Resume
Buku Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje
Oleh:
Ubaidillah
1. PERANG
ACEH PERTAMA 1873
Petualangan-Petualangan di Nusantara
Sumatera adalah daerah yang selalu terjadi kerusuhan,
tidak seorang pun yang menyangsikan bahwa Sumatera adalah pulau dengan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang tanpa diketahui. Maka tidak
salah seorang Raffles yang mempunyai daya fantasi yang tinggi dan juga seorang
Inggris yang begitu bernafsu masuk ke dalam rimba ini. Nafsunya timbul karena
ingin balas dendam. Pada tahun 1817, untuk menghibur hati karena
kehilangan kekuasaannya terhadap Jawa, yang telah dikembalikan Inggris
bersama dengan sisa wilayah kompeni lama kepada Belanda, dia diangkat menjadi
gubernur Bengkulu. Bagian Sumatera yang tidak berarti ini memang sudah sejak
dulu diakui sebagai milik Inggris. Tapi benteng Marlborough tidaklah sampai
begitu ambruk , karena dapat digunakan Raffles markas besar. Dan dari sini
mulai nyatalah tuntutan Inggris yang tidak berdasar atas bagian-bagian Sumatera
yang lain dan atas pulau-pulau di sekitarnya. Selat Malaka dan Selat Sunda,
satu-satunya jalan laut antara Asia Selatan dan Asia Timur, harus aman berada
dalam tangan Inggris.
Perdagangan berkembang pesat di Indonesia/Hindia,
hingga terciptalah pusat perbelanjaan bebas dalam suatu wilayah yang penuh
dengan monopoli dan cukai-cukai istimewa. Raffles membujuk para pengusaha
Inggris dari Madras dan Bombay untuk bermukim di Singapura. Orang-orang Cina
banyak berdatangan dengan sendirinya.
Ketika pada tahun 1824, Belanda dan Inggris dalam
traktat London menyelesaikan semua persengketaan akibat serah terima jajahan
tahun 1816, Bengkulu pun ditukar dengan pangkalan Kompeni Belanda, yaitu Malaka
yang sudah hancur. Inggris melepaskan semua tuntutannya kepada Sumatera,
Raffles kehilangan jabatan pemerintahannya yang terakhir dan kembali ke
Inggris. Pemerintah di Den Haag telah berjanji bahwa dalam usaha perluasaan
kekuasaan selanjutnya di Sumatera tidak akan mengusik kemerdekaan Aceh.
Sesudah tahun 1831 keadaannya lain. Ketika itu Prancis
membutuhkan serdadu demikian banyak untuk perang kolonialnya di Afrika Utara,
sehingga Kantor Pengerahan Kolonial di Harderwijk sulit mendapat pemuda Prancis
untuk masuk dinas militer. Marseille mempunyai kantor pengerahannya sendiri
untuk suatu legion asing dan mereka ini terdiri dari anak-anak petani yang
berasal dari lembah-lembah gunung di Swis yang miskin, yang masuk menjadi
anggota Tentara Hindia Belanda bersama dengan orang Jerman, Waal, dan Vlaam
melalui ‘Selokan Eropa’ yaitu Harderwijk.
Sesudah tahun 1820 anehnya terus menerus selama 25
tahun membuat ribuan orang bertindak nekad karena putus asa bukanlah uang
persen dan pelacuran saja yang menyebabkan orang berangkat ke Hindia lewat
Harderwijk.
Artinya untuk kolonisasi yang dilakukan Belanda di
luar hubungan militer pun tiada terkendali besarnya. Disamping
kenyataan-kenyataan objektif akan kemiskinan yang terdapat di Eropa, kelebihan
jumlah serdadu dan perwira sesudah masa Napoleon dan gejala-gejala yang
demikian, dapatlah dikemukakan “rayuan Timur” nan romantis, yang berkumandang
di seluruh Eropa.
Masuk dinas tentara Hindia Belanda merupakan cara
paling mudah, dan merupakan satu-satunya cara bagi banyak orang untuk mencari
petualangan itu diHindia, tetapi masih ada jalan-jalan yang lain.
Hindia merupakan petualangan bagi setiap orang Eropa
yang muncul di sini. Pulau- pulau raksasa Sumatera dan Kalimantan, tanpa
menyebut ribuan pulau kecil, masih seluruhnya terhampar dalam suasananya
sendiri. Tuntutan-tuntutan Belanda masih masih samara-samar dan akan tetap akan
samar-samar sepanjang abad. Sebagai besar “Hindia Belanda”, yang lebih
merupakan kupulan daripada pengertian ketatanegaraan, dianggap sebagai semacam
lingkungan pengaruh yang terhadapnya Belanda tidak memiliki kedaulatan.
Pemerintahan yang silih berganti di Hindia Belanda dan di Negara Belanda tidak
ada keinginana lagi untuk menambah pekerjaan yang cukup banyak. Menteri jajahan
James Loudon pada tanggal 8 Juni 1861 menulis kepada Gubernur Jenderal C.F.
Pahud ketika timbul lagi kesulitan-kesulitan di Sumatera.
Terlalu banyak yang hendak digarap Negeri Belanda di
luar batas kemampuannya. Hasil-hasil pedapatan yang banyak diperoleh dari Tanam
Paksa gi Jawa senantiasa terancam oleh ekspedisis-ekspedisi militer di Tanah
Seberang yang banyak sekali memakan biaya. Sesudah tahun 1816, dan sesudah
Tanam Paksa diberlakukan dengan penyerahan-penyerahan hasil wajibnya pada tahun
1830, hamper tidak ada tahun berlalu tanpa harus mengirimkan beberapa batalyon
dari Jawa. Prinsip tidak campur tangan ternyata tidak dapat dipertahankan
terus, tetapi dalam hal ini para penyokongnya benar-benar tidak meleset: begitu
tidak campur tangan ditinggalkan menjadi campur tangan dan melakukan
pendudukan, segeralah pula berakhir saldo laba.
Dengan Singapura Raffles telah membuktikan dapat
memangfaatkan situasi ketatanegaraan yang suram di sebagian besar kepulauan
Hindia. Dengan bertindak menggeretak para atasan dan pemerintahannya, Inggris
jadi menyokongnya. Dia tidak menginginkan kerajaan sendiri dalam Rimba.
Raffles pada tahun-tahun pemerintah peralihan Inggris
yang menguasai Jawa terdapat pejabat Kolonial Alexander Hare. Raffles telah
mengangkatnya sebagai residen Banjarmasin di Kalimantan. Di sini dia berhasil
memperoleh kenegerian Molukosebagai pinjaman feudal dari Sultan. Dengan bantuan
Raffles, Hare menyuruh mengangkut kesini lima ribu orang buruh Jawa dalam
keadaan yang mirip perbudakan. Sesudah tahun 1816 Hare harus melepas kerajaan
pribadinya; tetapi ia telah merasakan enaknya cara hidup demikian, dan
diketahuinyabahwa disebelah selatan Jawa terdapat suatu kelompok pulau yang
mungkin saja oleh Belanda. Sesudah mengadakan persiapan yanga sempurna,
bermukimlah ia di Kepulauan Kelapa pada tahun 1827. Negeri Belanda membiarkan
saja tanpa gangguan dan bukanlah salahnya kalau akhirnya bukanlah dia sendiri
tetapi salah seorang pembantunya, Kapten Ross, yang menguasai Kepulauan ini
sebagai Raja Kulit putih.
Hare dan Ross merupakan orang pertama. Masih banyak
lagi orang Inggris, Amerika, Skandinavia, Italia, dan Belanda yang lebih giat
yang tahun-tahun ini mengembara di seluruh Kepulauan Hindia, mencari
petualangan. Pada tahun 70-an yaitu seorang perwira KNIL (Tentara Kerajaan
Hindia Belanda) bernama Van Hagen yang dipecat karena melanggar disiplin. Ia
menjadi Komandan sebuah Legiun asing kecil yang telah dikerahkan untuk Sultan
Selangor di Malaka. Pada Tahun 1872 disergap di sekitar Kuala Lumpur pada salah
satu peperangan kecil yang dilakukan Sultan. Bersama dengan 40 orang lainnya ia
dipancung dalam suatu upacara.
Dari semua peristiwa ini para raja Indonesia suka
menggunakan petualangan-petualangan Eropa (kadang-kadanga orang Amerika,
seperti di Jambi sekitar tahun 1850 ) karena dalam perjuangan kekuasaan dengan
tetangga mereka suatu keunggulan yang kecil dapat menentukan.
Dalam menghadapi Negara-negara Kolonial para Sultan
dan saingan mereka mengikuti taktik yang sama seperti nenek moyang mereka dan
dengan akibat-akibat bencana yang sama menimpa mereka. Mereka berusaha mengadu
Inggris dengan Belanda agar saling memerangi, dan kalau mungkin beberapa Negara
lain lagi di Asia yang berminat: Turki, pelindung kekhalifahan dunia Islam,
Amerika, Spanyol, Italia.
Di Sumatera dan Malaka adat penggantian raja begitu
rumit. Kalau Sultan sendiri tidak mencari bantuan pada sebuah Negara Eropa,
maka saingan-saingannya lah yang mencari bantuan pada sebuah Negara Eropa, maka
saingan-saingannya lah yang mencari bantuan. Para pejabat pemerintah dan para
konsul di Pinang, Singapura, Muntok, dan Batavia sering kali mempunyai urusan
dengan keturunan raja Melayu atau Sumatera yang datang menawarkan kerajaan
mereka. Biasanya syarat-syaratnya adalah uang dan bantuan militer serta
janji-janji akan memberikan keuntungan dagang dan hak-hak pertambangan, sebab
di kebanyakan Negara itu terdapat timah putih, emas, atau batu bara.
Orang Inggris yang bernama James Brooke, mempunyai
pribadi yang rumit dengan minat budaya dan ilmunya, ambisi-ambisi politik dan
semangat patriotilnya, Brooke banyak mengingatkan Raffles. Brooke berasal dari
suatu keluarga pejabat Inggris-India. Dia menjadi perwira, tetapi sesudah
ayahnya meninggal pada tahun 1835, dalam usia 32 tahun, ia telah dapat
mewujudkan cita-cita petualangan abad ke 19, yaitu melengkapi sebuah kapal
sendiri dan dengan ini pergi bertualanga. Dia adalah seorang manusia yang
mengalami “tarikan Timur” dalam segala keharuman romantikannya. Tujuan-tujuan
keilmuan dan penginjilannya malahan dihargai tinggi oleh gubernur Jenderal
Hindia Belanda J.D. de Eerens, yang memberikan kepadanya pas bebas dan
surat-surat rekomendasi pada tahun 1836 untuk jabatan-jabatan pemerintahan
Belanda. Setelah gagal di Sulawesi, orang Inggris ini mendapat setumpu di
Kalimantan Utara pada 1839 dan 1840 dengan memberikan jasa-jasa militer kapada
Sultan Brunei.
Pada tahun 1841 Brooke mencapai titik puncak apa yang
dapat dihasilkan Eropa dalam daya imajinasi romantika impian yang kemudian
sungguh-sungguh menguasai hati dan pikiran romantikus Belanda Douwes. Ia pun
menjadi sultan kulit putih suatu kerajaan Timur, White Radja dari Serawak.
Seluruh Hindia Belanda bangkit memprotes. Namun, seluruh Hindia-Belanda tidak
mampu mengemukakan dasar hokum, yang dapat menyatakan bahwa tindakan Brooke,
atau tindakan Sultan Brunei, adalah tindakan yang tidak sah. Memang ramai orang
melakukan protes, tetapi posisi Brooke sangat di perkuat ketika sebagai imbalan
jasa-jasanya yang baru kepada Sultan Brunei, ia dapat memperoleh pulau Labuan
sebagai pangkalan batu bara untuk Inggris. Dia diangkat menjadi gubernur Labuan
dan Konsul jenderal Inggris di dalam Kerajaan sendiri, Serawak, dan
kedudukannya tampaknya tidak dapat diganggu gugat.
Tindakannya terhadap bajak laut, yang mengganggu
keamanan di perairan Nusantara, dan caranya memperlakukan orang-orang
bawahannya menyebabkan timbul kecaman-kecaman tajam. Dan dibentuklah sebuah
komisi, yang berkedudukan di Singapura, sehingga masyarakat Eropa di sini jadi
terpecah dua: Brookeans (Pendukung Brook) dan Anti Brookeans (anti Brook).
Tidak diketahuinya apa yang memang dipahami
orang-orang sejati tempo doeloe, bahwa suatu ekspedisi yang kalah bukanlah
berarti kalah perang., tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap
usaha perang di Nusantara.
Seperti juga penghapusan Tanam paksa, mukjizat Deli,
atau pembukaan Terusan Suez, perbedaan antara Perang Aceh yang pertama dan yang
kedua menandai peralihan zaman lama baru di Hindia Belanda.
2. PERANG
ACEH KEDUA (1874-1880)
Bagaimana Orang Membuat Perang
Adanya keterangan Teuku Muhammad Arifin kepada Read
tentang penghianatan Singapura menyebabkan pecahnya perang. Read merupakan
seorang penuntun Raja Siam Tsyulalongkorn. Dia juga seorang pebisnis yang
berhubungan antara Siam-Singapura dan seorang konsul Kerajaan Belanda di
Singapura. Arifin yang masih berhubungan dengan Sultan Trengganu, seorang raja
taklukkan Siam di Semenanjung Malaka bertemu dengan Read di Singapura. Setelah
pertemuan itu baik Arifin maupun William Read, mereka berdua saling bertukar
pikiran dan informasi berbagai hal termasuk mengenai Aceh.
Arifin pun mulai
mencari hal-hal baru termasuk dalam hal relasi. Setelah mendengar kabar bahwa
Amerika berminat membuat pangkalan armada di Kalimantan Utara, dia pun
menawarkan jasa-jasanya kepada konsul Amerika yakni Studer. Dengan
kecerdikannya, Studerpun akhirnya menjadi salah satu koleganya. Dalam suatu
pembicaraan, Studer mengatakan bahwa telah terjadi insiden internasional yang
merupakan suatu rahasia penting. Hal ini menjadikan Studer menjadi kambing
hitam karena telah membocorkan rahasia Negara baik pemerintah Belanda maupun
Washington.
Dalam keadaan selanjutnya, Arifin dibayar oleh Read
untuk mengatakan berbagai informasi tentang Aceh. Hal inikemudian menjadi suatu
sandungan bagi Arifin sehingga dia dibuang oleh pemerintah Belanda dan kemudian
menjadikan Read sebgai pahlawan. Read dapat mengkamuflase fakta bahwa Arifin
melakukan suatu penghianatan. Namun, tetap saja tujuan Read adalah demi meraih
kepentingan pribadi. Hal ini dibuktikan dengan setelah pengangkatannya
dipemerintahan Hindia-Belanda, Read melakukan penyimpangan yang berujung
menjadi kesalahan pemerintah Hindia-Belanda hingga meletusnya Perang Aceh.
Belanda Bejat dan Aceh Bejat
Perang Aceh sangat memberatkan tanggungan Hindia.
Karena menelan banyak korban manusia dan sarana, sesudah tahun1873 setiap kemajuan
tertahan lama. Titik berat urusan Hindia berpindah ke Het Plein (lapangan),
kementerian jajahan, yang berkat sarana perhubungan yang lebih baik lebih dapat
mengendalikan kebijaksanaan atas seberang lautan. Barulah pada akhir abad ini
parlemen mulai memainkan peranan lagi, hampir bersamaan waktu dan penasihatnya
yang cemerlang , Snouck Hurgronje, yang menghendaki kebebasan yang lebih besar
dalam kebijaksanaan mereka.
Dalam bacaan perang masa itu orang Aceh cukup banyak
diberi sifat-sifat yang buruk. Penghianatan dan kemunafikan sudah pastilah
karena Singapura. Lalu ditambah lagi kelicikan, fanatisme, ketagihan madat dan
kemerosotan akhlak dalam arti seksual. Sifat-sifat buruk itu tecurah dalam
bentuk penyimpangan bahkan hal tersebut jelas terlihat dari perdagangannya.
Barang-barang dagang Aceh cukup banyak untuk diekspor keluar negeri.
Masalahnya, ada barang haram didalamnya dan menjadi salah satu penghasil
terbesar yaitu Candu. Ironisnya, Candu juga banyak dikonsumsi oleh orang Aceh.
Tabiat buruk lainnya adalah mengudung mayat musuh dan melakukan hubungan
seksual liar.
Untuk masa waktu yang lama demikianlah gambaran umum
yang sangat tersebar luas dalam karangan-karangan Belanda mengenai “manusia”
Aceh. Baru setelah terbitnya telaah yang mendalam pertama tentang negeri dan
bangsa, karya Snouck Hurgronje yang cemerlang pada tahun 1893, yakni de
Atjehers, mulailah perubahan. Dalam tahap akhir sementara pertempuran, yang
saya sebut Perang Aceh keempat, musuh dianggap sebagai lawan terhormat. Tetapi
ketika itu dia pun sudah hampir terkalahkan dan masih lama lagi baru kita
sampai sejauh itu.
Kebijaksanaan Kolonel-Kolonel Musim
Sebelum pasukan-pasukan ekspedisi yang gagal ke Aceh
mendarat dikota-kota garnisun mereka, Batavia, Semarang dan Surabaya, kalangan
orang Belanda di Jawa menentang Loudon. Pemimpin redaksi Samarangche Courant,
Pengacara Mr. C.P.K Winckel, membuat sebuah artikel yang berisikan agar Loudon
dberhentikan dari tugasnya. Namun situasi berbanding terbalik, Winckel
diperintahkan angkat kaki oleh pemerintah Belanda karena dianggap melakukan
penyerangan kekuasaan dan martabat pemerintah Hindia-Belanda serta beberapa
artikel yang dianggap merugikan. Sebenarnya permintaan Winckel adalah agar
ekspedisi ke Aceh dilanjutkan kembali dan tanpa Loudon yang memimpinnya. Namun
belakangan, ada diantara beberapa artikel yang dianggap merugikan pemerintah
dan situasi di Aceh yang benar-benar suram, tanpa diiringi berita-berita
mengenai keadaannya membuat pemerintah memberikan kekuasaan kepada Loudon
melalui persetujuan Dewan Hindia.
Setelah beberapa masa ke depan, terjadi suatu
pergantian kabinet di negeri Belanda. Akibat pergantian kabinet baru itu,
banyak yang mengkritik Loudon pada suatu interpelasi Aceh oleh anggota
koservatif Fabius. Hal ini membuat van Daelen memuat suatu tulisan dalam Java
Bode bahwa aparat-aparat leberalisme yang jahat menutup-nutupi permasalahan
Aceh dari Negeri Belanda. Dia juga menulis beberapa artikel-artikel yang
dianggap menghina kebijakan pemerintah. Atas tuduhan pencemaran nama wakil raja
dan menghasut agar membenci atau tidak menghormati pemrintah Hindia-Belanda,
van Daelen pun akhirnya ditangkap.
Akhir Perang
Pada tahun 1876, kekuatan pasukan di Aceh rata-rata
terdiri dari tiga ribu orang prajurit eropa, lima ribu prajurit Indonesia dan
180 orang prajurit Afrika. Pada masa itu. Habib Abdurrahman turut mengubah
keadaan-keadaan pasukan Aceh yang sewaktu-waktu bertindak liar, menjadi lebih
beroperasi secara teratur. Dalam pengadaan pasukan, Abdurrahman mendapat
bantuan dari kelompok agama. Tengku di Tiro yang tersohor tersebut mewakili
kelompok agama beserta pengikutnya, turut bergabung dengan Abdurrahman.
Belanda pun muncul melancarkan serangannya. Kali ini,
ekspedisi dipimpin oleh Van der Heijden dengan tiga ribu pasukannya beserta sepuluh
kapal perang. Daerah yang dipimpin oleh Sagi Mukim XXV menjadi wilayah pertama
yang ditaklukkan Belanda. Beberapa petempuran pun menyusup hingga ke pedalaman.
Hal ini terus berlangsung hingga tanggal 25 Agustus 1878, tiga orang utusan
Habib Abdurrahman dengan permohonan ampun dan meminta perundingan penyerahan di
pos Belanda Lam Baro. Belanda pun mulai meminta pemuka-pemuka Aceh agar
menyerah. Namun semuanya sia-sia. Bahkan para pemuka tersebut menuding bahwa
Abdurrahman melakukan pengkhianatan.
Menyerahnya Abdurrahman tidak diikuti oleh
pemuka-pemuka lain secara bersamaan. Pemimpin perlawanan tersebut adalah Tengku
di Tiro, Panglima Polim dan imam Leung Bata. Suatu gerakan dengan tiga ribu
orang, Belanda mengakhiri operasi perlawanan ini. Penghukuman yang tiada
taranya telah berhasil. Perangpun telah usai. Namun dari semua itu menyisakan
bahwa pada kenyataannya rakyat menjadi dendam dan negeri musnah dihancurkan
Belanda serta harus ditaburi dengan sangkur demi mempertahankan bagian relatif
kecil yang telah direbut.
3. PERANG
ACEH KETIGA 1884-1896
Pertikaian Antara Saudara
Van der Heijden diangkat
menjadi Letnan Jenderal di bulan januari 1880, kemudian dia mendapat surat aneh
yang kasar dari Gubernur Jenderal Van Landsberge yang amat menginginkan Heijden
turun dari jabatannya dan mengajukan permintaan berhenti. Bersama dengan A.
Pruys (residen Palembang) diangkat menjadi komisaris untuk penyusunan kembali
pemerintahan di Aceh. Van Landsberge amat berkeinginan untuk memberikan
tekanan agar Heijden berhenti, pada bulan November ia pun mengutus
anggota dewan Hindia Mr. J. T. Derkinderen dengan tugas yang sangat
sulit ke Aceh
Van der Heijden dinyatakan
bertanggung jawab untuk 3 pengaduan terhadap orang-orang bawahan. Mereka telah
diperiksa Jaksa Agung Batavia, (1) Syahbandar Olehleh, yang telah menjadi
pelabuhan ramai dan kini menjadi dermaga samudra yang hebat, telah mengenakan
pungutan liar atas barang-barang swasta yang masuk; (2) Kepala kantor pos
Kutaraja menderita kerugianan kas lebih dari 10.000 gulden, kedua kasus ini
diketahui, malah Heijden telah menskors orang-orang yang bersalah pada
pertengahan 1880.
Konflik pun terjadi, antara Derkinderen dan Heijden
yaitu dua orang bersaudara sesama anggota, sesama penganut teosofi berhadapan.
Dalam surat-suratnya kepada Derkinderen, Van der Heijden sangat
menyesali mengapa ia mengalami perlakuan demikian justru dari seorang saudara.
Banyak yang membicarakan pertentangan ini. Sebelum tahun-tahun akhir Van der
Heijden, keadaan di Aceh berangsur-angsur berubah sama sekali. Ada
pendekatan dari kalangan hulubalang di daerah Hilir (sagi-sagi mukim XXVI dan
mukim XXV) yang menerima gaji, tunjangan dari dia – ini benar.
Pemimpin-pemimpin perang yang baru di satu pihak
seorang tokoh seperti ulama Teungku di Tiro dari Pidie, yang tegar dan fanatic,
serta di pihak lain Teuku Umar yang tidak punya Negeri, liberal tetapi sama
fanatic, tampaknya cepat memperoleh tenaga tempur. Selama tahun 1883, tampaknya
perang akan pecah lagi dengan hebat. Hal ini merupakan kekecewaan besar bagi
Gubernur Jenderal s’Jacob, yang mengunjungi Aceh pada bulan Agustus
untuk menyelidiki apakah dengan penyusutan kekuatan pasukan Belanda tidak dapat
dilakukan pengurangan biaya perang secara drastic. Sebenarnya hal ini sudah
dibayangkan Van Landsberge. Di Negeri Belanda tampil suatu cabinet yang
bercorak konservatif dan liberal kanan pada bulan April. Menteri jajahan baru F.G.
van Bloemen Wanders, seperti juga semua menteri lainnya, yang menanggulangi
portefeuille (dan sejak tahun 1873 jumlahnya delapan), mempunyai
pandangan pribadi untuk mengakhiri perang. Sebagai bekas pejabat Hindia, bekas
direktur dalam negeri (BB), dia melihat kemungkinan-kemungkinan untuk
memulihkan kesultanan di bawah pimpinan Belanda sama halnya seperti yang
dilakukan pada Kerajaan-kerajaan di Jawa, Siak, dan di tempat lain.
Snouck Hurgronje dan Van Heutsz
Dr. Snouck Hurgronje adalah penasihat gubernur
jenderal untuk Bahasa Timur dan Hukum Islam yang amat menentang dan memberikan
kecaman atas kebijakan Deijkerhoff mengenai Teuku Umar yang setia terhadap
Belanda. Pada 23 Mei 1892 disampaikannya kepada gubernur jenderal Pijnaker
Hordik laporannya Verslag omtrent de religious-politieke toestanden in Aceh
(Laporan tentang situasi politik agama di Aceh). Laporan ini meliputi 4 jilid;
2 jilid yang pertama (yang merupakan uraian tentang alam dan bangsa, dengan
banyak perhatian untuk tokoh-tokoh yang penting) dikerjakannya menjadi buku De
Atjehers terdiri dari dua jilid, yang terbit pada tahun 1893/1894 sebagai
penerbitan pemerintah. Untuk pertama kalinya, 20 tahun sesudah perang Aceh
dimulai, jelaslah bagaimana keadaan sebenarnya di Aceh, penduduk bagaimana yang
terdapat di sini, pentingnya adat dan agama, apa pikiran dan tulisan orang Aceh
tentang perang. Berbeda keadaannya dengan dua jilid pertama, dua jilid terakhir
tidak diterbitkan pemerintah. Perdebatan pun terjadi antara Deijkerhoff –
Snouck mengenai perang Aceh, selain itu Teuku Umar yang merupakan sekutu bagi
Belanda – yang menurut Snouck tidak begitu percaya peranannya terhadap
pemerintah Belanda.
Pengkhianatan Teuku Umar
Pada 1896, tampil seorang komandan lini baru Letnan
Kolonel F.W. Bisschof van Heemskerk yang berkedudukan di benteng Lam Baro
dengan 150 orang anggota yang hampir-hampir optimisme Jenderal Deijkerhoff
tentang keberhasilan politik Teuku Umarnya yang agak berlebihan.
Teuku Johan menjadi bimbang dan mengajukan berbagai
macam keberatan atas tugas barunya di jantung mukim XXII. Di Kutaraja mulai
beredar desas-desus bahwa panglima perang besar, yang berada dalam keadaan
terjepit karena perintah-perintah Deijkerhoff, bermaksud berkhianat terhadap Belanda.
Deijkerhoff tidak percaya, menurut Teuku Johan, legiunnya tidak cukup untuk
melakukan operasi. Pada tangggal 26 maret, Teuku Johan diperlengkapi
dengan perbekalan yang amat cukup, namun permintaannya akan meriam lapangan
tidak dipenuhi.
Pada hari itu juga beberapa orang mata-mata Aceh
melaporkan lagi bahwa Teuku Johan merencanakan hendak membelot. Penampilannya
pada suatu konferensi gubernur, malam tanggal 28 maret, dinantikan dengan
suasana agak tegang. Ternyata, dia tampil dan Deijkerhoff pun tenang. Hari
berikutnya, “pengkhianatan Teuku Umar” menjadi kenyataan. Umar – dia pun segera
secara resmi menanggalkan jabatannya sebagai panglima perang besar Teuku Johan
Pahlawan – menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff dan wakil-wakil
panglimanya pada hari itu juga mulai dengan memanfaatkan dengan baik
senjata-senjata barunya melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda. Pada 30
Mare, hari yang telah ditentukan untuk harus memulai operasi Lam Krak, dari
tempat kediamannya Lempisang Umar mengirim sepucuk surat kepada Gubernur dengan
pemberitahuan bahwa ia “harus beristirahat sementara waktu.” Dia mengeluh
tentang perlakuan penghinaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pangerh praja
dan perwira-perwira Belanda terhadap dirinya dan ia menasihati Deijkerhoff agar
menyuruh mereka saja menaklukkan mukim-mukim Lam Krak.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umat bukanlah
merupakan tindakan dadakan, tetapi memerlukan beberapa waktu persiapan, 29
Maret semua pos Belanda di luar Lini segera dikepung. Umar mulai membentuk
garis pertahanannya sebelah timur Lini Konsentrasi, dengan tempat kediamannya
Lam Pisang, sebagai pusat. Dalam beberapa hari, situasi Aceh Besar seluruhnya
berubah.
PERANG ACEH KEEMPAT (1898-1942)
Periodisasi perang aceh ke empat dimulai sejak tahun
1898-1942. Paul Van’t Veer dalam bukunya Perang Aceh, kisah kegagalan Snouck
Hurgronje membagi menjadi beberapa sub bab untuk periode ini.
Panik di Negeri Belanda
Pada sub bab ini Veer mengungkapkan kepanikan yang
terjadi di negeri Belanda akibat “pengkhianatan” Teuku Umar. Teuku Umar yang
gagah berani dalam medan pertempuran malah berbalik menyerang Belanda. Bahkan
Teuku Umar sempat mengepung Kutaraja (Banda Aceh sekarang) bersama 2000
pasukannya untuk menyerang Belanda. Bahkan di negeri Belanda sendiri diciptakan
lagu hujatan kepada Tengku Umar. Maka timbulah suatu tahapan baru di Aceh yang
dikenal dengan Perang Aceh Keempat, sekaligus mengandung unsure produk colonial
yang baru, yaitu minyak tanah.
Minyak Tanah di Perlak
Malaise ekonomi yang berkepanjangan yang bermula pada
krisis gula tahun 1884 sudah berakhir. Meskipun harga-harga hasil bumi masih
rendah, tapi muncul satu produk tambang yang banyak memberi harapan. Produk ini
sangat termasyur sebagai obat terhadap segala macam penyakit, yaitu minyak
tanah. Pengeboran pertama dilakukan di Deli, kemudian setelah mengeksploitasi
secara besar-besaran mereka meneruskannya di negeri-negeri pantai Aceh, seperti
Tamiang, Langsa dan Perlak. Dengan adanya eksploitasi besar-besaran maka
ekspedisi militer diperlukan untuk menjaga atau melindungi kilang minyak yang
sering harus bertempur dengan penduduk. Tahun 1900 banyak perusahaan asing
(eropa) yang melakukan eksploitasi minyak di Aceh. Tapi upaya penanaman modal
asing ini tidak diimbangi dengan UU yang jelas mengaturnya. Akibatnya Hindia
Belanda mendapat kerugian akibat tidak memperoleh bagian dari hasil
pertambangan kecuali hanya dari pajak yang besarnya 4% dari pendapatan bersih,
apalagi perusahaan pertambangan baru dibebaskan dari bea selama tiga tahun.
Ketika Van Heutsz diangkat menjadi gubernur jenderal minyak pada tahun 1903,
maka ia mengubah UU pertambangan yang isinya menaikan pajak dan mengadakan
kontrak ekonomi dengan perusahaan kilang minyak. Dengan cara ini pendapatan
Belanda manjadi naik. Tapi tidak dengan keadaan kesejahteraan rakyat aceh yang
tetap tertinggal.
Akhir riwayat Teuku Umar
“Pengkhianatan” Teuku Umar menyebabkan Belanda
menjadi marah, apalagi ditambah dengan serangan-serangan dari Teuku Umar
sendiri. Hal ini mengakibatkan Belanda melakukan serangan besar-besaran
terhadap kamp-kamp pertahanan penduduk Aceh yang dikenal sebagai penghukuman
dilembah sungai Aceh. Akibatnya penduduk mengungsi dan tidak ada alas an untuk
kembali karena rumah, sawah dan desa mereka telah dibakar oleh Belanda dengan
peperangan yang sangat brutal disertai pembunuhan masal. Atas usul Snouck, Van
Heutsz melakukan penyerangan ke daerah Pidie yang disinyalir terdapat
pemberontak Aceh. Salah satu jasa Van Heutsz yang terbesar adalah dengan
meningkatkan daya guna NIL (pasukan belanda). Pasukan marsose disiapkan dengan
peralatan pribadi tanpa membawa baterai meriam atau barisan furase. Selain itu
Van Heutsz mengeluarkan kebijakan untuk tidak membakar kampong, masjid dan
rumah tinggal dalam keadaan bagaimanapun. Pada 1899 Teuku Umar meninggal di
Meulaboh akibat serangan dari Belanda. Tapi istri Teuku Umar, Cut Nya Din
mengambil estafet perjuangan istrinya dan terus melakukan perlawanan terhadap
belanda.
Pertempuran di Samalanga
Aksi-aksi utama daerah taklukan Aceh baru dilancarkan
setelah tahun 1899. dibawah pimpinan Van Heutsz serta didampingi Snouck
Hurgronje mereka melaksanakan aksi besar-besaran menjelajahi negeri pantai
timur dan barat. Dalam perjalanannya, mereka banyak mendapat perlawanan dari
rakyar Aceh. Berdasarkan analisis Snouck Hurgronje, sifat perlawanan rakyat
bukan hanya masalah keyakinan agama tetapi juga masalah pra nasionalisme,
hasrat kemerdekaan, serta perjuangan sosial terhadap para pemuka feudal.
Sepuluh Tahun Yang Berdarah
Masa Van Heutsz menjabat diaceh adalah dari tahun
1899-1909. pada masa ini merupakan masa 10 tahun yang berdarah bagi Aceh.
Jumlah tentara Belanda yang tewas sekitar 508 orang, tapi dari tahun 1899-1909
jumlah orang Aceh yang terbunuh sekitar 21865 orang, hamper 4% dari jumlah
penduduk. Terlepas dari ini, perang kecil Aceh sesudah 1900 meminta korban
hampir sama dengan perang besar sebelum 1900. ini disebabkan karena taktik
dalam peperangan telah berubah menjadi gerilya yang sering terjadi kontak
dengan musuh.
Perjalanan Kepahlawanan pada tahun
1904
Dari tanggal 8 februari sampai dengan 23 Juli 1914
dibawah perintah Letkol GCE Van Daalen, suatu kolone marsose mengadakan
perjalanan melalui tanah Gayo dan Alas. Pertempuran di gayo dan Alas ini
memakan korban yang sangat besar. Orang-orang Gayo telah siap menyambut pasukan
marsose yang datang ke kampungnya dengan pakaian serba putih menandakan mereka
siap untuk mati. Dalam perlawananpun mereka hanya menggunakan senjata pukul
dengan bedil lantak tua yang tidak sebanding dengan persenjataan pasukan
marsose, sehingga dalam waktu yang sekejap mereka berhasil ditumpas.
Mundur dari Aceh
Perang aceh tidaklah berakhir pada 1913 atau 1914.
dari tahun 1914 telah terjadi banyak pemberontakan yang sekalipun dapat
dipadamkan tapi merupakan tanda bahwa aceh masih menganggap Belanda musuh. Tapi
berbeda dengan pendapat Residen Jongejans yang menganggap bahwa aceh sudah
mulai percaya pada Belanda. Ini disebabkan karena Gubernur Jenderal yang baru
telah menghapuskan vandalisme serta pemberian hadiah atau janji-janji kepada
para hulubalang serta rakyat aceh. Meskipun demikian, banyak para pemberontak yang
tetap melakukan pemberontakan dan pembunuhan terhadap orang-orang eropa. Aceh
memang sudah ditaklukkan, tapi sama sekali belum diamankan, perlawanan masih
terus ada, ungkap Kern. Pada 12 maret 1942 pasukan Jepang mendarat di Aceh,
mereka terus menggempur pasukan Belanda yang masih tersisa, akhirnya pada 28
maret 1942, tiga minggu setelah Jawa menyerah ke Jepang, Jenderal Overakker
menyatakan takluk. Aceh merupakan wilayah terakhir yang dimasukan ke dalam
territorial wilayah Belanda, Aceh juga yang pertama kali keluar dari
pemerintahan Belanda