Namun situasi berbanding terbalik, Winckel diperintahkan angkat kaki oleh pemerintah Belanda karena dianggap melakukan penyerangan kekuasaan dan martabat pemerintah Hindia-Belanda serta beberapa artikel yang dianggap merugikan. Sebenarnya permintaan Winckel adalah agar ekspedisi ke Aceh dilanjutkan kembali dan tanpa Loudon yang memimpinnya. Namun belakangan, ada diantara beberapa artikel yang dianggap merugikan pemerintah dan situasi di Aceh yang benar-benar suram, tanpa diiringi berita-berita mengenai keadaannya membuat pemerintah memberikan kekuasaan kepada Loudon melalui persetujuan Dewan Hindia.
Setelah beberapa masa ke depan, terjadi suatu pergantian kabinet di negeri Belanda. Akibat pergantian kabinet baru itu, banyak yang mengkritik Loudon pada suatu interpelasi Aceh oleh anggota koservatif Fabius. Hal ini membuat van Daelen memuat suatu tulisan dalam Java Bode bahwa aparat-aparat leberalisme yang jahat menutup-nutupi permasalahan Aceh dari Negeri Belanda. Dia juga menulis beberapa artikel-artikel yang dianggap menghina kebijakan pemerintah. Atas tuduhan pencemaran nama wakil raja dan menghasut agar membenci atau tidak menghormati pemrintah Hindia-Belanda, van Daelen pun akhirnya ditangkap.
Akhir Perang
Pada tahun 1876, kekuatan pasukan di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu orang prajurit eropa, lima ribu prajurit Indonesia dan 180 orang prajurit Afrika. Pada masa itu. Habib Abdurrahman turut mengubah keadaan-keadaan pasukan Aceh yang sewaktu-waktu bertindak liar, menjadi lebih beroperasi secara teratur. Dalam pengadaan pasukan, Abdurrahman mendapat bantuan dari kelompok agama. Tengku di Tiro yang tersohor tersebut mewakili kelompok agama beserta pengikutnya, turut bergabung dengan Abdurrahman.
Belanda pun muncul melancarkan serangannya. Kali ini, ekspedisi dipimpin oleh Van der Heijden dengan tiga ribu pasukannya beserta sepuluh kapal perang. Daerah yang dipimpin oleh Sagi Mukim XXV menjadi wilayah pertama yang ditaklukkan Belanda. Beberapa petempuran pun menyusup hingga ke pedalaman. Hal ini terus berlangsung hingga tanggal 25 Agustus 1878, tiga orang utusan Habib Abdurrahman dengan permohonan ampun dan meminta perundingan penyerahan di pos Belanda Lam Baro. Belanda pun mulai meminta pemuka-pemuka Aceh agar menyerah. Namun semuanya sia-sia. Bahkan para pemuka tersebut menuding bahwa Abdurrahman melakukan pengkhianatan.
Menyerahnya Abdurrahman tidak diikuti oleh pemuka-pemuka lain secara bersamaan. Pemimpin perlawanan tersebut adalah Tengku di Tiro, Panglima Polim dan imam Leung Bata. Suatu gerakan dengan tiga ribu orang, Belanda mengakhiri operasi perlawanan ini. Penghukuman yang tiada taranya telah berhasil. Perangpun telah usai. Namun dari semua itu menyisakan bahwa pada kenyataannya rakyat menjadi dendam dan negeri musnah dihancurkan Belanda serta harus ditaburi dengan sangkur demi mempertahankan bagian relatif kecil yang telah direbut.
3.     PERANG ACEH KETIGA 1884-1896
Pertikaian Antara Saudara
Van der Heijden diangkat menjadi Letnan Jenderal di bulan januari 1880, kemudian dia mendapat surat aneh yang kasar dari Gubernur Jenderal Van Landsberge yang amat menginginkan Heijden turun dari jabatannya dan mengajukan permintaan berhenti. Bersama dengan A. Pruys (residen Palembang) diangkat menjadi komisaris untuk penyusunan kembali pemerintahan di Aceh. Van Landsberge amat berkeinginan untuk memberikan tekanan agar Heijden berhenti, pada bulan November ia pun mengutus anggota dewan Hindia Mr. J. T. Derkinderen dengan tugas yang sangat sulit ke Aceh
Van der Heijden dinyatakan bertanggung jawab untuk 3 pengaduan terhadap orang-orang bawahan. Mereka telah diperiksa Jaksa Agung Batavia, (1) Syahbandar Olehleh, yang telah menjadi pelabuhan ramai dan kini menjadi dermaga samudra yang hebat, telah mengenakan pungutan liar atas barang-barang swasta yang masuk; (2) Kepala kantor pos Kutaraja menderita kerugianan kas lebih dari 10.000 gulden, kedua kasus ini diketahui, malah Heijden telah menskors orang-orang yang bersalah pada pertengahan 1880.
Konflik pun terjadi, antara Derkinderen dan Heijden yaitu dua orang bersaudara sesama anggota, sesama penganut teosofi berhadapan. Dalam surat-suratnya kepada Derkinderen, Van der Heijden sangat menyesali mengapa ia mengalami perlakuan demikian justru dari seorang saudara. Banyak yang membicarakan pertentangan ini. Sebelum tahun-tahun akhir Van der Heijden, keadaan di Aceh berangsur-angsur berubah sama sekali. Ada pendekatan dari kalangan hulubalang di daerah Hilir (sagi-sagi mukim XXVI dan mukim XXV) yang menerima gaji, tunjangan dari dia – ini benar.
Pemimpin-pemimpin perang yang baru di satu pihak seorang tokoh seperti ulama Teungku di Tiro dari Pidie, yang tegar dan fanatic, serta di pihak lain Teuku Umar yang tidak punya Negeri, liberal tetapi sama fanatic, tampaknya cepat memperoleh tenaga tempur. Selama tahun 1883, tampaknya perang akan pecah lagi dengan hebat. Hal ini merupakan kekecewaan besar bagi Gubernur Jenderal s’Jacob, yang mengunjungi Aceh pada bulan Agustus untuk menyelidiki apakah dengan penyusutan kekuatan pasukan Belanda tidak dapat dilakukan pengurangan biaya perang secara drastic. Sebenarnya hal ini sudah dibayangkan Van Landsberge. Di Negeri Belanda tampil suatu cabinet yang bercorak konservatif dan liberal kanan pada bulan April. Menteri jajahan baru F.G. van Bloemen Wanders, seperti juga semua menteri lainnya, yang menanggulangi portefeuille (dan sejak tahun 1873 jumlahnya delapan), mempunyai pandangan pribadi untuk mengakhiri perang. Sebagai bekas pejabat Hindia, bekas direktur dalam negeri (BB), dia melihat kemungkinan-kemungkinan untuk memulihkan kesultanan di bawah pimpinan Belanda sama halnya seperti yang dilakukan pada Kerajaan-kerajaan di Jawa, Siak, dan di tempat lain.
Snouck Hurgronje dan Van Heutsz
Dr. Snouck Hurgronje adalah penasihat gubernur jenderal untuk Bahasa Timur dan Hukum Islam yang amat menentang dan memberikan kecaman atas kebijakan Deijkerhoff mengenai Teuku Umar yang setia terhadap Belanda. Pada 23 Mei 1892 disampaikannya kepada gubernur jenderal Pijnaker Hordik laporannya Verslag omtrent de religious-politieke toestanden in Aceh (Laporan tentang situasi politik agama di Aceh). Laporan ini meliputi 4 jilid; 2 jilid yang pertama (yang merupakan uraian tentang alam dan bangsa, dengan banyak perhatian untuk tokoh-tokoh yang penting) dikerjakannya menjadi buku De Atjehers terdiri dari dua jilid, yang terbit pada tahun 1893/1894 sebagai penerbitan pemerintah. Untuk pertama kalinya, 20 tahun sesudah perang Aceh dimulai, jelaslah bagaimana keadaan sebenarnya di Aceh, penduduk bagaimana yang terdapat di sini, pentingnya adat dan agama, apa pikiran dan tulisan orang Aceh tentang perang. Berbeda keadaannya dengan dua jilid pertama, dua jilid terakhir tidak diterbitkan pemerintah. Perdebatan pun terjadi antara Deijkerhoff – Snouck mengenai perang Aceh, selain itu Teuku Umar yang merupakan sekutu bagi Belanda – yang menurut Snouck tidak begitu percaya peranannya terhadap pemerintah Belanda.
Pengkhianatan Teuku Umar
Pada 1896, tampil seorang komandan lini baru Letnan Kolonel F.W. Bisschof van Heemskerk yang berkedudukan di benteng Lam Baro dengan 150 orang anggota yang hampir-hampir optimisme Jenderal Deijkerhoff tentang keberhasilan politik Teuku Umarnya yang agak berlebihan.
Teuku Johan menjadi bimbang dan mengajukan berbagai macam keberatan atas tugas barunya di jantung mukim XXII. Di Kutaraja mulai beredar desas-desus bahwa panglima perang besar, yang berada dalam keadaan terjepit karena perintah-perintah Deijkerhoff, bermaksud berkhianat terhadap Belanda. Deijkerhoff tidak percaya, menurut Teuku Johan, legiunnya tidak cukup untuk melakukan operasi. Pada tangggal 26 maret, Teuku Johan  diperlengkapi dengan perbekalan yang amat cukup, namun permintaannya akan meriam lapangan tidak dipenuhi.
Pada hari itu juga beberapa orang mata-mata Aceh melaporkan lagi bahwa Teuku Johan merencanakan hendak membelot. Penampilannya pada suatu konferensi gubernur, malam tanggal 28 maret, dinantikan dengan suasana agak tegang. Ternyata, dia tampil dan Deijkerhoff pun tenang. Hari berikutnya, “pengkhianatan Teuku Umar” menjadi kenyataan. Umar – dia pun segera secara resmi menanggalkan jabatannya sebagai panglima perang besar Teuku Johan Pahlawan – menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff dan wakil-wakil panglimanya pada hari itu juga mulai dengan memanfaatkan dengan baik senjata-senjata barunya melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda. Pada 30 Mare, hari yang telah ditentukan untuk harus memulai operasi Lam Krak, dari tempat kediamannya Lempisang Umar mengirim sepucuk surat kepada Gubernur dengan pemberitahuan bahwa ia “harus beristirahat sementara waktu.” Dia mengeluh tentang perlakuan penghinaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pangerh praja dan perwira-perwira Belanda terhadap dirinya dan ia menasihati Deijkerhoff agar menyuruh mereka saja menaklukkan mukim-mukim Lam Krak.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umat bukanlah merupakan tindakan dadakan, tetapi memerlukan beberapa waktu persiapan, 29 Maret semua pos Belanda di luar Lini segera dikepung. Umar mulai membentuk garis pertahanannya sebelah timur Lini Konsentrasi, dengan tempat kediamannya Lam Pisang, sebagai pusat. Dalam beberapa hari, situasi Aceh Besar seluruhnya berubah.
PERANG ACEH KEEMPAT (1898-1942)
Periodisasi perang aceh ke empat dimulai sejak tahun 1898-1942. Paul Van’t Veer dalam bukunya Perang Aceh, kisah kegagalan Snouck Hurgronje membagi menjadi beberapa sub bab untuk periode ini.
Panik di Negeri Belanda
Pada sub bab ini Veer mengungkapkan kepanikan yang terjadi di negeri Belanda akibat “pengkhianatan” Teuku Umar. Teuku Umar yang gagah berani dalam medan pertempuran malah berbalik menyerang Belanda. Bahkan Teuku Umar sempat mengepung Kutaraja (Banda Aceh sekarang) bersama 2000 pasukannya untuk menyerang Belanda. Bahkan di negeri Belanda sendiri diciptakan lagu hujatan kepada Tengku Umar. Maka timbulah suatu tahapan baru di Aceh yang dikenal dengan Perang Aceh Keempat, sekaligus mengandung unsure produk colonial yang baru, yaitu minyak tanah.
Minyak Tanah di Perlak
Malaise ekonomi yang berkepanjangan yang bermula pada krisis gula tahun 1884 sudah berakhir. Meskipun harga-harga hasil bumi masih rendah, tapi muncul satu produk tambang yang banyak memberi harapan. Produk ini sangat termasyur sebagai obat terhadap segala macam penyakit, yaitu minyak tanah. Pengeboran pertama dilakukan di Deli, kemudian setelah mengeksploitasi secara besar-besaran mereka meneruskannya di negeri-negeri pantai Aceh, seperti Tamiang, Langsa dan Perlak. Dengan adanya eksploitasi besar-besaran maka ekspedisi militer diperlukan untuk menjaga atau melindungi kilang minyak yang sering harus bertempur dengan penduduk. Tahun 1900 banyak perusahaan asing (eropa) yang melakukan eksploitasi minyak di Aceh. Tapi upaya penanaman modal asing ini tidak diimbangi dengan UU yang jelas mengaturnya. Akibatnya Hindia Belanda mendapat kerugian akibat tidak memperoleh bagian dari hasil pertambangan kecuali hanya dari pajak yang besarnya 4% dari pendapatan bersih, apalagi perusahaan pertambangan baru dibebaskan dari bea selama tiga tahun. Ketika Van Heutsz diangkat menjadi gubernur jenderal minyak pada tahun 1903, maka ia mengubah UU pertambangan yang isinya menaikan pajak dan mengadakan kontrak ekonomi dengan perusahaan kilang minyak. Dengan cara ini pendapatan Belanda manjadi naik. Tapi tidak dengan keadaan kesejahteraan rakyat aceh yang tetap tertinggal.
Akhir riwayat Teuku Umar
“Pengkhianatan” Teuku Umar menyebabkan Belanda menjadi marah, apalagi ditambah dengan serangan-serangan dari Teuku Umar sendiri. Hal ini mengakibatkan Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap kamp-kamp pertahanan penduduk Aceh yang dikenal sebagai penghukuman dilembah sungai Aceh. Akibatnya penduduk mengungsi dan tidak ada alas an untuk kembali karena rumah, sawah dan desa mereka telah dibakar oleh Belanda dengan peperangan yang sangat brutal disertai pembunuhan masal. Atas usul Snouck, Van Heutsz melakukan penyerangan ke daerah Pidie yang disinyalir terdapat pemberontak Aceh. Salah satu jasa Van Heutsz yang terbesar adalah dengan meningkatkan daya guna NIL (pasukan belanda). Pasukan marsose disiapkan dengan peralatan pribadi tanpa membawa baterai meriam atau barisan furase. Selain itu Van Heutsz mengeluarkan kebijakan untuk tidak membakar kampong, masjid dan rumah tinggal dalam keadaan bagaimanapun. Pada 1899 Teuku Umar meninggal di Meulaboh akibat serangan dari Belanda. Tapi istri Teuku Umar, Cut Nya Din mengambil estafet perjuangan istrinya dan terus melakukan perlawanan terhadap belanda.
Pertempuran di Samalanga
Aksi-aksi utama daerah taklukan Aceh baru dilancarkan setelah tahun 1899. dibawah pimpinan Van Heutsz serta didampingi Snouck Hurgronje mereka melaksanakan aksi besar-besaran menjelajahi negeri pantai timur dan barat. Dalam perjalanannya, mereka banyak mendapat perlawanan dari rakyar Aceh. Berdasarkan analisis Snouck Hurgronje, sifat perlawanan rakyat bukan hanya masalah keyakinan agama tetapi juga masalah pra nasionalisme, hasrat kemerdekaan, serta perjuangan sosial terhadap para pemuka feudal.
Sepuluh Tahun Yang Berdarah
Masa Van Heutsz menjabat diaceh adalah dari tahun 1899-1909. pada masa ini merupakan masa 10 tahun yang berdarah bagi Aceh. Jumlah tentara Belanda yang tewas sekitar 508 orang, tapi dari tahun 1899-1909 jumlah orang Aceh yang terbunuh sekitar 21865 orang, hamper 4% dari jumlah penduduk. Terlepas dari ini, perang kecil Aceh sesudah 1900 meminta korban hampir sama dengan perang besar sebelum 1900. ini disebabkan karena taktik dalam peperangan telah berubah menjadi gerilya yang sering terjadi kontak dengan musuh.
Perjalanan Kepahlawanan pada tahun 1904
Dari tanggal 8 februari sampai dengan 23 Juli 1914 dibawah perintah Letkol GCE Van Daalen, suatu kolone marsose mengadakan perjalanan melalui tanah Gayo dan Alas. Pertempuran di gayo dan Alas ini memakan korban yang sangat besar. Orang-orang Gayo telah siap menyambut pasukan marsose yang datang ke kampungnya dengan pakaian serba putih menandakan mereka siap untuk mati. Dalam perlawananpun mereka hanya menggunakan senjata pukul dengan bedil lantak tua yang tidak sebanding dengan persenjataan pasukan marsose, sehingga dalam waktu yang sekejap mereka berhasil ditumpas.
Mundur dari Aceh

Perang aceh tidaklah berakhir pada 1913 atau 1914. dari tahun 1914 telah terjadi banyak pemberontakan yang sekalipun dapat dipadamkan tapi merupakan tanda bahwa aceh masih menganggap Belanda musuh. Tapi berbeda dengan pendapat Residen Jongejans yang menganggap bahwa aceh sudah mulai percaya pada Belanda. Ini disebabkan karena Gubernur Jenderal yang baru telah menghapuskan vandalisme serta pemberian hadiah atau janji-janji kepada para hulubalang serta rakyat aceh. Meskipun demikian, banyak para pemberontak yang tetap melakukan pemberontakan dan pembunuhan terhadap orang-orang eropa. Aceh memang sudah ditaklukkan, tapi sama sekali belum diamankan, perlawanan masih terus ada, ungkap Kern. Pada 12 maret 1942 pasukan Jepang mendarat di Aceh, mereka terus menggempur pasukan Belanda yang masih tersisa, akhirnya pada 28 maret 1942, tiga minggu setelah Jawa menyerah ke Jepang, Jenderal Overakker menyatakan takluk. Aceh merupakan wilayah terakhir yang dimasukan ke dalam territorial wilayah Belanda, Aceh juga yang pertama kali keluar dari pemerintahan Belanda

Resume Buku Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje Oleh: Ubaidillah     1.     PERANG ACEH PERTAMA 1873 Petualangan-Petu...