sumber gambar: http://cdn.jitunews.com/dynamic/article/2015/05/20/14350/1rWQ0m0Dlm.jpg?w=630
Oleh: Andhika Ripwan Saputra
Pendahuluan
Bila dihitung sejak keruntuhan rezim Orde Baru pada 1998, reformasi
telah berjalan selama delapan belas tahun lebih. Kita harus akui secara jujur
pada usia rezim yang relatif lama itu, kita dapat merasakan buah dari pesat
pembangunan yang berdampak sampai saat ini. Rezim yang memberikan harapan dapat
membawa bangsa keluar dari pengalaman traumatisnya selama satu generasi
sebelumnya.[1]
Orde Baru
memperoleh dukungan yang kuat dan luas, termasuk dari luar negeri (dalam rangka
perang dingin yang saat itu sedang berlangsung). Potensi-potensi dikerahkan
yang saat rezim Orde Lama telah digiatkan, dan terjadilah lahan pembangunan
fisik-ekonomi yang hasilnya cukup mengesankan. Permasalahan bangsa dan Negara
dikendalikan dengan sangat efektif, menggunakan gabungan antara paternalisme[2]
Jawa dan komando militer.
Pertumbuhan
ekonomi mengingkat pesat berbarengan dengan kemaslahatan umat. Bahkan saat itu,
disimpulkan bahwasanya sistem ini adalah solusi yang paling tepat mengatasi
permasalahan yang terjadi pada Orde Lama. Tetapi setelah berjalan selama satu
generasi, yaitu sekitar pertengahan tahun 1980-an, mulailah terungkap bahwa
rezim Orde Baru selain mengandung segi-segi yang memberi manfaat kepada warga
Negara juga banyak memberi mudarat yang fatal.
Paternalisme
berujung pada keotoriterian rezim, masyarakat terkooptasi dan berbagai tindakan
dilakukan dengan represif. Masyarakat dibatasi untuk dapat menentukan
kebijakan-kebijakan kemaslahatan umat. Hampir seluruh potensi diarahkan dan
hanya patuh terhadap kebijakan Negara. Bahkan dalam konteks pemilihan umum masyarakat
direkayasa sedemikian mungkin hanya menjadi alat pengabsahan, sedangkan
pemenangnya sudah dapat dipastikan.[3]
Pancasila saat itu
hanya dijadikan tameng pembangunan ideologi bangsa namun dalam praktiknya
sangat berlawanan. Praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotis) terjadi
dimana-mana. Kebebasan masyarakat dalam berpendapat mengkritisi dialihkan
menjadi bentuk anggapan untuk melawan pemerintah “Anti-Pemerintah”. hal buruk
tersebut yang bertolak belakang dengan tujuan republik yaitu “kemaslahatan umum”
melainkan “keuntungan pribadi”.[4]
Hal tersebut yang mendorong Nurcholish Madjid untuk menyampaikan
gagasannya guna menata kembali demokrasi saat itu. Demokrasi sendiri menurut
Nurcholish Madjid adalah sistem yang mengantarkan sebuah rezim berbasis “keuntungan
pribadi” menjadi republik yang berorientasi pada “kemaslahatan umum”. Transisi
demokrasi adalah transisi menuju sebuah rezim yang terkontrol secara publik
sehingga, keadilan, kebebasa dan kesetaraan terjamin.[5]
Demokrasi merupakan perwujudan dari sistem Negara modern. Negara bangsa modern
adalah Negara yang sistem pemerintahannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
Dalam makalah ini
penulis ingin mencoba menjawab permasalahan yang terjadi pada rezim Orde Baru
berlandaskan dengan pemikiran demokrasi ala Cak Nur. Pertama penulis ingin
menjelaskan berbagai kendala yang menghadang demokrasi pada rezim Orde Baru.
Kedua, ingin menjelaskan gagasan Demokrasi ala Cak Nur. Hal ini perlu jawab
guna memberikan informasi bahwa gagasan Cak Nur sangat berperan dalam mengawal
transisi demokrasi di Indonesia.
Kendala Menuju Demokrasi
Cak Nur menegaskan bahwa republikanisme merupakan perwujudan Negara
Indonesia modern, yaitu Negara yang mendorong dan menciptakan lingkungan dan
suasana masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis. Republikanisme sendiri
adalah pikiran politik yang cukup tua. Pikiran itu pertama kali dipaparkan oleh
filsuf politik Niccolo Machiavelli sebelum kemudian dikembangkan oleh pemikir
kontemporer seperti Philip Pettit. Pada dasarnya republikanisme mengedepankan
kepentingan kemaslahatan umat sebagai fokus utama hidup bersama. Hidup bersama
harus dikelola sedemikian rupa sehingga kemaslahatan bersama dapat terwujud
paripurna.[6]
Kemaslahatan umum
mensyaratkan solidaritas sosial yang berlangsung dalam ruang publik yang bebas.
Republikanisme bersandar pada prinsip non-dominasi. Prinsip ini mengatakan
bahwa tidak seorang pun dapat didikte untuk berbuat sesuatu yang berlawanan
dengan kepentingannya, sebab setiap kepentingan harus dipertimbangkan secara
seimbang.
Dominasi bisa
bersembunyi dibalik apa yang Cak Nur sebut sebagai paternalisme.
Permasalahannya paternalisme menganut prinsip bahwa mereka yang berkuasa tidak
pernah keliru membimbing masyarakatnya. Padahal, belum tentu penguasa lebih
arif dibandingkan dengan rakyatnya. Hal tersebut yang memudahkan paternalisme
menuju ke arah otoriterianisme. Panternalisme sekilas memang sesuai dengan
budaya feodalisme di Indonesia. Namun menurut Cak Nur paternalisme tidak
mendorong ide-ide modern nation state karena berlawanan dengan prinsip
demokrasi dan egalitarianisme yang menjadi roh konsep kenegaraan yang bertujuan
kemaslahatan umum.[7]
Bagi Cak Nur, salah satu wujud paternalisme dalam rezim Orde Baru
adalah Indokrtinasi Ideologi yakni Pancasila. Pancasila disini dijadikan
sebagai tameng Ideologis. Kritik terhadap rezim Orde Baru diterjemahkan sebagai
“Anti-Pancasila”. Padahal, banyak kritik yang justru ingin menegakkan Pancasila
kepada maksud yang sebenarnya, misalnya, mengedepankan keadilan sosial. Semua
tindakan rezim Orde Baru tampak etis apabila dilakukan dengan dalih menegakkan
Pancasila. Hal tersebut terjadinya karena tidak adanya ruang publik untuk
mengartikan Pancasila berbeda dengan penguasanya. Gagasan sederhana bahwa
rakyat harus didengar suaranya, diperlakukan secara adil, dan pemerintah harus
merespon hajat rakyatnya[8]
menjadi faktor utama perjuangan rakyat.
Selain itu
absennya penyelenggara Negara dalam mengelola pengembangan ekonomi membuat para
korporat-korporat bebas mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengutamakan
kemaslahatan umat. Misalnya pemerintah terus menerus memberikam izin kepada
pihak swasta untuk mengekspolitasi sumber daya alam tanpa memikirkan dampak
dari hal tersebut. Hal tersebut yang menjadi ladang para birokrat untuk
melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotis) dalam segi perekonomian.
Ditambah pembangunan ekonomi tidak disertai dengan pembangunan manusia.
Maksudnya adalah masyarakat tidak berikan pemahaman yang cukup bagaimana
mengelola perekonomian yang baik. Oleh sebab itulah negara republik memerlukan
warganegara yang tidak hanya mengejar materi melainkan juga terbuka pada
nilai-nilai solidaritas, keadilan dan kebebasan.
Demokrasi Ala Cak Nur
Cak
Nur adalah salah satu tokoh cendikiawan muslim yang berperan penting dalam
mengawal proses transisi demokrasi dari rezim Orde Baru menuju bergulirnya
reformasi 1998.[9]
Cak Nur beranggapan bahwa demokrasi perlu
ditegakkan di Indonesia mengingat kebebasan manusia dalam berasasi pada saat
rezim Orde Baru sangat dibatasi. Masyarakat perlu diberikan kebebasan untuk
berserikat berkumpul sebagaimana naluri mereka selaku mahluk sosial. Oleh sebab
itu rakyat tidak dapat mengontrol dan melakukan pengawasan terhadap kinerja
pemerintah, hal tersebut lah yang menyebabkan prilaku koruptif berkembang
menjamur dimana-mana.[10]
Kebebasan berasasi memberikan ruang bagi masyarakat masyarakat untuk mengkritik
kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan kehendaku umum. Dengan kata lain
kebebasan asasi mencegah penyelenggaraan negara berdasarkan kepentingan
individua atau kelompok tertentu. Kemudian pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas sangat diperlukan guna menjamin bahwa proses penentuan kebijakan
tidak menyimpang dari tujuan kemaslahatan umum.[11]
Selanjutnya
Cak Nur juga mencanangkan penegakkan musyawarah untuk mufakat. Dengan prinsip
musyawarah untuk mufakat memungkinkan seseorang untuk menyampaikan wacananya
dengan terbuka dan menerima wacana orang lain dengan lapang dada. Masyarkat
yang bahagia adalah masyarakat yang dijamin kebebasan dan kemerdekaannya untuk
hidup, oleh karena itu masyarakat harus dijamin setiap haknya untuk
menyampaikan pendapat.[12]
Kebebasan berpendapat juga harus dilembagakan. Oleh karenanya jaminan kebebasan
pers menjadi modal awal untuk mendapatkan informasi secara objektif.[13]
Hal
tersebut tidak akan terlaksana apabila tidak ada upaya untuk mewujudkanya dalam
keseharian. Oleh karena itu harus ada komitmen terhadap nilai-nilai luhur atau
norma yang berlaku dimasyarakat. Dalam konteks modern ini norma atau nilai
luhur biasa disederhakan sebagai aturan atau hukum yang berlaku bagi setiap
induvidu tanpa terkecuali. Semua anggota masyarakat harus patuh dan tunduk dan
pantuh terhadap hukum dan tidak ada satu orang pun yang yang dibenarkan untuk
melanggar aturan tersebut.[14]
Tegaknya hukum dan perturan sebagai salah
satu tujuan pengawasan dan pengimbangan dalam negara modern, perlu adanya
diferensiasi dari masing-masing lembaga dan tugasnya terutama dalam bidang
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga aspek tersebut dapat disebut
dengan pemerintah, fungsinya adalah menjaga ketertiban dan mengatur
permasalahan yang ada pada masyakrat guna mewujudkan masyarakat yang
berkeadilan.[15]
Pada rezim Orde Baru, eksekutif yang acap
kali melakukan penyelewengan baik itu korupsi maupun kolusi dalam praktiknya,
memerlukan sistem pengawasan dan pengimbangan yang dapat diciptakan dari ketiga
unsur tersebut, yaitu unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pengawasan
dan pengimbangan yang efektif akan terwujud jika masing-masing dari ketiga
unsur tersebut independen dalam melaksanan tugasnya. Namun ketiga unsur
tersebut meski independen dalam usaha pengawasan dan pengimbangan, dalam
menjalankan roda pemerintahan harus tetap bersinergis. Pengawasan sebagai salah
satu ide oposisi dari Cak Nur. Ia menyadari bahwa ide-ide
seperti oposisi belum bisa diterima bukan saja oleh kalangan penguasa, bahkan
juga oleh para politisi partai (oposisi) sendiri. Alasannya oposisi masih
dianggap sebagai ancaman, karena dilihat sebagai upaya untuk menjatuhkan
pemerintahan.[16]
Walaupun demikian gagasan oposisi harus dilaksanan guna membuat keseimbangan
antara negara dan masyarakat.
Pada hakikatnya, kedaulatan rakyat adalah
inti dari partisipasi rakyat dalam kehidupan bernegara. Adanya kesempatan untuk
melakukan partisipasi umum secara efektif adalah salah satu wujud dari
kebebasan dan kemerdekaan. Seluruh cita-cita yang terdapat pada mukadimah UUD
1945 tidak akan dapat terwujudkan jikalau tidak ada partisipasi dari rakyat
untuk menegakkan kedaulatan rakyat itu sendiri.[17]
Partisipasi masyarakat atau masyarakat yang partisipatif sering di identikkan
dengan masyarkat sipil atau civil society
atau masyarkat madani. Secara singkat masyarakat itu adalah sebuah masyarakat
berdasarkan hukum dan norma-norma yang dapat mengahantarkan masyarkat
menegakkan kebaikan dan mencegah segalah sesuatu yang dapat merusak tantanan
masyarkat.[18]
Semua hal tersebut tidak akan terbangun
jikalau tidak adanya kesadaran untuk melakukan suatu perubahan. Yaitu adalah
kesadaran untuk memperbaiki keadaan secara menyeluruh. Perubahan itu tidak
dilakukan dari titik nol melainkan dari pencapaian rezim Orde Baru. Logika
gerak Reformasi adalah suatu keharusan sebagai upaya memperbaharui suatu sistem
yang telah lama usang. Reformasi perlu dilakukan mengingat rezim Orde Baru
telah jauh keluar dari apa yang disampaikan di dalam mukadimah UUD 1945.[19]
PENUTUP
Sebagai rezim yang relatif lama berkuasa,
Orde Baru telah menghasilkan kemajuan dalam berbagai hal terutama dalam
pembangunan dan pertumbuhan ekonominya. Dengan menggunakan konsep paternalisme
dan komando militernya, mempermudah jalan untuk mengendalikan negara dan
bangsa. Berbagai permasalahan dapat diatasi hanya dengan mengkooptasi dan
melakukan tindak represi.
Di pertengahan tahun 1980-an, baru lah
terlihat secara nyata keburukan dari pada sistem Orde Baru. Korupsi, kolusi dan
nepotisme menjamur dimana-mana, kebebasan masyarakat untuk berpendapat
dibatasi. Bahkan mereka yang berupaya untuk mengkritisi pemerintah dianggap
“melawan pemerintah” atau “anti-Pancasila”. mereka yang berkedok dibalik
Pancasila telah melupakan hakikatnya yang tertuang dalam mukadimah UUD 1945.
Dalam hal ini Nurcholish Madjid atau
biasa dipanggil Cak Nur adalah salah satu tokoh yang berupaya mengembalikan
tatanan kehidupan bernegara. Dengan perjuangannya melontarkan gagasan-gagasan
guna mengembalikan Indonesia kepada tatanan yang selayaknya. Ia adalah tokoh
yang giat mengawal transisi demokrasi. Ide-ide dan gagasannya dijadikan sebagai
fondasi sebagai upaya melakukan Reformasi. Ialah Cak Nur sang guru bangsa yang
penulis pandang sebagai seorang negarawan.
[1] Maksudnya adalah angkatan ’66, isu
yang dilemparkan saat itu adalah aksi nasional. Yaitu Tritura: bubarkan PKI,
rombak cabinet dan turunkan harga. Lebih jauh lagi, aksi protes ini mengarah
kepada struktur kekuasaan pusat yaitu presiden Soekarno. Lihat Denny J.A, Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era
80-an, (Yogyakarta: LKIS, 2006), h. 80.
[2] Paternalisme memandang hubungan
Negara dan rakyat seperti hubungan orang tua dengan anak. Orang tua
berkewajiban membimbing sementara sang anak harus patuh terhadap apa pun
“bimbingan” orangtuanya. Lihat di Donny G. A, “ Demokrasi dan Kemaslahatan
Umum”, Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban
V, no.1 (Juli - Desember 2012): h. 41.
[3] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori dan Relevansinya
Dengan Cita-Cita Reformasi,(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 214.
[4] Nurcholish Madjid, “Agar Peluang
Emas Reformasi Tidak Lewat Sia-Sia”, Titik-Temu
Jurnal Dialog Peradaban V, no.1 (Juli - Desember 2012): h. 22.
[5] Nurcholish Madjid, “Agar Peluang
Emas Reformasi Tidak Lewat Sia-Sia”, h. 39
[6] Nurcholish Madjid, “Agar Peluang
Emas Reformasi Tidak Lewat Sia-Sia”, h. 41
[7] Nurcholish Madjid, “Agar Peluang
Emas Reformasi Tidak Lewat Sia-Sia”, h. 42
[8] Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta:
Yayasan Paramadina, 1999), h. 143
[9] Diro Aristonang, Runtuhnya Rezim daripada Soeharto
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.233.
[10] Nurcholish Madjid, “Menata Kembali
Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara”, Titik-Temu
Jurnal Dialog Peradaban II, no.1 (Juli - Desember 2009): h. 24.
[11] Nurcholis Madjid dan Jakob Oetama,
Demokratisasi Politik, Budaya, dan
Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Paramadina,
1994), h. 123.
[12] Ujar Nurcholish, “adanya kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan akademik, kebebasan pers, dan sebagainya”. Lihat
Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish
Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2010), hal. 260.
[13]
Nurcholish Madjid, Cita-Cita
Politik Islam Era Reformasi, h. 191.
[14]
Nurcholish Madjid, Cita-Cita
Politik Islam Era Reformasi, h. 194.
[15] Nurcholish Madjid, “Menata Kembali
Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara”, h. 26
[16] Padahal, menurutnya, “Oposisi itu
wujud dari pengakuan adanya perbedaan pandangan, itu sah dan tidak usah
khawatir bahwa partai oposisi itu akan menggulingkan pemerintah”. Karena itu
Nurcholish Madjid tetap berpandangan bahwa ide mengenai oposisi itu harus
dilaksanakan. Lihat Ahmad Gaus A.F, Api
Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2010), hal. 260.
[17] Nurcholish Madjid, “Menata Kembali
Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara”, h. 27
[18] M, Dawam Rahardjo. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999) h. 96